“Gimana Fat pengalaman pertama kamu ngajar?” Tanya seorang wanita paruh baya seraya menaruh ayam goreng diatas piring milik Fathan. Risa Amalia.
“Beda, Ma.” Jawab Fathan singkat. Rasanya hari ini sangat melelahkan bagi Fathan.
“Kaget anakmu itu, Ma.” Timpal seorang pria paruh baya yang kini tengah menarik kursi lalu mendudukinya. Alfaruq Broto Abhimata, beliau adalah papa kandung Fathan.
Fathan menghela nafas panjang. Ia terkekeh mendengar respon dari papanya.
“Fat, mengajar di S-satu itu memang beda sama kelas pasca. Mereka adalah kumpulan manusia peralihan dari remaja menuju dewasa. Mereka juga sedang belajar bagaimana caranya hidup jauh dari orang tua.” Jelas sang papa sambil sesekali membenarkan letak kacamatanya yang melorot.
“Iya Pa, Fathan ngerti kok.” Jawab Fathan seraya memasukan satu suap nasi kedalam mulutnya lalu mengunyahnya degan perlahan.
“Nasinya segini kebanyakan gak, Pa?” Tanya Risa pada Broto.
“Sudah cukup, Ma.”
Kegiatan makan malam merupakan salah satu agenda wajib yang diberlakukan di keluarga ini. Pasalnya, semua orang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Hanya dengan makan malam bersama mereka semua dapat berkumpul di satu meja yang sama, membicarakan hal-hal ringan untuk menambah keharmonisan keluarga.
“Fat, Papamu ini malah lebih betah mengajar di semester lima dari pada dikelas pasca.” Ucap Broto kembali membuka percakapan.
“Ohya, Pa? Kenapa? Bukannya mereka itu sangat kekanak-kanakan?” Tanya Fathan sangat antusias.
“Ya karena itu. Sifat asli mereka yang kadang membuat papa ingin tertawa jika mengingatnya.” Ujar Broto seraya meraih satu gelas berisi air putih lalu meneguknya.
“Tertawa giamana maksudnya, Pa?” Fathan belum bisa mencerna apa yang papanya maksud.
“Mereka itu sukanya bercanda, tapi kalau diarahkan dengan cara yang baik pasti mereka nurut.” Jelas Broto.
Fathan hanya mengangguk-anggukan kepala. Fathan jadi teringat akan satu mahasiswinya yang berhasil merebut fokusnya hari ini. Tanpa sadar senyuman tipis terukir diwajah tampannya.
“Tapi ada satu fakta yang mungkin belum kamu tahu tentang mereka.” Broto sengaja menggantungkan perkataannya sehingga membuat Fathan menghentikan gerakan mengunyahnya.
“Fakta apa, Pa?” Fathan dan Risa kali ini besuara kompak.
“Mereka suka gak mandi kalau ngampus.” Ucap Broto dengan lantang, sepersekian detik berikutnya ia tertawa.
“Hah?” Fathan cengo. Membayangkannya saja membuat Fathan ilfeel setengah mati. Bagaimana tidak jijik? Hey, Fathan adalah pria yang sangat mengutamakan penampilannya.
“Ih si papa nih.” Risa menyenggol sikut suaminya dan ikut tertawa.
“Fat, bulan depan kamu udah dua puluh enam tahun loh.” Kali ini Risa yang bersuara.
“Iya. Kenapa, Ma?”
“Masa kamu belum mau ngenalin mama sama pacar kamu.” Jawab Risa dengan sangat hati-hati.
Fathan terdiam.
“Udahlah, Ma. Biarin Fathan cari pengalaman hidup dulu, gak usah buru-buru.” Broto rupanya membela anak semata wayangnya itu. Broto fikir istrinya terlalu mendesak Fathan agar segera menikah.
Fathan berdeham, berusaha meloloskan kerikil yang kini seolah mencekat di kerongkongannya, “Iya, Ma. Belum ada yang cocok.” Ucap Fathan.
“Iya tapi jangan lama-lama.” Ucap Risa seraya menyinduk sayur lalu menuangkannya ke mangkuk kecil. “Temen-temen mama udah pada mau punya cucu.” Lanjut Risa dengan raut wajah sendu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Qualitative Research of Love
Science-FictionBerkisah tentang seorang magister muda, Fathan Alfaruq Abhimata. Fathan yang kini sedang menjalankan tugasnya sebagai asisten dosen di salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di kota Bandung. Menginjak usianya yang sudah 27 tahun, Fathan mulai g...