5 - Ketika dia Menjauh

2.9K 150 0
                                    

Setelah mata kuliah Penelitian Pendidikan selesai, Anin bergegas menuju kosan untuk mengambil barang-barangnya yang akan ia bawa pulang ke Purwakarta. Ya, akhir pekan ini, Anin akan pulang ke Purwakarta.

Setelah menunggu dua jam perjalanan, akhirnya Anin tiba didepan teras rumahnya. Ia menarik nafas dan tersenyum kemudian ia mengayunkan langkahnya menuju pintu utama.

"Assalamu'alaikum, umi, abi.. Anin pulang!" Seru Anin sangat bersemangat.

"Wa'alaikumsalam, ya Allah anak umi kok pulang gak bilang? Kan bisa umi jemput ke Bandung." Tanya umi seraya mendekap putri bungsunya itu.

"Umi, Anin sudah besar. Bisa pulang sendiri." Anin mengecup pipi umi.

Umi tertawa. "Iya, Anin sudah besar," Ucap umi mengusap pipi Anin.

"Umi, Anin laper." Anin memamerkan cengiran kudanya.

Umi mencolek hidung Anin. "Kamu tuh selalu laper, ya. Emangnya disana jarang makan?"

"Ngirit, mi."

"Yasudah, nanti umi siapkan makan siang, ya. Sekarang kamu mandi dulu, bentar lagi Abi sama kakak duo kembar juga datang." Ucap umi.

"Serius, umi?" Tanya Anin dengan mata berbinar.

Umi mengangguk.

***

Anin menghirup aroma harum khas sayur sup buatan umi. Dengan cepat ia menuruni anak tangga untuk menuju dapur. Anin sedikit berlari hingga membuat Raka yang menunggunya di bawah pun menggelengkan kepala.

"Anin, jangan lari. Gak akan habis sayur supnya," Ucap Raka tegas.

"Hai, kak Raka." Anin menyapa Raka ketika sudah sampai di anak tangga paling bawah.

Raka merentangkan tangannya dan Anin segera memeluk erat tubuh Raka. "Duh, adik kakak pasti udah kelaperan, ya?" Tanya Raka yang hanya dijawab anggukan oleh Anin.

"Nin, gue gak dipeluk?" Riki yang kini sudah berada disamping Raka memberengut.

Anin melepaskan dekapannya lalu beralih memeluk Riki. "Kak Riki pasti belum mandi, ya?" Tanya Anin seraya medongakan kepalanya.

Riki hanya nyengir kuda. Raka dan Riki, dua kakak Anin yang kembar identik. Hanya sifat yang dapat membedakan keduanya. Raka itu tegas, kalem, berwibawa, penyayang dan lembut. Sedangkan Riki, pecicilan, ribut, berisik dan mampu membuat suasana menjadi ceria.

"Duh, anak-anak abi sudah pada besar." Abi mengusap kepala mereka bergantian. Membuat mereka semua tersenyum.

"Makanan sudah jadi!" Seru umi dari arah dapur membuat ketiganya tertawa dan mengayunkan langkah menuju sumber suara.

***

Setelah selesai makan bersama, Anin menunaikan shalat magrib di kamarnya, dilanjut dengan membaca ayat suci Al-Qur'an sampai dikumandangkannya adzan isya. Lalu ia melanjutkan shalat isya dengan khusyu. Setelah selesai, Anin melipat mukenanya lalu ia melangkahkan kakinya menuju balkon kamar. Memandang bintang-bintang yang bertabur indah di langit malam Purwakarta.

Fikiran Anin melayang, ia teringat akan salah satu pemuda yang pernah hadir dalam fase kehidupannya. Ini tentang Syamil, sosok lelaki yang memiliki darah Arab didalam dirinya. Tentang dia yang dulu selalu membersamai hari-hari Anin. Sedang apakah dia sekarang?

"Syamil.. Aku kangen," Ucap Anin lirih. Ia mengingat saat dahulu, mereka sering mengerjakan tugas bersama di tempat ini. Namun sekarang, untuk mengetahui kabarnya pun sudah sulit. Jarak memisahkan keduanya, saat ini Syamil tengah menempuh pendidikan di salah satu universitas terbaik di Jogjakarta.

Ide gila terlintas dikepalanya, ia berlari menuju kasur lalu menjatuhkan dirinya, tangannya meraih ponsel diatas nakas. Ia mencari kontak Syamil lalu memberanikan diri untuk menelepon pemuda itu.

Sambungan terdengar, membuat degup jantung Anin semakin tak beraturan.

"Hallo, Assalamualaikum?" Sapa seseorang diseberang sana. Mendengar suara berat Syamil membuat sudut-sudut mata Anin menjadi basah.

"Wa'alaikumsalam, Syamil, kamu.. apa kabar?" Tanya Anin dengan gugup.

"Alhamdulillah, baik. Maaf, ini dengan siapa, ya?"

Anin membulatkan matanya, mendengar pertanyaan Syamil barusan membuatnya harus membungkam mulutnya, ia meremas dadanya kuat-kuat, menahan sesak yang terasa didalam dadanya.

"Hallo?" Suara itu terdengar lagi.

"Syamil, ini Anin. Anindita," Ucap Anin sekuat yang ia bisa. Menyembunyikan isakan tangisnya.

"Anin, maaf banget. Aku tutup, ya. Assalamu'alaikum."

Sambungan telepon terputus sepihak. Tangis Anin semakin menjadi, pemuda yang selama dua setengah tahun itu selalu menghiasi hari-hari Anin dalam sebuah bayang, kini menghindar tanpa alasan. Jika bisa, Anin ingin menghapuskan perasaan yang tertanam dalam hatinya, saat ini juga, namun hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Part ini ditulis oleh Rika Maulina🌼

Wah Anin potek sepotek-poteknya😭😭

Semangat terus Aninku yang cantik 😄😄

See you

Salam sayang
Rika ❤
27 - Desember - 2018


Qualitative  Research of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang