Aku terduduk di bangku dekat sungai di taman yang selalu ku kunjungi ketika aku merasa senang, bosan, maupun sedih. Disinilah tempat aku dan Jun selalu bercerita.
"Bodoh bodoh bodoh!" Ujarku sambil memukuli dadaku yang terasa sakit.
Satu dua kerikil aku lemparkan ke sungai tersebut.
Semakin lama pandanganku semakin buram. Air mata menetes dari sudut mataku.
"Ini bahkan bukan perpisahan tapi mengapa aku begitu sedih?" ujarku.
Aku membaringkan diriku di bangku yang cukup panjang itu. Membiarkan angin dingin musim gugur menerpa tubuhku yang lemas.
"Jun"
Aku menutup mataku.
"Aku mencintaimu" lanjutku.
***
Aku terbangun dengan langit yang sudah gelap dan lampu taman yang menyala.
Ku rasakan tubuhku yang terasa sedikit hangat.
"Apa.." ujarku setelah melihat sebuah jaket yang menyelimuti tubuhku.
"Pulanglah, bawa saja dulu jaketnya. Kau pasti kedinginan"
Aku menoleh ke arah sumber suara dan mendapatkan seorang wanita paruh baya yang biasanya menjual kue beras disitu.
"Apa ini punya ibu?" Tanyaku.
"Pakailah dan pulang, ibumu pasti sudah menunggu"
"Terimakasih"
Aku pun segera melangkahkan kakiku menuju rumahku yang tidak jauh dari situ.
***
"Aku pulang" ujarku sambil memasuki rumah.
"Ya ampun sayang, kamu darimana saja? Mama daritadi menelponmu mengapa tidak diangkat?" Tanya mama khawatir.
"Maaf ma, aku tidak sengaja tertidur di taman" balasku.
"Baiklah, gantilah bajumu, mama buatkan sup hangat ya, kamu pasti kedinginan"
Aku hanya mengangguk dan berjalan menuju kamarku.
Sesampainya di kamar, aku segera mengganti bajuku.
Aku terus menatap jaket yang ada di pangkuanku.
"Aku harus mengembalikannya besok"
***
Kriiiingg kriiiinggg
Bel pulang sekolah berbunyi.
Aku segera membereskan barang-barangku yang masih berantakan di atas meja.
"Oppa"
Suara itu lagi. Suara perempuan yang selalu membuatku naik darah.
"Ayo kita pulang! Antarkan aku ya" ujar Soora sambil mengambil tangan jun yang kemudian digenggamnya.
Aku yang melihat itu hanya dapat menyembunyikan rasa sesak pada dadaku. Rasanya ingin sekali aku berada dalam posisi Soora saat ini. Merasakan genggaman hangat dari tangan Wen Junhui.
Aku sudah merindukan senyuman lebarnya yang hilang entah kemana semenjak Soora menjadi kekasihnya.
Melihat mereka pergi meninggalkan kelas dengan tangan yang bertautan membuatku terdiam.
Aku terdiam untuk beberapa saat.
"Hey, kamu kenapa?" Tanya Yeonji menyadarkanku.
"Ah, tidak ada" balasku.
"Benar begitu? Kau tidak bisa bohong. Ayolah, aku ini sudah menjadi temanmu selama lima tahun dan aku tau arti dari ekspresi wajahmu itu" lanjutnya.
Aku menundukkan kepalaku dan meneteskan air mata. Yeonji yang melihat hal tersebut bergegas memelukku.
"Ceritakan padaku" ujarnya sambil mengelus kepalaku yang masih berada di dalam pelukannya.
"Aku-"
"Aku mencintai Jun" ujarku yang membuat tangisanku pecah.
"Aku tau" balasnya yang masih mengelus kepalaku.
"Selama ini jika aku tanyakan tentang perasaanmu terhadap Jun, kau selalu mengelak nya. Bibirmu mungkin bisa berbohong. Tapi tidak dengan matamu"
"Memangnya apa yang kau lihat dari mataku?" Tanyaku.
"Aku melihat ketulusan disaat kau menatapnya."
Aku terdiam.
"Jangan bersedih. Aku tau hatimu pasti terasa sakit sekarang. Namun jangan biarkan itu menghalangi mimpimu, mengerti?" Ujarnya.
Aku kemudian mengangguk kecil. Yeonji pun melepaskan pelukannya.
"Terimakasih sudah mengerti" ujarku.
Aku pun melanjutkan membereskan barang-barangku dan meninggalkan kelas bersama Yeonji.
***
Sebelum ke rumah, aku memutuskan untuk pergi ke taman untuk mengembalikan jaket milik ibu penjual kue beras kemarin. Mataku menangkap sosok itu dengan cepat. Aku pun segera menghampirinya.
"Selamat sore, ibu" ujarku.
"Ah, sore" balasnya.
"Ini bu, aku ingin mengembalikan jaket yang kemarin ku pinjam" lanjutku sambil menyodorkan jaket yang sudah kubawa.
"Simpan saja dulu, itu bukan milikku. Kemarin seorang pria tampan memberikannya saat kau sedang tidur dan memberitahuku agar kau menyimpannya terlebih dahulu"
"Siapa pria itu?" Tanyaku.
"Kalau tidak salah namanya Juli"
"A-ah begitu, kalau begitu baiklah"
Aku pun segera melangkahkan kakiku menuju rumah.
Sesampainya di rumah, aku segera menuju kamarku dan membaringkan diriku di tempat tidurku yang empuk.
"Juli?"
"Siapa dia?" Ujarku.
Otakku terus berpikir mengenai pria bernama Juli ini.
'Apakah dia teman lama yang terlupakan?'
'Apakah dia seseorang yang baru kukenal?'
'Apakah dia sungguhan?'
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus muncul di benakku.