PUNCAK KESETIAAN

4.6K 235 44
                                    


"Melepaskan bukan berarti mengikhlaskan. Aku hanya sedang belajar, bahwa ada sesuatu yang tidak bisa dipaksakan."

***

Puncak dari kesetiaan adalah merelakan. Jika genggaman hanya akan menyesakkan, maka melepaskan adalah sebaik-baik jalan pembebasan.

Al-Mar-u ma'a man ahabba, seseorang akan di dikumpulkan dengan orang yang dicintainya kelak. Walaupun tidak di dunia, kelak akan di syurga, atau tetap di dunia, dengan kesempatan kedua, semoga.

"Barokallahu lakuma, wa baroka 'alaykuma, wa ja ma'a baynakuma filkhayr.."

Terdengar sayup-sayup do'a menggema di setiap sujud masjid. Kiyai Syahid Al-Qarni sedang membacakan do'a untu kedua mempelai.

Kreeeek..

Pintu Masjid terbuka. Semua undangan terkesiap melihat Malik yang wajah dan tangannya penuh bercak darah dan perban. Para santri sontak berdiri, melihat panutan mereka yang berjalan setengah gontai menuju tempat akad. Beberapa santriwati menutup wajah mereka, kemudian terguncang tubuhnya. Isakan demi isakan mulai terdengar. Seketika masjid riuh, setiap bibir mengeluarkan nada tanya yang sama.

"Gus Ranting kenapa? Gus Ranting, kenapa?"

Malik menatap dua sosok dengan mata nanar dan wajah sendu penuh rintihan. Hatinya koyak melihat dua putra adam yang jelas bukan mahram namun duduk berdampingan. Keduanya khusyu' dalam tundukan, doa dalam lisan.

Tiba-tiba, Kiyai Syahid berdiri menatap putranya yang sedang berjalan gontai.

"Malik, ada apa, Nak?" ucap Kiyai Syahid lirih, membuat salah satu dari dua orang di depannya menoleh. Usai mengusap wajahnya, gadis itu ikut terperangah menatap Malik yang sedang berjalan terhuyung-huyung.

Kali ini bukan hanya pecahan beling. Jantung Malik seolah bende yang ditabuh bertalu-talu. Hatinya ngilu. Tagannya gemetar hebat. Tanpa ranting ditangannya, ia seolah tidak memiliki penguat. Berkali-kali pria itu ingin menelan ludah namun serasa kering, tenggorokannya tercekat. Tangan kanannya terkepal kuat, sementara tangan kirinya meremas map kuning erat-erat.

Ditatapnya gadis yang kini telah menjadi istri orang itu. Syakira bangkit, ia berlari menghampiri Malik yang hampir kehilangan separuh kesadarannya.

"Mas, Mas Malik, kenapa?"

***

Dia baru saja mengusap wajahnya. Usapan itu diikuti semua orang, sebuah tanda terbukanya gerbang kehidupan baru dan tertutupnya segala perjuanganku.

"Menunggu, apakah harus sedemikian pilu?"

"Mas, Mas Malik kenapa? Darah ini, darah ini kenapa, Mas?" Wajahnya polos, bulu-bulu matanya basah, manik-manik matanya merah, dia menatapku sempurna.

"Ummi, Ummi dimana, Mas?" kembali matanya menyorotku. Aku seolah bisu. Kembali kuisi para-paruku dengan udara agar kuat untuk sekedar berkata-kata, tapi tetap saja tidak bisa. Aku hanya mampu menggeleng.

"Mas, Ummi dimana?!!" Kali ini suara lembutnya berubah menjadi teriakan. Syakira menarik bajuku dengan tangan kanannya. Dadaku tersentak cengkramannya. Dia seolah tak sadar bahwa aku bukan mahramnya.

"Kenapa diam? Jawab, Mas. Ummi dimana?!!"

"Maaf, Sya, binda...."

"Ummi kenapa, Mas? Ummi kenapa?!!"

"Binda... beliau, beliau wafat, Sya. Sekarang beliau ada di..."

"Bohong!! Ummi masih hidup. Tadi beliau bilang akan kembali tiga puluh menit lagi," Syakira berkali-kali memukul dadaku serta menghentak-hentakkan tangan dan lenganku. Dia yang benar-benar menjaga jarak dengan yang bukan mahramnya sudah tidak terkontrol lagi. Aku tidak berkutik di depannya. Syakira, sahabatku yang kuat dan hebat menagis deras tepat di hari pernikahannya. Ingin kudekap tubuhnya yang terkulai lemas dan terisak kuat. Ingin ku tenangkan dan kuredakan tangisanya sebagaimana dulu aku sering meredakan tangisannya, tapi aku masih dalam kondisi sadar, aku tidak berhak menyentuhnya bahkan seujung kuku sekalipun.

"Ummi masih hidup kan, Mas? Mas Malik bohong, kan, Mas?!" Kembali dia meremas jemari dan lenganku. Tubuhnya terlihat gemulai tak seimbang, kepalanya berkali-kali menyentuh dadaku, sedetik kemudian tubuhnya ambrub . Kepalaku mulai berkunang-kunang. Tarikan tangan Syakira membuatku ikut terjatuh, mengikuti tubuhnya yang juga tergeletak di lantai.

Kulihat abi mendekat. Tubuhnya terlihat horizontal. Di depanku terlihat tubuh Syakira sudah terkapar, lurus dengan tubuhku yang juga terdampar. Ingin kubangunkan dia, atau sekedar membawanya untuk mencari pertolongan pertama, tapi tanganku tak mampu menggapainya, lebih-lebih aku bukan mahramnya.

Suasana seolah membeku, meski riuh, aku seolah tidak mendengar apapun. Samar-samar tubuh Syakira terangkat. Seseorang telah mengangkat tubuhnya. Pria berjubah putih dan jas hitam itu membawa Syakira dari hadapanku.

Sebagai suami sahnya dia lebih berhak melakukan itu dari pada aku. Pria itu menatapku sinis. Aku hanya mampu terdiam. Melihat tubuh Syakira yang pucat pasi terjuntai di kedua lengan pria itu membuat otakku seolah kehilangan kesadaran.

"Gus, Gus Malik, bertahanlah, Gus!"

Aku-lah Malik Rajaby Al-Qarni.

Syakal kashrah yang tersungkur di bawah kaki-kaki huruf hijaiyah.
Adaku tidak pernah diakui dalam pelataran keraton ketidakmunshorifan.

Akulah tanwin yang diharamkan menyetuh ke elokan wuwungan Al-ta'rif Kahuripan.
Langit, bumi, bahkan seantero jagat seolah mengutukku, manakala aku, bersanding dengan sekar kedaton yang tersemat Al-Ma'rifah di keningnya.

Tragis, sosok fi'il lazim yang berharap memuta'adikan diri.
Menyanggul tasydid di atas kepala, bak mahkota raja.
Namun alpa, rupanya hanya mudhari' alladzi lam yanshorif bi akhirihi syai'un.
Mencinta, tanpa dicinta.
Bertepuk sebelah tangan, tak terbalaskan.

Tak ada yang berpihak. Tak ada yang berani memihak.
Seumpama hamzah washal yang harus lebur, hilang di dinding-dinding lidah, tak nampak, senyap bagai ditelan suara huruf yang mendahului.

Aku mu'rab dalam jazm.
Suara hatiku wajib hilang dalam dekapan sukun
Mati terkubur
Lantah berhambur.

Akulah kawula--Nakirah yang lahir jelata, umum tak memiliki derajat kasta Ma'rifah, Brahmana, Kesatria, Waisya.
Maka tiada pilihan lain, aku harus memustatsnakan diri dalam tubuh Sudera.

Nasib membedakan.
Walau nasab menancapkan satu keturunan.
Satu wangsa rajasa, Ruhama' bayni wabaynahum

Namun seolah punuk merindukan rembulan.
Batu di pulau usah dikadang, tiada guna.

Seorang blandong hina hanya di bekali jiwa bramastana, jiwa beringin kokoh seolah kuat diterpa liukan angin.
Punuk miskin hanya memiliki harga diri, sekuat baja.
Tersebab harta dan tahta tak ubahnya seperti napas di ujung hela.
Tak mungkin tergapai dengan mudahnya.

Tegar, kuat, kokoh.
Walau dalam sepi, nyeri.
Berteriak sendiri meratapi nasib diri.
Wujudy ka 'adamy..

Alfi Syakira Awwaliya Hussein, seolah sinuhun di kaki-kaki nabastala.
Memilikinya seolah tamanni yang mustahil terjadi.

Akulah Malik Rajaby Al-Qarni.
Raja kecil yang kehilangan jati diri.
Rontal kering yang sudah belasan tahun lamanya tergurat nawala harus terbakar malam ini juga.

~Bramastana Lintang Kryan_2019

MAHKOTA SANG RATU (SUDAH DINOVELKAN)Where stories live. Discover now