KEMBALI PULANG PART 3

4K 208 1
                                    

Matahari mulai merundukkan wajahnya. Terik panasnya mulai lembut merona. Angin sepoi mengepak-ngepakkan bunga kemuning, melati dan pohon kurma yang berdiri gagah ditaman belakang kediaman ummi.

Selepas menemui para pelayat. Ummi duduk ditaman belakang cukup lama. Aku melihatnya dari jendela kamar. Terlihat dia mengusap-usap pipinya berkali-kali.

Aku ingin menenangkan ummi. Ku bawa dua buah cangkir teh hijau dengan campuran kayu manis bubuk dan gula batu kesukaan ummi. Ummi terlihat sedang melamun. Dia duduk di kursi rotan panjang yang biasa ummi dulu tempati bersama abi.

"Ummi, mau teh?" aku duduk disebelahnya sambil memberikan teh hangat itu padanya. Ummi segera menyeka titik-titik bening di pipinya. Dia kemudian tersenyum renyah seolah tak ada masalah. Ummi memang pembohong handal. Dia selalu menutupi keresahannya didepanku. Sosok wanita tegar yang tidak pernah mengeluh sebesar apapun badai kehidupan menerjangnya.

"Ummi masih ingat abi?"

"Tidak, ummi sudah ikhlas kok, Sya."

"Tapi kenapa ummi masih nangis?"

"Hm?" ummi melebarkan kedua bola matanya. Seraya menatapku dengan senyuman kakunya,

"Siapa yang nangis? Ummi hanya kurang tidur karena banyaknya pelayat. Makanya mata ummi jadi merah," ummi tertawa sambil menyeruput teh buatanku.

"Ummi.."

"Ya, Sya?"

"Perempuan yang tadi itu siapa ummi?" ummi menatapku sempurna. Kami bersitatap cukup lama.

"Ummi taukan kalau Syakira itu gadis yang sangat peka. Syakira tidak mau terus berprasangka buruk karena pernyataan perempuan tadi pagi ummi."

Ummi terlihat mengambil nafas dalam-dalam. Dia meletakkan teh buatanku di meja rotan.

"Syakira mohon, jawab pertanyaan Syakira dengan jujur ummi, apakah abi sudah mendu..."

"Abi adil kok, Sya," jawaban ummi menusuk jantungku seketika. Tanganku gemetar membuat cangkir ditanganku jatuh ketanah. Darahku mendidih hebat.

"Ummi!!"

"Kamu jangan khawatir. Ummi baik-baik saja. Islam menghalalkan poligami."

"Tapi islam mengharamkan ummatnya saling menyakiti."

"Ummi tidak tersakiti, ummi hanya...."

"Terluka, kecewa, sakit diperlakukan semena-mena?"

"Sudahlah, Sya. Rasa sakit itu hanya masa lalu. Ummi sekarang sudah baik-baik saja."

"Selama Syakira hidup ummi memang tidak pernah mengatakan bahwa ummi tidak baik-baik saja. Kenapa ummi tanggung sendiri semua ini, mi? Kenapa Ummi tidak biarkan Syakira melindungi ummi disini? Perubahan drastis aura pesantren, perubahan ummi yang terlihat sangat tertekan membuat Syakira sakit, mi. Harusnya ummi beritahu Syakira semua ini dari dulu."

"Ummi tidak ingin membuat kamu terluka, Sya. Lagipula, sudah kodrat wanita diperlakukan demikian. Kita tidak bisa berbuat banyak karena islam melindungi pelaku poligami. Poligami itu sunnah, Sya."

"Mengapa semua lelaki bersikap seolah sunnah hanya perihal menikah?!!"

"Kenapa kamu marah, Sya? Rasulullah saja melakukan poligami. Kenapa justru kita manusia biasa yang..."

"Tapi Rasulullah tidak pernah menduakan khadijah, istri pertamanya, ummi."

"Ssst... Sya, jatah lelaki itu empat. Abi hanya dua."

"Dan ummi bangga? Karena wanita yang mau dipoligami itu akan mendapatkan payung emas di syurga? Allah saja tidak mau diduakan, ummi, apalagi kita yang masih beriman dangkal. Ummi tolong berhenti membohongi Syakira. Syakira tau ummi terluka tapi pura-pura."

"Selama ini abimu adil, Sya. Dia... "

"Adil dengan membuang Syakira ke pondok selama sepuluh tahun dan tidak mengizinkan Syakira pulang?"

"Itu kemauan ummi, Sya. Bukan kemauan abi."

"Ya, kemauan ummi. Supaya ummi bisa menahan sendiri rasa sakit yang ummi rasa. Supaya ummi selalu terlihat manis dengan senyum ummi didepan Syakira? Dan ketika ummi balik kerumah, perempuan itu, menghantui ummi bukan?" ummi membungkam.

"Ummi tidak mau Syakira tau, kan? Makanya ummi tidak mengizinkan Syakira pulang. Ummi takut Syakira memberontak karena sejak sepuluh tahun yang lalu Syakira tau abi ingin segera menikah lagi? Dan ummi tidak ingin Syakira sedih dan sakit setelah mendengar kabar ini?"

"Biar ummi yang menanggungnya Sya."

"Ini gak adil ummi. Syakira terbuang selama sepuluh tahun, sementara anak tiri dan anak kandung abi dengan leluasanya melenggang di istana ummi. Keadilan macam apa ini ummi?"

Suasana lengang, aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Ummi, dia menepuk bahuku lembut sekali. Dia seolah ingin menenangkan puncak amarahku.

"Sudah, Sya. Semua sudah berlalu. Ikhlaskan semuanya."

"Semua memang sudah berlalu umi, tapi perempuan itu belum bisa berlalu sepenuhnya. Dia dan anak-anaknya akan tetap menghantui kita disini. Tidak mudah buat Syakira menerima mereka begitu saja."

"Semua sudah terlanjur terjadi. waktu tidak bisa diputar kembali."

"Siapa dia ummi?"

"Dia Halima alumni santriwati disini."

"Lancang!! Bagaimana mungkin seorang santriwati dengan lancang memasuki kerajaan gurunya?!"

"Sudahlah Sya, bukan dia yang salah, tapi...."

"Sebuah pernikahan tidak akan terjadi jika pihak wanita tidak mengiyakan ummi."

"Iya, benar. Tapi, sudahlah. Semua sudah berlalu. Abi sudah pergi. Jangan buat abi sedih karena kita."

"Ya Allah.. Ya Allah.." aku masih kuat terisak. Air mataku tak henti menderas. Aku bersimpuh dikedua kaki ummi. Ummi menarikku kedalam pelukannya.

"Maafkan syakira ummi, Syakira belum bisa melindungi ummi. Syakira belum bisa bahagiakan ummi."

"Ssst.. kamu adalah kekuatan terbesar ummi, Sya. Karena kamu ummi bisa kuat bertahan. Walau harus berdiri diatas kerajaan kaca yang retak, duduk diantara ketidak adilan, tapi ummi bisa kuat setelah mengingatmu. Ummi tidak mau kamu ikut rapuh. Ummi tidak mau dua bola mata sumber kekuatan ummi redup, karenanya ummi titipkan kamu pada mbah eyang di Jakarta. Supaya kamu bisa terus ceria, tanpa harus memikirkan ummi yang sengsara."

"Ummi.. wallahi uhubbuki fillah mi. terimakasih untuk semuanya. Dan maaf, maaf karena Syakira terlambat."

"Sudah, kamu tidak perlu menangis lagi. Sekarang semuanya sudah berakhir. Yang penting sekarang ummi bisa bersama kamu," aku melonggarkan pelukan. Ku usap wajah ummi yang terihat keriput dan pucat. Kecantikan ummi tetap tidak pudar, walau sorot matanya yang terlihat tertekan tidak mampu membohongi netraku.

"Kamu sebaiknya ajak Lubna ke makam Mbah Sayyid Ruham Syafi' Abdurrahim. Disana suasananya tenang, kamu bisa menenangkan diri sejenak biar hatimu juga lebih tenang, Sya. Berdoalah untuk abi, ummi dan kita semua. Semoga tidak akan ada lagi keresahan yang akan menimpa kita," aku mengangguk mengiyakan permintaan ummi. Walau langkahku gontai, bayang-bayangku terlihat tak seimbang, aku tetap melangkah mengikuti saran ummi untuk mengunjungi tempat peristirahatan mbah Sayyid Ruham.

MAHKOTA SANG RATU (SUDAH DINOVELKAN)Where stories live. Discover now