14

8.1K 1.6K 605
                                    


BAB 14

"I know I can treat you better than he can"

🌸

"POKOKNYA GUE NGGAK MAU LAGI NGINJAKKAN KAKI DI WARTEK!"

Luhan dan lima orang lainnya yang sedang duduk melingkar bersama di gazebo fakultas memandang serentak ke arah gadis yang baru saja datang dengan raut wajah seperti ditimpa musibah besar. Teriakannya cukup membuat orang yang menatapnya kebingungan karena marah-marah sendiri.

"Gara-gara lo semua nih gue ketiban sial!" dumelnya menyalahkan teman-temannya sebagai biang dari segala kesialannya sambil meletakkan plastik kresek merah yang isinya beberapa nasi bungkus di tengah-tengah lingkaran duduk mereka.

"Kenapa dah? Udah dateng nggak ada sopan-sopannya, mana sekarang jadi nyalahin kita?" tanya Luhan bingung.

"Au dah, panjang ceritanya. Kalo gue ceritain juga otak lo nggak bakal nyampe. Tuh, dimakan. Jangan suruh-suruh gue lagi pokoknya!" Lea menggoyangkan tangannya di depan wajah.

Luhan masih mengerutkan kening. Ingin bertanya lebih dalam tapi temannya itu tampaknya sedang dalam kondisi mood tidak baik, jadi ia mengurungkan niat. Cowok berwajah mungil itu pun beralih mengambil nasi bungkusnya lalu kembali pada topik bahasan mereka yang sempat terjeda.

"Motor gua mane?" tanya seorang cowok berambut jabrik di sela-sela makannya. Lea merogoh saku celana jeansnya, mencampakkan kunci motor dengan gantungan logo universitas dari karet tersebut pada temannya yang berada di seberang. "Tangkap," katanya.

"Kesel banget gue. Gue kira wartek sepi, tau-taunya anak teknik lagi pada makan disitu," akhirnya Lea pun menceritakan kisah yang dialaminya karena ia tak tahu harus melakukan apa disaat teman-temannya sedang makan. Lea tidak memesan untuknya tadi karena ia tidak suka makan di wartek. Luhan pernah bilang nasi di wartek cuma dicuci sekali, dan pernah ada ulatnya. Tapi anehnya, cowok itu makan di sana juga. Dasar orang tidak konsisten pada omongannya.

"Digodain ya kamu di sana?" tanya cewek berambut pirang—karena disemir tentunya—sambil menoleh Lea.

Lea memutar bola matanya membuat orang yang menanggapinya tadi tertawa. "Makanya jangan jadi orang cantik. Nggak ada yang nyantol di hati kamu tadi?"

"Apaan dah, kaga lah. Nggak tertarik gue sama anak teknik," sahut Lea.

"Halah, bilang aja belum move on dari Mark!" celetuk Luhan tiba-tiba.

"LOH, LEA PUTUS?" kini cowok berkacamata di sebelah Luhan menyahut kaget.

"Anjir, kirain lo berdua nggak bakal putus. Setau gue lo berdua deket banget, deh?" timpal yang lain.

"Pasti lo selingkuh, ya? Makanya diputusin?" tuduh teman yang lain.

"Kebalik, nyet!" ketus Lea. "Dia yang nyelingkuhi gue," tambah gadis itu mencebikkan bibirnya kesal.

"Udah udah gengs, jangan ditanyain lagi. Tar sakit hati nih orang," ledek Luhan terkekeh kecil.

"Nyesel ya pasti, udah wikwikwik, tapi putus."

"MANA ADA NYET!" protes Lea tak terima.

"Halah, naif sekali kau anak muda. Zaman sekarang mah nggak ada pacaran yang nggak ngambil," timpal cowok berkemeja putih.

Wajah Lea lantas merah padam. Yah—entahlah, mungkin dia merasa sedikit tersindir. Sedikit saja tapi. Gadis itu juga tak memungkiri pernyataan temannya itu. Jelas itu benar. Zaman sekarang mana aja pacaran yang baik-baik saja. Pasti setiap pasangan menaruh nafsu di diri masing-masing walau itu hanya sedikit. Hal itu wajar karena manusiawi. Setiap orang pasti ingin memenuhi kebutuhan biologis seperti berciuman, berpelukan dan hal lebih intim dari situ.

My Angelic BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang