16 - Tiba Saatnya

2.6K 134 0
                                    

“Saya terima nikahnya Anindita Keisha Zahra dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.” Ucap seorang pria dengan tenang namun tegas, ia menjabat kokoh lengan ayah dari perempuan yang namanya baru saja ia sebut.

“Bagaimana para saksi?” Ucap abi melirik empat orang saksi.

“SAH.”

“Alhamdulillah, barakallah....” Untaian doa teralun indah memenuhi seantero ruangan ini. Suasana bahagia bercampur haru meliputi ruangan ini.

Sementara di dalam kamar, Anin menatap pantulan dirinya sendiri dihadapan sebuah cermin besar. mendengar seseorang yang telah melantunkan sebuah kalimat suci penuh makna.

“Selamat sayang.” Ucap umi yang kini memeluk erat Anin.

Anin menoleh lalu tersenyum, “Alhamdulillah, umi.” Jawab Anin dengan mata yang hampir menangis.

“Bayi umi udah menikah.” Ucap umi yang kini sibuk menyusut air matanya.

“Umi...” Lengan mungil Anin menelusuri lekuk wajah uminya. Wanita yang telah menemani hidupnya selama ini.

“Iya, umi gak nangis kok.” Ucap umi terkekeh.

“Umi, Anin jadi pengen nangis juga.”Ucap Anin dengan air mata yang sudah memenuhi pelupuk matanya.

“Anin, lo jangan nangis. Sayang banget make up-nya.” Ucap Afifah memeluk Anin dari samping.

Mereka bertiga menunggu di kamar.

‘tok tok tok’

Suara ketukan pintu berhasil membuat ketiganya menoleh.

“Umi, Anin udah boleh turun.” Kata Raka yang sudah tampan mengenakan setelan jas bewarna abu-abu.

“Hayu, Nin. Kita samperin Fathan.” Ucap umi menuntun Anin menuruni anak tangga.

Anin menuruni anak tangga didampingi oleh umi dan Afifah, gaun yang dikenakan Anin sangatlah indah. Warna peach mendominasi ruangan ini, sengaja Fathan rancang agar sesuai dengam karakter Anin yang lembut dan menggemaskan. Anin datang menghampiri Fathan, ayunan langkahnya seiring dengan debaran jantung Fathan yang berdetak lebih cepat. Fathan terpesona melihat Anin yang sangat cantik, riasan di wajahnya nampak cocok sekali dengan usianya, tak berlebihan. Butiran kristal bertabur di bagian atas gaun yang Anin kenakan, hijabnya terurai sampai bagian belakang, ekor gaun menjuntai indah menyapu lantai.

Kini Anin telah tiba dihadapan Fathan. Keduanya berdiri berhadapan, Fathan menatap istrinya lekat-lekat. Wanita paling cantik yang mampu meluluh lantahkan hatinya kini telah resmi menjadi bidadari surganya. Fathan mengulas senyum, dilihatnya Anin yang nampak malu-malu itu.

“Silahkan dicium dulu tangan suaminya, Nin.” Ucap Abi.

Anin meraih pergelangan tangan Fathan dengan ragu. Ia belum pernah sama sekali menyentuh kulit lelaki selain abi dan kedua kakaknya. Anin mencium punggung tangan Fathan, matanya terpejam. Sedangkan tangan kiri Fathan terangkat menyentuh puncak kepala Anin. Lantunan do’apun Fathan panjatkan dengan khusyu, tak terasa buliran air mata tejatuh dari pelupuk matanya. Suasana saat ini semakin haru, siapa saja yang melihatnya akan ikut menangis bahagia.

Setelah selesai, Anin melepaskan tangan Fathan. Pandangannya tak bisa lepas dari manik mata coklat paling indah yang pernah ia lihat. Lengan Fathan tergerak menyentuh kedua pundak Anin, ia sedikit menunduk untuk dapat menegcup kening Anin. Kedua mata mereka terpejam, merasakan kehangatan cinta suci yang kini menjalar menelusuri lorong-lorong hati mereka. Jika waktu dapat dihentikan, pastilah mereka memintanya untuk saat ini juga.

Abi tersenyum melihat putri bungsunya telah sah menjadi pengantin, ia merasa waktu seakan cepat berlalu. Rasanya baru kemarin ia menggendong bayi kecil yang sedang menangis kencang, tapi saat ini bayi kecil itu telah tumbuh menjadi seorang wanita yang bukan hanya cantik fisik namun hatinya juga.

Qualitative  Research of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang