30 - Menjaga

1.9K 123 0
                                    


‘BRUK’

Satu paper bag mendarat dihadapan meja Fathan. Ya, Anin melangkah masuk ke ruang dosen saat perkuliahan sudah selesai.

Fathan menautkan alisnya, “Ini apa, sayang? Kok kesini gak ngabarin?” Tanya Fathan karena tak biasanya Anin menghampirinya, apalagi sampi ke ruang dosen.

Anin menyeret salah satu kursi dosen yang tidak berpenghuni, roda bawahnya berputar dan terhenti didepan meja Fathan, kemudian Anin mendudukinya. Ia menopang dagunya dengan satu tangan.

“Sayang..” Fathan merasa ada sesuatu yang salah, raut wajah istrinya sangat tidak bersahabat.

“Cantikan mana,  aku atau Aisyah?” Tanya Anin tiba-tiba.

“Aisyah yang mana?” Tanya Fathan yang semakin dibuat bingung.

“Yang mana?” Mata Anin membulat. “Oh jadi bapak kenal banyak Aisyah?” Tanya Anin yang semakin dibuat kesal dengan respon spontan yang keluar dari mulut Fathan.

“Sayang.. Kamu kenapa, sih?” Fathan menggerakkan tangannya untuk menyentuh wajah Anin, namun Anin segera menjauhkan wajahnya.

“Ohya, itu dari Aisyah. Sa-ha-bat bapak.” Ucap Anin dengan suara setenang mungkin, namun penuh penekanan. Anin bangkit dari duduknya, “Anin ke kelas ya, pak. Nanti telat.”

Dengan cekatan Fathan mencekal pergelangan tangan Anin, “Bareng aja, ya?” Tanya Fathan yang kini ikut berdiri. Untunglah diruangan ini hanya ada mereka berdua.

“Ish sakit, pak.” Anin meronta, pergelangan tangannya terlalu dicengkram erat oleh Fathan.

Fathan merasa besalah, ia segera melepaskan cengkraman lengannya. Ditatapnya wajah Anin yang kini terlihat sangat kacau, matanya dilingkari oleh lingkaran hitam dan sembab, suaranya sedikit serak, pipinya yang memerah. HHhh Fathan merasa cemas dengan kondisi istrinya, Anin pasti semalaman tidak tidur karena menjaga mamanya.

“Sayang, dia Cuma sahabat saya, gak lebih.”

Anin menampilkan senyuman miringnya, “Sahabat? Gak ada persahabatan yang murni antara laki-laki dan perempuan, pak!” Ucap Anin dengan nafas yang memburu. Dadanya saat ini sangat sesak.

Fathan tertegun sejenak, berusaha bertahan dengan kesabarannya menghadapi Anin yang saat ini sedang kesal dengan sesuatu hal yang bahkan bukan Fathan yang melakukannya. Baiklah, mungkin saat ini semesta sedang ingin bermain dengan Fathan. Ya, keadaan memang sedang tidak memihak pada dirinya.

“Bapak diem, kan?” Anin mencengkram tali tas yang tersampir di bahu kirinya.

“Sayang, gak gitu...”

“Aisyah sudah menikah?” Tanya Anin memastikan.

Fathan menggeleng.

Anin menghirup udara dalam-dalam, “Assalamu’alaikum.” Anin segera mengayunkan langkahnya menuju pintu ruangan, mendorongnya kemudian keluar dari ruangan yang sangat menyesakkan ini. Air matanya sedari tadi terus mendobrak meminta keluar, namun dengan sekuat tenaga Anin berusaha menahannya. Tapi untuk saat ini pertahannanya roboh, detik itu juga tanganya segera menepis genangan air mata yang berada di pelupuk matanya.

Fathan? Saat ini Fathan masih begeming, melihat pintu ruangan yang tertutup. Sosok Anin yang kini baru saja berhasil membuatnya bungkam. Persahabatan yang tidak murni? Lalu, Aisyah yang sampai sekarang belum menikah? Keterkaitan antara dua premis itu seakan tak mampu disimpulkan.

Fathan kembali menyeret kursinya, ia membuka paper bag dan melihat isinya. Ada satu kotak berukuran sedang, dihiasi pita berwarna biru dongker. Apa ini? Fathan menarik pita itu dan membuka kotaknya. Dasi, ya satu dasi biru dongker bermotif garis hitam kini ada dihadapannya. Fathan kembali menutup kotak itu tanpa menyentuh isinya. Lalu ada satu tupperwere berwarna ungu yang isinya cemilan kesukaan Fathan.

Qualitative  Research of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang