01 • First Meet, Isn't?

201 49 11
                                    

"Yah! Kau baik-baik saja?" Seorang lelaki berjaket kulit tebal menepuk pundak lelaki berkemeja yang sudah setengah sadar meneguk segelas soju, seringai tipis masih tercetak di bibirnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Yah! Kau baik-baik saja?" Seorang lelaki berjaket kulit tebal menepuk pundak lelaki berkemeja yang sudah setengah sadar meneguk segelas soju, seringai tipis masih tercetak di bibirnya.

Lelaki berkemeja itu mengangguk, masih berusaha membuka kedua matanya, ia menoleh. "Pergilah, sampai jumpa di permainan selanjutnya," balasnya tak acuh lalu kembali meneguk gelas yang telah diisi lagi olehnya.

Kini giliran lelaki dengan hoodie cokelat gelap yang menepuk pundaknya berkali-kali seraya berkata, "Baiklah, kami pergi! Sampai jumpa."

Kedua lelaki yang diperkirakan seumuran itu akhirnya berlalu, meninggalkan lelaki berkemeja peach di kedai itu. Ia mengetuk-ngetukkan gelas kecil di tangannya, pikirannya sibuk mencerna sesuatu.

Sesuatu yang mengganjal hatinya.

Sejak kemarin, pikirannya dibayangi sesuatu yang rumit. Tentu saja ia ingin lepas, namun sulit baginya untuk meninggalkan masalah yang satu ini. Beberapa saat kemudian ponsel yang diletakannya di meja bergetar, menampilkan pesan baru dari seseorang.

Shin Jiyeon: Jihoon-ah
Shin Jiyeon: Dimana kau?

Antusiasme langsung terbit di wajahnya yang hampir mendung secara keseluruhan itu. Tanpa sadar ia tersenyum, tercetus satu kesimpulan jelas yang muncul begitu saja di dalam kepalanya; ini belum berakhir.

Gadis itu masih memberinya kesempatan.

Tidak perlu berpikir panjang, ia mengetikkan pesan balasan. Setelah meyakinkan dirinya tidak sedang berhalusinasi, lelaki dengan senyum menawan itu menghela napas lega.

Park Jihoon: Tetap di tempatmu, aku ke sana.

Lelaki itu beranjak dari meja yang telah penuh dengan mangkuk bekas ramyeon, gelas dan botol soju yang berserakan. Ia berderap ke meja kasir, membayar semua tagihan sebagai konsekuensi akibat kekalahannya dalam permainan konyol yang dilakukannya bersama teman-temannya satu jam lalu. Ia menunggu beberapa saat setelah petugas kasir menerima black credit card miliknya.

"Maaf, ini ... kartu Anda ditolak, Park Jihoon-ssi," ungkap wanita yang masih cukup muda itu sambil menunduk.

Jihoon membelalakkan matanya tidak percaya. "Ne?"

"Apa Anda punya kartu lain?" tanya pelayan itu sopan.

Jihoon menerima black credit card miliknya dengan bingung. Tidak biasanya benda itu membuatnya kecewa. Sambil memeriksa isi dompetnya lagi, ia mengerutkan dahi heran. Pasti ada kesalahan yang terjadi, ada alasan di balik keanehan ini.

"Maaf, Tuan. Tapi ini ... kartu Anda juga ditolak."

Jihoon jelas semakin terkejut. Matanya melebar, tidak menyangka dua senjatanya bermasalah disaat yang sama. Ia kemudian menerima kartu keduanya, sambil menyahut, "Ah, tunggu sebentar!"

Ia kemudian menyingkir sejenak dari meja kasir. Sibuk mencari nama seseorang di layar lebar ponselnya. Masih dengan ekspresi heran dan tidak habis pikir, ia cemas saat menanti panggilannya terhubung.

"Eomma!" panggilnya tanpa ragu, ketika sessorang di sana merespon panggilannya. "Apa yang terjadi?"

"Jihoon-ah!" Suara wanita di seberang sana terdengar jelas khawatir. "Kebetulan kau menelpon, ada hal penting yang ingin kami katakan."

Menyadari suara ibunya berbeda dari biasanya, Jihoon semakin bertanya-tanya. "Ada apa, Eomma?"

"Kau harus pulang malam ini."

"Apa ini ada hubungannya dengan semua kartu kreditku ditolak? Apa yang terjadi, Eomma? Aku tidak berbuat kesalahan."

Wanita di seberang sana menghela napas. Ikut menenangkan dirinya agar tidak ikut terseret emosi yang menaunginya. "Ini semua memang bukan salahmu, Jihoon-ah. Pulanglah, kami menunggumu."

Klik!

Jihoon semakin bingung dan terlarut emosi di saat yang sama. "Lalu bagaimana aku harus membayar tagihanku, Eomma?" Ia menggumam gusar saat menyadari panggilan memang telah terputus sepihak.

Apakah hari ini memang hari sialnya?

Dengan berat hati ia kembali ke kasir, ragu-ragu menanyakan berapa tagihan total miliknya. Jihoon akhirnya mengerahkan semua yang dimilikinya. Uang cash di dompet, sampai recehan di sakunya yang ternyata belum mampu melunasi tagihannya. Ia sudah bersiap melepas jam tangan mewah miliknya sebagai jaminan sebelum ada suara yang tiba-tiba menginterupsi.

"Biar aku yang membayar sisa tagihannya."

Sontak Jihoon menoleh, mendapati sosok seorang gadis dengan senyum ringan yang membuat siapa saja ikut tersenyum melihatnya. Kedua netra lelaki itu membulat, dia menganga meragukan pendengarannya sendiri.

"Aku akan membayarnya," ulangnya lalu memberikan black credit card yang serupa dengan milik Jihoon.

Untuk pertama kalinya mereka bertatapan dalam sekian detik. Entah bagaimana Jihoon merasa tidak asing, tapi di saat yang sama ia juga yakin baru pertama kali melihat gadis ini. Gadis bermata cokelat berambut sepunggung itu tersenyum kembali.

"Tidak perlu berterima kasih, Tuan. Kau bisa mengembalikan 12 ribu won-ku kapan saja," ungkapnya santai yang membuat Jihoon terlempar dari lamunan singkatnya.

Ia tidak bisa menolak, keadaan yang memaksanya menerima bantuan kali ini. Akhirnya lelaki dengan kemeja dilipat sampai siku itu menunduk sekilas. "A-aku akan mengembalikannya." Kali ini dia mencoba berbesar hati menerima bantuan itu, sambil menutupi kegugupannya. "Terima kasih atas kebaikanmu," balas lelaki itu.

Gadis itu masih berkutat di meja kasir, melanjutkan urusannya untuk membayar tagihannya sendiri, sedangkan Jihoon sudah beranjak pergi dari sana. Menuju rumah orang tuanya, yang mulai terpisah dengannya sejak mulai kuliah.

Rasa penasaran akan alasan dari orang tuanya di balik permasalahan serius yang melanda black credit card-nya kali ini cukup ampuh, mengalahkan keinginan dan mengalihkan egonya untuk langsung menghampiri gadis pujaannya, Shin Ji Yeon.

Tanpa diduga, gadis bersurai hitam itu masih mengamati punggung Jihoon yang semakin menjauh dari depan meja kasir dan akhirnya menghilang di balik pintu keluar kedai ini. Ia tersenyum, meski ada sedikit kegetiran dibaliknya. Merasa puas bisa membantu lelaki itu tapi disaat yang sama ada kesesakan di dadanya yang tiba-tiba menyeruak kembali tanpa diundang.

Sudah lama, Park Jihoon, dan kau masih sama.

Tidak pernah melihatku.

▪°▪°▪

▪°▪°▪

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tell Me Why ▪ Park JihoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang