40 - Kenapa ?

2K 103 2
                                    

Saat ini Aisyah dan Anin sedang mengitari pusat perbelanjaan di Cihampelas, Aisyah masih setia berjalan disamping Anin, menemani perempuan hamil itu keluar masuk berbagai jenis toko.

“Kak, cape ya?” Tanya Anin, karena sudah dua jam lamanya mereka hanya muter-muter, tanpa membeli apapun.

“Kamu capek, Nin?” Tanya Aisyah balik.

“Loh, kok kakak nanya Anin, sih?” Anin terkekeh. “Anin gak capek, kak. Tapi laper,” Jawab Anin polos.

“Wah, mau makan apa, Nin?” Tanya Aisyah antusias.

“Ramen?”

“Setuju! Yuk?” Seperti biasa, Aisyah akan merentangkan telapak tangannya dan menunggu Anin untuk segera menggenggam tangannya. Lalu mereka akan berjalan beriringan menuju salah satu restauran Jepang.

***

“Lagi pengen makan yang pedes-pedes, ya?” Goda Aisyah saat mereka baru saja memesan beberapa menu yang tersedia.

“Iya, kak. Pengen makan mie, tapi kalau di rumah mah gak kepingin. Padahal pak Fathan suka makan mie instan,” Jawab Anin seraya melipat kedua kakinya, mencari posisi duduk yang nyaman untuk seorang yang tengah hamil ternyata tidak mudah.

“Fathan masih sering makan mie instan?” Tanya Aisyah antusias.

Anin mengangguk. “Susah kalau dibilangin tuh, kak. Kakak bilangin, gih. Siapa tau kalau sama sahabatnya nurut.”

Aisyah tertawa. “Kakak sudah gak ada hak lah, cantik.” Aisyah mencubit pelan pipi Anin.

“Kak, makasih ya,” Ucap Anin tiba-tiba.

Aisyah mengerutkan dahinya. “Untuk apa, Nin?”

“Untuk semuanya.” Anin tersenyum.

Seorang waitress datang membawa dua mangkuk ramyun panas dan dua gelas tinggi minuman green mojito, lalu membungkukkan badannya, mempersilahkan dua wanita ini untuk melahap hidangan yang telah ia bawa kemudian ia melangkah pergi.

“Kamu kenapa, sih?” Tanya Aisyah terkekeh, kemudian ia memberi satu pasang sumpit untuk Anin.

Anin menggeleng. “Yaudah, makan aja yuk, kak. Anin udah laper banget.” Sebenarnya ia ingin berterimakasih karena Aisyah selalu setia menemani kemanapun Anin ingin pergi. Padahal Anin sudah mengetahui bahwa Aisyah juga mencintai Fathan. Suaminya. Tapi, Aisyah tak pernah sekalipun mengibarkan bendera pemusuhan untuk dirinya. Hebat, bukan?

“Ngomong-ngomong, kandungan kamu udah berapa bulan, Nin?” Tanya Aisyah seraya mengaduk-aduk sedotan pada minumannya.

“Jalan empat bulan, kak,” Jawab Anin seraya mengelus perutnya yang mulai membuncit. Lalu ia menjejalkan mie dengan lahap.

“Wah, alhamdulillah.” Aisyah tersenyum senang.

“Doain dede ya, tante,” Ucap Anin meniru suara anak kecil. Ia menatap perutnya dan mengelus lembut.

Aisyah tertawa gemas. “Ia sayang, tante doain semoga kamu sehat dan pinter kaya bundanya.” Aisyah ikut mengelus perut Anin. Ada garis wajah yang mengisyaratkan bahwa ia juga ingin seperti Anin. Hatinya terus bertanya, kapan jodohnya datang?

“Kak?” Anin mengibas-ngibaskan tangannya pada Aisyah. “Kakak? Kok ngelamun?” Tanya Anin lagi.

Aisyah mengerjapkan matanya. “Astaghfirullah. Maaf ya, Nin.” Aisyah segera meraih gelas dan meneguk isinya tanpa menggunakan sedotan. Ia terus merutuki diri sendiri. Sadarlah, Aisyah...

Qualitative  Research of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang