"Aku hidup dalam tiga hari
Kemarin, hari ini dan esok.
Kemarin aku melihatnya, hari ini aku mengenalnya,
Dan esok, masih bolehkah aku mengenangnya?"
***
Pagi ini, langit menghitam pekat. Kepulan-kepulan awan nampak jelas terlihat. Desiran angin riuh tiba-tiba berhembus memaksa para ibu-ibu rumah tangga menutup jendela bilik rumah mereka. Tak lama kemudian tetesan bening perlahan-lahan mulai berjatuhan. Hujan mengguyur wajah bumi yang mulai resah. Terlihat tanah yang kering tandus telah teraliri air hingga basah. Aroma tanah yang terendus wangi, permukaan bumi yang mulai kering kerontang, akar rumput pepohonan, dan sederet dedaunan yang telah lama tak tampak kehijauannya terdengar bersorak riang seiring tetesan hujan yang semakin deras. Bak pengembara yang baru saja menemukan bibir danau setelah sekian lama tercekik kehausan.
Dari kejauhan terlihat orang-orang dewasa dan anak-anak kecil bersorak riang gembira. Rupanya hujan pertama yang telah lama ditunggu-tunggu kedatangannya ini memikat setiap hati untuk tidak melewatkannya. Anak-anak desa berjingkrak-jingkrak sambil berlarian menyusuri pematangan sawah yang semakin basah. Tanah yang telah lama kering kini mulai terlihat gembur lembut seperti krim tart kue ulang tahun.
Aku bersama mbak Lubna menaiki sebuah mobil Avanza putih menembus guyuran hujan. Mobil itu menyingkap dedaunan yang mulai terlihat merunduk karena hujan. Kendaraan beroda empat ini melaju menyusuri jembatan yang tergolong curam. Memaksa dua katak yang tengah kasmaran berdendang dengan penuh penghayatan dibawah hujan, melompat menyelami perairan. Tak ada yang tau perihal kisah sang dua katak itu selanjutnya.
Aku melebarkan netraku. Telah lama aku merindu pada tanah kelahiranku. Berkali-kali aku menghirup aroma tanah yang wanginya melanglang relung kedalaman. Milyaran cerita dimasa lalu seolah bangkit bersama tetesan bulir hujan yang membawa milyaran partikel bumi ke muara sungai.
Kumpulan tebu, ilalang, meniran, ciplukan, dan kembang-kembang suket memaksaku tersenyum mengingat masa-masa lalu yang indah.
"Sepuluh tahun tak pulang banyak yang beda ya mbak."
"Nggeh ning. Sekarang masyarakatnya sudah lebih modern," mbak Lubna tersenyum. Terlihat jelas wajahnya dikaca depan. Mbak Lubna adalah sopir wanita yang ditugaskan mbah yai untuk menjaga dan mengantarkan anak-anak perempuan dari keluarga besar kami. Kami hanya boleh diantar mbak Lubna kemanapun kami pergi. Aturan mbah lumayan kuat. Cucu-cucu beliau terjaga ketat. Kami tidak bisa berhubungan langsung dengan kaum adam. Beliau bilang awal dari perzinahan adalah tatapan. Dari mata turun ke hati. Dari hati menyebar keseluruh nadi. Saat hati dan nadi rusak maka rusaklah semua anggota tubuh seorang insane, begitu dauh beliau.
Aku meminta mbak Lubna untuk berhenti sejenak di sebuah gazebo yang berdiri diantara pematang sawah-sawah. Tempat ini jaraknya tak jauh dari pesantren. Pemandangan pedesaan sangat asri. Gerimis tipis membuat udara semakin sejuk.
"Mbak, saya jalan-jalan ke sawah itu ya."
"Saya ikut ning," wanita tegap dengan tinggi proporsional itu mengikutiku dari belakang. Aku menyentuh bunga-bunga rumput dan ciplukan yang sudah terlihat menguning. Sudah lama rasanya aku tidak menyentuh tumbuhan-tumbuhan ini. Berada di pondok modern di Jakarta selama sepuluh tahun lamanya membuatku rindu. Ummi tidak pernah mengizinkan aku pulang. Kata beliau supaya aku bisa fokus pada pendidikanku. Hanya mereka yang rajin dan rutin menjengukku. Dan satu hal yang membuatku penasaran adalah. Mengapa tiba-tiba mereka menyuruhku pulang mendadak? Apa mereka mulai merindukanku?
Srrk srrk srrk
Ada sesuatu yang bergerak di ujung sana. Gerakan itu membuatku penasaran, apa itu? ku ikuti gerakan-gerakan itu. Terlihat kembang suket terhampar disana. Bunga itu membuatku semakin ingin terus maju menjauh dari mbak Lubna yang sedang sibuk memainkan buliran padi. Tiba-tiba dari kejauhan terlihat sesuatu yang berkilau. Lamat-lamat kulihat, sepertinya itu dua mutiara. Perlahan ku dekati, dua mutiara itu bergerak cepat menyambarku. Bukan, itu bukan mutiara. Namun dua bola mata ular hitam yang sedang mengawasiku.
"Ning Sya awas..!!" mbak Lubna berteriak keras. Aku berlari sekuat tenaga. Pikiranku hilang, apa yang harus aku lakukan? Aku melihat sebuah parang besar di ujung jalan. Mungkin itu milik petani yang tertinggal. Kuraih benda besar itu dan ku sodorkan dengan tangan siaga. Saat hendak menghujam dengan mata sedikit terpejam. Aku melihat sebuah ranting kecil menempel diatas tubuh si ular. Ular itu diam tak bergerak. Hanya ekornya yang terlihat menjuntai-juntai lemas.
"Ular ini juga ingin hidup, dia meninggalkan anak dan sarangnya demi mencari makanan," Seorang pria berjaket hitam menindih kepala ular itu dengan ranting yang ia pegang. Lengan kekarnya membuat ular itu tidak berkutik sedikitpun.
"Tapi, ular ini beracun, sangat berbahaya jika dia dibiarkan hidup."
"Tak ada makhluq didunia ini yang mau dilahirkan dalam keaadaan memiliki racun. Jika boleh diberikan pilihan, ular-ular itu juga ingin hidup seperti kupu-kupu yang dipuja dan dikagumi. Seperti manusia mulia dan di hormati. Tapi begitulah takdir Allah. Kita hidup dalam perbedaan. Yang menghirup memiliki hak untuk hidup. Manusia tidak berhak menghakimi suatu makhluq, kapan ia harus mati atau kapan ia harus hidup," pria itu tetap menunduk menatap sang ular. Dia seolah tidak sudi menatap wajahku. Dia kemudian mengangkat tubuh ular itu dan melemparkannya ketengah rimbunan padi yang menghijau.
"Kenapa dilepas? Ular itu membahayakan nyawa saya. Kalau dia datang lagi dan menyemburkan bisanya bagaimana?"
"Bukan ular itu yang salah, tapi kita sudah berpijak ditempat yang salah," ucapan pria itu membuatku menatap sekitarku. Aku baru sadar bahwa aku tengah berada ditengah-tengah sawah.
"Kita yang sudah masuk dan mengusik sarangnya. Lantas, mengapa seolah kita yang harus terselamatkan. Sementara ia juga makhluk Tuhan yang berhak menikmati kehidupan?" bibirku mengatup sempurna. Pria itu membuat jantungku berdenyut dalam. Kata-kata sederhananya membuatku terpojok sempurna.
"Ning, bagaimana?!?" mbak Lubna menarik tanganku dengan deru nafasnya yang masih tersengal-sengal. Aku masih dalam katupan. Pria itu terlihat kaget melihat mbak Lubna. Wajahnya yang sedari tadi tenggelam dalam tundukan mulai terangkat sempurna. Rahangnya terlihat jelas, alisnya terlihat sedikit mengekrut, tanda ia sedang memikirkan sesuatu. Tiba-tiba dia menatapku sekilas, matanya tersorot tajam. Kali ini aku yang menundukkan pandanganku. Entah megapa orang itu menatapku aneh.
"Rasanya sudah aman, saya undur diri pulang. Assalamualaikum," pria itu merundukkan tubuhnya dan segera beranjak meninggalkan kami dengan motor hitam yang ia bawa.
"Subhanallah, kerennya gus Malik. Pantas saja seisi pondok ramai dengan sosok beliau. Rupanya memang keren sifat dan perangainya."
"Siapa orang itu, mbak?"
"Gus Malik ning. Beliau ketua keamanan pondok yang mendapatkan banyak pujian dari beberapa pondok pesantren lain di pasuruan karena keluwesan dan keuletannya menjaga keamanan. Bukan hanya di pondok kita saja, tapi juga diluar pondok, ning. Beliau sudah seperti polisi amatir saja ning. Anak-anak memanggil beliau dengan sebutan gus ranting. Karena kemana-mana selalu membawa ranting."
"Malik?"
"Iya, Malik. Semua orang kenal beliau."
"............ aku malik, malik artinya raja. Dan raja akan terus bersama ratu sampai kapanpun. Kamu jangan pernah takut Sya!"
Malik? Terlalu lamakah aku di kota seberang hingga membuatku lupa pada wajahmu, mas? Bukankah dia mas Malik salah satu keluarga dan sahabat masa kecilku dulu?
YOU ARE READING
MAHKOTA SANG RATU (SUDAH DINOVELKAN)
General FictionAlfi Syakira Awwaliya Hussein, seorang Ratu Ruham As-Salafiyah yang dianggap sebagai wanita berdarah Ardanareshwari, wanita hebat yang kelak akan melahirkan raja-raja. Tirakatnya sejak ia belia, membuatnya tumbuh menjadi wanita anggun yang agung. Di...