Babak Pengakuan

195 9 0
                                    

Jika kamu cukup sampai hati melukainya, aku harus cukup cerdas melindunginya
- Farid-

***

Ada senyuman sinis yang menyeringai dari seorang berkulit sawo matang, badan tegapnya tengah bersembunyi dibalik sebuah pohon mangga yang rindang di pinggir lapangan, mata bulatnya tajam memperhatikan dua sosok laki-laki yang saling berhadapan di tengah lapangan luas tersebut, sesekali laki-laki berusia 28 tahun menampakkan urat-urat kemarahan dari balik wajahnya namun tampaknya lawan bicaranyapun tak mau kalah, ia membalas ucapan-ucapan laki-laki itu dengan berani. Sidang siang ini, antara pendakwah dan satu-satunya terdakwah tak kalah terik dengan matahari yang menyinari.

Sungguh hari yang benar-benar ia tunggu, dibalik wajahnya tersirat kepuasan dengan adegan nyata di depan matanya itu, seakan sebagian mimpinya mulai terjadi, mimpi yang sejak lama ia perjuangkan. Angannya mulai mengembara bahwa tak lama lagi mimpinya itu akan benar-benar terwujud sesuai dengan apa yang ia harapkan.

Baginya melihat adegan persidangan itu bak sebuah mimpi, tak peduli orang lain berfikir bahwa mimpinya itu gila, menginginkan seseorang didera masalah dan mengantarkan orang tersebut pada hukuman terberat adalah puncak dari impiannya. Orang lain mungkin tak tahu bahwa selama ini ia telah menyimpan rasa itu, kebencian yang telah mendarah daging dalam dirinya hingga ia tak memikirkan perasaan orang lain. Pikirnya orang lainpun tidak pernah memikirkan perasaannya.

Dulu, ia tak pernah memiliki ide sejahat ini, memimpikannyapun tidak sama sekali, namun sejak sebuah adegan dalam hidupnya terjadi tak sesuai dengan harapannya ia mulai merasa jatuh dan tak terkendali, saat itu ia mulai ditemani oleh rasa sakit dan benci. Maka ketika kedua rasa itu ia lampiaskan berbahagialah ia.

Sedang sosok yang menjadi terdakwa diujung sana tampak tak ada kegugupan seperti seorang terdakwah pada umumnya, ia terlihat sangat siap, bahkan ia benar-benar memasang telinganya lebar-lebar demi mendengar segala serapahan yang ditunjukkan padanya. Babak pengakuan pun dimulai. Dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya ia terlihat telah memikirkan matang-matang sebelumnya tentang pengakuannya itu. Dihadapan laki-laki berisi dengan janggut tipis menghiasi dagunya, pembimbing bagian keamanan putra, Ia mengaku bahwa semua masalah itu adalah kesalahannya.

"Saya memang menemuinya ustadz, tapi ini bukan kesalahannya, dia tidak pernah memanggil saya, saya yang mengikutinya dari belakang dan menyapanya hanya memastikan bahwa dia baik-baik saja, jadi sekali lagi ini bukan kesalahan dia, cukup ustadz hukum saya!"

"Apapun itu kalian berdua tetap bersalah! Dan harus mendapatkan hukuman yang setimpal!"

Bentakan demi bentakan diterimanya. Ia pun tak tanggung-tanggung mengubris segala kecaman yang kadang membuat telinganya panas.

"Itu Fitnah Ustadz, saya tidak memiliki hubungan apa-apa dengan dia! Ustadz bisa tanyakan kepada teman-teman saya, kami memang dekat tapi hanya sebatas teman!"Ungkapnya, meski hatinya mengelak karna perasaannya pada perempuan itu bukan sekedar sebagai seorang teman. 

"Kamu yakin? saya mendapat kesaksian itu dari teman kamu sendiri."

Napasnya tertahan. 

"Ustadz tidak bisa mendengar pernyataan hanya dari satu pihak! Ustadz yakin dia berkata benar? Bisa jadi orang itu hanya memutar balikan fakta."

"saya bukan cuma mendapat dari satu kesaksian saja! Lagipula Shofia sudah mendapatkan map merah!"

"Apa?" Farid terkejut mendengarnya.

Siang itu pula penentuan pun diakhiri dengan keputusan bahwa ia bersalah. Map merah pun melayang dihadapannya saat itu juga. Sederet hukuman diberikan padanya. Ia sudah lapang menerimanya, perkara pertama yaitu bertemu dengan santri putri tanpa izin memang kesalahannya namun perkara kedua yang menyebutkan ia memiliki hubungan tidak ia terima karena ia memang tidak memiliki hubungan (aka. pacaran) dengan santri putri bernama Shofia, akan tetapi tetap saja itu menjadi salah satu kesalahannya.

Apa Shofia mengakui bahwa Ia memiliki hubungan dengan Farid? Segera ia buang fikiran jeleknya itu meski hatinya senang. Ia tahu shofia  perempuan yang mengharamkan pacaran sebelum halal, bahkan ia tahu Perempuan pujanan hatinya itu tak mudah menberikan hatinya pada laki-laki. Ia harus selesaikan masalah ini.

Bara sakit hatinya mencuat kembali kepada seorang yang menjadi dalang dari perkara yang ia dapatkan. Ya, kini laki-laki jangkung bermata elang in telah mengetahui orang yang telah mengadu dombanya hingga ia mendapatkan map merah. kobaran api menyeringai dari balik matanya.

Setelah sidang siang hari itu usai, Ia bergegas melangkah. Kini ia tahu kepada siapa kemarahannya dilampiaskan. Dari pernyataan-pernyataan yang diutarakan Ustadz Panji tentang kesaksian perkaranya. 

"Jika kamu cukup sampai hati melukainya, aku harus cukup cerdas melindunginya" Gumamnya dalam hati untuk si pengadu domba.

---------- 

hmmmm siapa yaa kira-kira cucunguk si pengadu domba itu  ikutin terus yaa kelanjutan ceritanya. ambil yang baik-baiknya yaa 

Mimpi di Balik Layar (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang