"Jeonghan-ah!" Ujarku. Lelaki berparas cantik itu pun menoleh ke arahku.
"Hey! Kemari!"
Aku pun berlari kecil ke arahnya.
"Sejeong tidak sekolah hari ini, dia ada keperluan, antar aku pulang ya?" Ujarku.
"Siap kapten!" Balasnya sambil melakukan gerakan hormat.
Aku tertawa melihatnya.
***
Kampus kami sangat luas, jadi untuk keluar saja memakan waktu yang cukup lama.
"Oiya, ngomong-ngomong Sejeong kemana?" Tanya Jeonghan.
"Eomma nya sakit, ia harus menjenguknya" Balasku.
"Kasihan sekali"
Setelah cukup lama berjalan, kami melihat sebuah keramaian di depan mata kami, hampir terlihat sulit untuk keluar.
"Ada apa ini?" Tanya Jeonghan.
"Sepertinya sedang ada tur sekolah" balasku.
"Sini ikuti aku" ujar Jeonghan. Ia kemudian menarikku ke sebuah lorong yang kosong dan gelap. Samasekali tidak ada orang disana.
"Ini jalan lain yang biasanya aku lewati kalau sedang tidak bersama kalian"
"Ah, begitu, tau saja ada jalan ini"
Kami mulai berjalan di lorong yang cukup panjang tersebut.Namun aku merasa sangat aneh.
Jeonghan terus melakukan gerak gerik yang tidak biasa.
"Ah panas sekali" Ujarnya sambil membuka kancing kemeja paling atasnya.
Tak lama kemudian.
BRUK
Aku merasakan benturan yang sangat kencang di punggungku. Tembok, itu adalah tembok. Ku rasakan sepasang tangan menahan bahuku.
Aku mencoba untuk melepaskan diriku dari cengkraman tangannya di bahuku. Namun namun kekuatannya yang lebih besar daripadaku membuat aku sulit untuk bergerak.
"J-jeonghan-ah, apa yang kau lakukan, kumohon hentikan, ini bukan dirimu, kumohon" ujarku. Aku sungguh ketakutan saat ini. Kurasakan air mataku mulai membasahi pipiku.
"Jangan menangis, sayang. Nanti cantikmu hilang, hmm?" Balasnya dengan sebuah senyuman yang tidak dapat diartikan.
"JEONGHAN-AH, BERHENTI!" bentakku.
Namun ia tidak menurutiku dan mengelus bibir bawahku.
"Bibirmu" Ujarnya.
"Terlihat manis, boleh kucoba?" Lanjutnya.
Aku menggelengkan kepalaku kencang. Melakukan segala perlawanan namun sulit.
Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Ia mendaratkan sebuah ciuman di bibirku. Ciuman yang begitu brutal. Aku mencoba untuk mendorong perutnya namun nihil. Ia sangat kuat. Aku memukul-mukul dadanya dengan kencang.
Namun tiba-tiba
BUKK
Sebuah pukulan mendarat di wajah Yoon Jeonghan. Aku yang masih gemetar tidak karuan tidak kuat untuk melihat siapa itu. Aku terduduk di lantai lorong tersebut sambil menangis.
Hanya suara pukulan yang aku dengar sejak tadi. Aku pun tidak tahu siapa yang menyelamatkan aku itu. Aku menoleh ke arah yang cukup jauh dariku dan melihat bunga yang tergeletak di lantai.
"B-bunga?"
Aku pun menoleh cepat ke arah suara pukulan yang masih terus berlanjut.
"JUN!!" Aku berlari ke arah pria yang selama ini ku rindukan.
Ku lihat Jeonghan yang sudah tak sadarkan diri.
Aku pun memeluk Jun erat dan menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya melemas. Aku membopong Jun ke ruang medis dan mengambil bunga yang terjatuh tadi.
Sesampainya di ruang medis, aku membaringkan tubuhnya di salahsatu ranjang. Matanya terpejam. Dia tidak sadarkan diri. Wajahnya dipenuhi oleh luka-luka.
Aku segera mengambil obat dan membersihkan lukanya.
Aku menangis, tidak peduli akan bibirku yang terasa perih, kubiarkan cairan merah itu kering di bibirku.
Aku memeluk erat tubuhnya.
"Junnie-ya, maafkan aku sungguh, maafkan aku. Kau merencanakan kejutan untukku tapi pemandangan seperti itukah yang harus kau dapatkan. Maafkan aku Jun, maafkan aku. Kau terluka karenaku. Maafkan aku" Ujarku.
"Kau bahkan membawa bunga cantik ini untukku"
Aku menunduk sambil terus melihat bunga yang sangat cantik itu. Air mataku kembali menetes di atas bunga tersebut.
Namun sebuah tangan menyeka air mataku.
"Jangan menangis, kasihan bunganya, kehujanan" Ujarnya.
Aku menoleh dan mendapatkan Jun yang sudah tersenyum ke arahku.
Aku menaruh bunganya di kursi dan kembali memeluknya erat. Aku kembali menangis.
"Jun, maafkan aku, maafkan aku, tidak seharusnya kejadiannya seperti itu, tidak seharusnya kau mendapatkan pemandangan seperti itu, tidak seharusnya kau melihatku seperti itu, maaf-"
"Ssstt" Jun memotong ucapanku.
Ia bangkit dari posisi tidurnya dan menyuruhku duduk di sebelahnya.
Aku pun menurutinya.
"Ini sudah rencana Tuhan mengirimku kesini. Bayangkan jika aku tidak melihatmu, atau tidak mengunjungimu.
Kau bisa mengalami hal lebih buruk dari itu. Jadi jangan merasa bersalah, ini bukan salahmu" Ujarnya.Mengapa dia selalu begitu baik padaku?
"Tapi, Jun, kalau aku bisa lebih berhati-hati dalam memilih teman, itu mungkin tidak akan terjadi, maafkan aku" Ujarku.
"Aku mengerti, kau juga tidak menyangka sesuatu seperti itu bisa dilakukan oleh temanmu sendiri, bukan? Setauku dari yang kau ceritakan, dia adalah orang yang baik. Aku bahkan sempat percaya bahwa dia mungkin adalah teman yang bisa selalu menjaga dan mengawasimu ketika tidak bersamaku. Aku pun tidak menyangka" Balasnya.
Aku mengangguk.
"Jadi maafkan aku juga, tidak bisa selalu ada untukmu" Ujarnya yang kemudian mencium keningku.
Aku memeluknya erat.
"Aduh, tuan putriku terluka, sini biar aku obati" Ujarnya setelah melepas pelukannya.
Ia mengambil kapas dan obat yang sebelumnya sudah ku ambil.
Ia mulai mengoleskan obatnya di bibirku dan mengakhirinya dengan sebuah tiupan entah untuk apa.
"Selesai" ujarnya.
"Terimakasih, pangeran" ujarku sambil melakukan hormat seperti seorang putri.
***
Aku pun mengajak Jun untuk berkunjung ke rumahku dan bertemu mama papa.
.