Bab#12

6 1 0
                                    

Ali menangis dalam diam dikamarnya. Genap seminggu Prilly belum sadar juga dari komanya, dan membuatnya semakin takut ketika dokter memvonis Prilly kemungkinan besar ketika gadis itu sadar akan mengalami amnesia. Ali takut itu terjadi,  Prilly akan kehilangan sebagian memorinya. Dan apakah gadis itu akan melupakannya?

Mata Ali bengkak karena menangis. Dia memang cowok, tapi ia juga manusia yang punya perasaan dan takut kehilangan. Andai waktu bisa diulang, maka Ali ingin mengulangnya. Pertemuannya dengan Prilly yang begitu buruk itu, maka akan dia jadikan kesan indah. Tapi itu semua tidak mungkin, waktu itu tidak akan terulang lagi. Ingin dia ada diposisi Prilly, menggantikan gadis itu terbaring dirumah sakit.

Ali mengambil ponsel diatas nakasnya, membuka galeri dan membuka salah satu foto. Foto itu diambil saat di pasar malam, dan di foto itu Prilly mencium pipinya. Ali mengusap - usap layar ponselnya. Memperhatikan wajah Prilly dengan seksama difoto yang berbeda, dimana Prilly tersenyum memandang ke arah kamera. Senyum itu apakah bisa ia dapatkan lagi dari gadis itu? Ah, bisa - bisa dia gila terus memikirkan Prilly yang masih setia dengan tidurnya yang begitu tenang. Tidurnya membuat Ali takut, kalau - kalau gadis itu tidak membuka matanya lagi.

Gadis itu menghentakkan kakinya dengan keras, hingga cowok yang berjalan didepannya menoleh dan mengernyitkan dahinya melihat sikap gadis itu.

"Lo ngapain hentak - hentakin kaki gitu. Kayak anak kecil ngambek tahu gak" ujar cowok itu, gadis itu pun sontak menghentikan kegiatannya itu. Memandangi cowok itu dengan kesal.

"Pokoknya kamu gak boleh ketemu sama Reina, aku gak suka. Gak bisa apa rapatnya gak ngelibatin kamu"

"Eh gue ketua osisnya, masa gak ikut rapat inti sih. Ini rapat penting tahu gak, buat persiapan ultah sekolah kita nih".

"Tapi kenapa Reina ikut rapat sih, aku gak suka kamu dekat - dekat sama dia!"

Ali mendengus mendengar penuturan Prilly yang begitu posesif padanya. "Reina itu sekretaris osis. Dia berperan penting dalam rapat ini. Ngapain juga lo larang - larang gue dekat sama Reina, emangnya lo siapa gue? Pacar bukan tapi posesif banget."

"Aku kan sahabat kamu. Jadi harus wanti - wanti kamu biar gak dekat sama cewek yang salah. Pokoknya aku mau ikut kamu rapat. Ntar kalau gak ada aku, dia tepe - tepe kamu lagi."

"Gak bisa. Lo bukan anggota osis, jadi lo gak boleh ikut rapat. Mending lo diam di kelas aja deh, jangan gangguin gue mulu"

"Pokoknya ikut, atau gak aku gak bolehin kamu ikut rapat." Paksa gadis yang tidak lain Prilly itu.

Ali mengangguk pasrah. "Oke, lo ikut. Tapi dengan syarat gak boleh ganggu jalannya rapat. Lo diam duduk manis."

"Ayee ayee captain"

Ali tersenyum sambil menatap foto Prilly di ponselnya mengingat sikap posesif Prilly padanya. Foto yang Prilly kirim padanya lewat via WhatsApp. Ia sangat merindukan sosok Prilly yang periang itu. Jika saja kecelakaan itu tidak ada, maka gadis itu sekarang pasti dikamarnya. Sepertinya biasanya, mengacak - ngacak kamarnya. Melakukan hal yang ia mau walau Ali sudah melarangnya tapi Prilly tetaplah gadis keras kepala.

"Hai Alii" sapa gadis itu dengan ceria, memasuki kamar Ali secara tiba - tiba. Ali yang sedang rebahan sontak langsung mendudukkan dirinya, kaget akan kedatangan gadis itu.

"Lo ngapain masuk ke kamar orang tanpa permisi? Ya ampun, eh lo gadis aneh. Ngapain sih lo selalu gangguin gue. Ah, gue tue bosan tiap waktu ada lo" Ali mengacak rambut frustasi, gadis itu malah nyengir lalu duduk ditepi ranjang Ali.

"Gak papa sih. Aku tue gak ada teman, jadi kamu mau kan jadi teman aku. Atau lebih, sahabat misalnya. Kalau pacar juga gak papa." Cerocosnya,

"Mimpi apa gue semalam bisa tetanggaan sama cewek aneh kayak lo! SKSD lagi"

"SKSD, apaan tuh?"

"Sok kenal sok dekat!"

"Oohhh. Nah, makanya aku dekatin kamu biar kita dekat."

"Astaga lho yah. Udah sana pergi gak dari kamar gue!"

"Iya, iya aku pergi. Tapi ingat yah, aku pergi tuk kembali lagi"

"Udah sana pergi!"

Prilly terbirit - birit keluar kamar atas pengusiran Ali yang bernada bentakkan itu. Ah, seram juga.

Lagi - lagi Ali tersenyum. Mengingat bagaimana Prilly yang tidak pernah ada takutnya dengannya. Gadis yang selalu membuatnya kesal pada akhirnya membuat dirinya menjadi merindukan sosok gadis itu. Gadis yang selalu menunjukkan wajah ceria itu membuat Ali kesepian saat gadis itu tidak menganggunya. Sekedar mengucapkan kata sapaan cerianya saja dia tak mampu. Gadis itu terbaring tidak berdaya diranjang rumah sakit.

Tetesan air mata itu kembali membanjiri pipi Ali. Mengingat kenangan yang beberapa bulan lalu berputar - putar di memorinya. Pertemuannya dengan Prilly hingga kebersamaannya dengan gadis itu. Beberapa bulan terakhir gadis itu telah mengisi - ngisi harinya dengan tingkah konyolnya, senyum cerianya, bahkan rengekkan gadis itu.

"Jika lo sadar, gue janji bakalan gak judes lagi sama lo" gumannya dengan suara serak, fokusnya tetap pada foto yang berada dilayar ponsel Ali. Dan setetes air mata itu kembali mengalir dipipinya. Ali begitu rapuh. Dia begitu takut kehilangan Prilly. Bukan hanya sekedar kehilangan sahabat, tapi takut kehilangan seseorang yang dicintainya.

Ponsel yang berada ditangannya tiba - tiba bergetar, sebuah nomor yang tidak dia kenal memanggil ke ponselnya. Ali mengangkat panggilan itu.

"Hallo"

"Hallo kak, ini Reva. Kak Prilly sudah sadar."

Seketika tubuh Ali diam mematung. Ponselnya terjatuh ke sampingnya akibat tangannya terlalu lemah untuk memegangnya. Reva yang terus memanggil menyerukan namanya diseberang sana pun ia tidak acuhkan, karena ponselnya sudah terhempas ke kasur tanpa diminta. Setetes air mata lagi - lagi kembali membasahi pipinya. Itu bukan air mata kesedihan, tapi itu air mata bahagia. Dia bahagia kalau Prilly, gadis yang dia tunggu untuk kembali mengusik harinya. Gadis itu telah sadar, gadis yang tadi ia tangisi karena takut kehilangannya.

Friends and Love (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang