Jun yang bertempat duduk di sampingku terlihat sangat berkonsentrasi mengerjakan soal ulangan matematika yang kemarin kami pelajari. Aku terus melirik ke arahnya hingga Park saem mengira aku mencontek."Ya! Berhentilah melihat jawaban milik Junhui, lagipula untuk apa kau melihat jawabannya? Kau sudah sangat pintar dibandingkan berandalan itu. Peringkatnya saja selalu paling bawah. Kembalilah pada soalmu!" tegurnya.
Jun yang merasa disebut namanya pun menoleh ke arahku dan tertawa kecil.
"I-iya saem" ujarku.
Sebenarnya apa yang dikatakan Park saem tadi sedikit membuatku geram. Ia membanding-bandingkan prestasi muridnya seolah-olah itu adalah lelucon, sungguh tidak profesional. Lagipula aku pikir Jun itu pintar, hanya saja waktu itu dia masih malas untuk belajar. Banyak hal yang yang Jun bisa lakukan yang tidak bisa kulakukan. Contohnya dalam bidang kesenian. Aku selalu memperhatikannya ketika melakukan dance bersama rekan-rekannya saat mengisi acara ulangtahun sekolah dan dia terlihat luarbiasa hebat. Seharusnya orang-orang tidak hanya melihat sisi buruknya saja pada Wen Junhui.
Aku pun kembali mengerjakan soal matematika yang sedikit lagi akan selesai.
***
"Baiklah, saya sudah memeriksa semua ulangan matematika. Sekarang saya akan panggil nama kalian satu per satu, kalian maju dan mengambil hasilnya, yang nilainya masih di bawah, ke ruangan saya sepulang sekolah" Ujar Park saem setelah memberi kami waktu 30 menit untuk beristirahat di dalam kelas seusai ulangan karena ia ingin memeriksanya sekarang juga agar pekerjaannya tidak menumpuk.
Beberapa siswa telah dipanggil olehnya. Ada yang memasang wajah ceria, dan ada juga yang memasang wajah kecewa setelah mendapatkannya. Aku yang sudah dipanggil cukup puas dengan hasilku yang mendapat nilai sempurna.
"Wen Junhui" panggilnya.
Jun berdiri dari duduknya dan menghampiri mejanya.
Sebelum memberikan kertasnya pada Jun, ia menatap Jun sejenak dengan kacamata yang ia turunkan di batang hidungnya.
"Tumben" ucapnya.
Ia kemudian memberikan kertas tersebut. Seketika wajah Jun berubah mengukir senyuman lebar. Ia kemudian berlari menghampiriku dan memelukku erat.
"Terimakasih!! Terimakasih banyak!" Ujarnya.
Aku tersenyum sambil menepuk-nepuk punggungnya setelah melihat nilainya yang cukup bagus.
"Good job" ucapku.
***
Aku banyak tersenyum melihat tingkahnya yang kegirangan seharian ini seperti anak kecil setelah mendapatkan nilai 90.
Ini pertama kalinya nilainya di atas rata-rata dan itu membuatku bangga.
Saat istirahat tiba, Jun menaruh sebatang cokelat di atas mejaku.
"Karena kau sudah membantuku" ujarnya.
"Jun, ini terlalu berlebihan, ayolah, aku tidak membantumu banyak. Ini semua karena niatmu sendiri." Balasku.
"Berlebihan apanya? Ini tidak ada apa-apanya dibandingkan jasamu"
"Ahaha, baiklah baiklah. Jadi, setiap kau mendapat nilai bagus kau akan memberiku cokelat, begitu?" Tanyaku. Jun mengangguk mantap.
"Aku akan terus membantumu, tapi akan lebih baik jika uangmu dipakai untuk menyenangkan channie, lagipula aku senang bisa membantumu" lanjutku.
"Baiklah, kau memang yang terbaik" ujarnya sambil mengacungkan jempol.
"Terimakasih cokelatnya"
"YAAA!" Tiba-tiba suara teriakkan perempuan yang sudah tak asing lagi di telingaku bergema di seisi kelasku. Kakinya yang menuntun ke arah aku dan Jun terlihat sedang dalam kemarahan yang memuncak.
"Oppa! Kau memberinya cokelat?? Bagaimana denganku? Memangnya dia siapa? Aku lebih cantik darinya oppa apa kau tidak menyadarinya?" Ujarnya.
"Lihat dulu hatimu, apa sudah secantik hatinya?" Balas Jun sambil memasukkan sebelah tangannya kedalam sakunya yang membuat ku tak sanggup untuk menahan senyum.
"Hey! Dengar ya! Aku tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkan Jun oppa, dan kau tidak akan menjadi penghalangku untuk mendapatkannya!" Ujar Soora padaku kemudian pergi meninggalkan kelas.
Aku dan Jun hanya menggelengkan kepala sambil tertawa.
***
Aku membaringkan tubuhku yang lelah di atas tempat tidurku sambil menatapi cokelat dari Jun yang belum ku makan.
"Jun, apakah aku mulai menyukaimu? Apakah akan aneh jika temanmu sendiri menyukaimu?"
Aku pun mulai membuka bungkus cokelat tersebut dan memakannya. Aku menyimpan bungkusan luar cokelat itu yang terbuat dari kertas di sebuah kotak kosong. Entah untuk apa, tapi aku hanya merasa aku ingin melakukannya.