Epilog:

843 28 4
                                    

Karena hanya dengan kebaikan Allah, semua mimpi itu dapat diwujudkan. 

- Author - 
***

Shofia, perempuan yang masih menggunakan setelan baju toga mematung diantara mobil-mobil yang terparkir di sebuah lapangan, ia berusaha menyeka tangis yang merembes dari balik matanya karena foto yang sedari tadi ia pandangi. Tiba-tiba seseorang menghampirinya dengan terengah-engah seperti habis lari marathon.

"Shof, dari tadi ana nyariin ente, eh ternyata disini." Ujarnya masih dengan nafas yang tersenggal. Seketika ia memberikan sebuah amplop putih. Shofia hanya mengeryitkan alisnya demi menerima amplop itu.

"Ini apa?" tanyanya menimang-nimang amplop.

"Em itu dari Hanna," sontak ia kaget mendengar ucapan Shaima.

"Sebelum pergi tadi dia nitipin surat itu ke Sarah," tuturnya lagi, suaranya sedikit parau menyebutkan salah satu adik kelas mereka. Kembali Shofia tersentak.

"Pergi? Dia udah pergi? kok bisa? Kok cepet banget? Kenapa? Trus kenapa di titip ke Sarah?" yang diserbu serentetan pertanyaan darinya hanya mengangkat bahu.

"Ana kurang tau shof, tadi ana ketemu si Sarah, nah dia dari tadi nyariin kamu tapi nggak ketemu. Dia nyariin buat ngasih surat itu ke kamu, surat dari Hanna." seketika Shofia menghela nafasnya demi mendengar penjelasan Shaima. 

"Hanna nggak bilang apa-apa ke Sarah?"

"Katanya nggak sih, dia cuma bilang titip surat untuk kamu."

Kepergian Hanna mengundang teka-teki baginya. entah apa alasan perempuan teduh itu begitu cepat pergi, bahkan mereka belum sempat mengucapkan salam perpisahan. Ini begitu mengejutkan. Padahal mereka telah berencana untuk pergi jalan-jalan sebelum kepulangannya ke Jambi, sepertinya akan mustahil terjadi. Ada apa gerangan dengan kepergian Hanna secepat ini?

"Sabar ya Shof," ucap berkacamata itu melihat bendungan kesedihan dari balik mata Shofia.

Ia pun segera pamit meninggalkan Shofia yang masih mematung memandangi amplop pemberian Hanna. Dibukanya amplop yang terdapat dua kertas disana. Ia membuka salah satunya.

08 Mei 2011,

Dear Athaya Shofiatuz Zahwa,

Assalamualaikum...

Maafkan aku jika surat ini mengejutkan. Semoga surat ini dapat mewakili salam perpisahan kita. Namun yang aku harap bukan perpisahan untuk yang terakhir, karena aku ingin suatu hari kita dapat bertemu kembali. Dan maaf jika aku tidak bisa memenuhi undangan jalan-jalan bersama kamu dan teman-teman. Semoga suatu saat nanti. Sampaikan salamku pada Firka, Lala, Fida dan teman-teman yang lain. Aku pasti akan merindukan kalian.

Shofia, aku minta maaf jika kepergianku mendadak seperti ini, aku mohon maaf sekali lagi karena tidak sempat menemuimu sebelum aku pergi. Aku memang harus segera pulang. Terima kasih atas kebaikanmu selama ini menjadi sahabat terbaikku.

Dan ini satu titipan surat yang sudah lama ingin aku berikan. Surat dari Farid, maaf aku baru memberikannya.

Ku tunggu karyamu dipintu masa depan...

Halawatun Nasywah (Hanna)

Seketika deretan embun hangat berlomba-lomba runtuh membasahi pipinya. Ia terlihat lemas memegangi surat yang dititipkan Hanna melalui Shaima itu, sungguh keputusan yang mengejutkan. Entah mengapa hatinya seperti terhempas. Kata-kata yang terakhir dalam surat itu seperti jarum yang menusuk jemarinya. Keinginannya seperti pupus untuk meretas karya bersama sahabatnya itu. Tentunya ia akan sangat sulit bertemu dengan Hanna, karena kini jarak itu mulai terbentang.

Lama ia mematung demi menemukan jawaban atas kepergian Hanna yang menghasilkan teka-teki dalam benaknya. Seperti ada yang disembunyikan darinya. Tiba-tiba terdengar suara yang menyapanya dari belakang. Suara yang ia kenal, bahkan sangat ia kenal.

"Shofia," panggilnya lagi. Shofia hanya terdiam dihadapan sosok jangkung itu.

"Aku sudah memaafkanmu," hanya kalimat itu yang terlontar dari bibir Shofia, ia tak sama sekali memberi celah waktu untuk laki-laki itu berbicara karena ia segera beranjak meninggalkan laki-laki yang sama-sama memakai baju toga itu.

Farid pun hanya menghela nafas demi memandang kepergian Shofia. entah kapan ia bisa menjelaskan pada gadis mungil itu. Namun ada kebahagian dari balik wajahnya atas kalimat yang langsung terlontar dari mulut Shofia tadi, seperti membuat harapan baru baginya.

Di beranda kamar, Shofia bertemu dengan ketiga sahabat sinematografinya. Ketiganya ikut larut dalam kesedihan atas kepergian Hanna yang tiba-tiba dan mendadak. Mereka mencoba untuk berfikir positif. Mereka tahu Hanna begitu merindukan keluarga dan kampung halamannya.

Harapannya suatu hari nanti akan berkumpul kembali dan mengukir mimpi. Karena scenario mimpi itu masih tersimpan. Perjalanan masih panjang. Yang harus dilakukan sekarang hanyalah berusaha agar bisa melewati setiap kerikil ujian yang pasti akan menghadang. Dari masa lalu, dari pengalaman kemarin mereka belajar untuk tidak pernah menyerah untuk memperjuangkan mimpi yang bertebaran di langit-langit hati, Karena dibalik mimpi-mimpi itu ada kejutan-kejutan yang tak terduga yang Allah perkenankan pada orang-orang yang berusaha mewujudkannya, Lillah. Karena hanya dengan kebaikan Allah, semua mimpi itu dapat diwujudkan. 

------- 
Jazakumullah Khairan Katsiro

Sahabat telah membaca salah satu masterpiece ku ini, semoga sahabat semua dapat mengambil kebaikan didalamnya dan buang yang buruk-buruknya yaa. Silahkan tinggalkan pesan dan kritiknya yaa 

mohon maaf apabila masih ada kerancuan kata-kata dan bagian yang tidak teman-teman sukai dan maaf kalau
 akhir ceritanya ngegantung, karnaaa akan ada sequel keduaa dari Mimpi di Balik Layar, mau tau lanjutannya? tunggu aja yaaakkk launchingnyaa. Stay tune teruss 

Uhibukum Fillah 

Salam Sayang, 
Hulya Ashfie

Mimpi di Balik Layar (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang