KEMBALI PULANG PART 5

4.3K 194 0
                                    

***

Panggil aku Malik, Malik Uwais Al-Qarni. Nama lainku adalah gus ranting. Dengan ranting aku bisa menangkap para maling. Atau sekedar menghalau anak-anak pondok yang suka berkeliling. Walau bernama Malik yang berarti raja. Tapi aku sama sekali tidak tertarik untuk tinggal di sebuah kerajaan. Aku jauh lebih menyukai kesederhanaan.

Meskipun tidak berjaya di atas bumi. Harapan besarku bisa berjaya dilangit tertinggi. Selayaknya seorang Uwais Al-Qarni yang di bumi namanya tidak pernah melejit. Namun namanya terkenal seantero langit.

Tugasku berjaga, mencerdaskan anak bangsa, dan membimbing anak manusia yang terlanjur rusak hatinya.
Hari ini, entah telah bermimpi apa semalam. Aku kembali bertemu dengan sahabat kecil ku di masa silam.

Alfy Syakira Awwaliya Hussein. Tepatnya dia adalah anak dari sepupu ayahku sekaligus anak dari guruku, Kiai Hussein Muhammad.

Pagi tadi, matanya tetap berbinar seperti dulu. seperti saat dia kecil. Saat dimana dia terobsesi menjadi seorang ratu. Namun, sore ini, ntah mengapa mata itu berubah menjadi redup? Walau tidak menatapnya. Aku masih bisa melihat bayangannya. Matanya sembab. Baru saja dia terisak kuat.
Aku telah lama berdiri di belakangnya ketika dia baru saja merundukkan tubuhnya didepan pusara mbah Sayyid Ruham. Kedua tangannya menutup wajahnya. Sesekali ia sandarkan kepalanya di pusara mbah sayyid Ruham. Seolah sempoyong tubuhnya tak seimbang. Dia tidak menyadari kehadiranku. Mungkin karena isakannya yang terlalu kuat.

Melihat dia terisak-isak membuat benteng pertahanan hatiku hampir luluh. Aku ingin menghampiri dia dan mengatakan, kamu kenapa, Sya? Bukankah dulu, saat aku kecil, selalu aku orang kedua setelah umminya yang membuat tangisannya reda?

Usiaku dan usianya hanya terpaut tiga tahun. Tapi sifat dewasaku membuat dia memperlakukanku selayaknya pengganti ayahnya.

"Mas malik," ucapnya. Suara pelan yang terasa sangat nyaring ditelingaku. Walau mataku tertunduk sempurna, usapan wajah dan langkah kakinya ku dengarkan secara seksama.

Kelopak matanya sembab, wajahnya memerah, dan bulu-bulu matanya terlihat basah. Dia seolah baru saja menumpahkan sesak yang berdesak-desakan di dadanya. Tapi di mencoba menutupinya dengan tatapan ketegaran. Dua bibirnya yang bergaris sempurna tidak menunjukkan raut kesedihan.
Gadis itu, masih tetap menjadi gadis yang ku kenal tiga belas tahun yang lalu. Gadis tegar dengan ribuan macam pertahanan. Wajahnya bak pelangi yang konon adalah wujud datangnya para bidadari. Walau harus bertahan menyembunyikan badai dan hunusan angin, sesekali hujan dan halilintar menerjang kehidupannya, tapi yang ia pancarkan tetaplah bola-bola mata berwarna yang membuat semua orang terkesima.

Syakira, gadis yang penuh beban sejak usianya masih belia. Kiai Hussein mendidiknya cukup keras. Ia sama diperlakukan seperti selayaknya santri. Hafalan Al-Quran, Alfiyah, dan sederet kitab-kitab kuning yang bersarang sempurna diotaknya membuat dia terlihat terbebani. Seusia anak tujuh tahun yang harusnya kental dengan aroma permainan, dia justru hidup ditengah-tengah lembaran-lembaran berwarna krem kecoklatan.

Harapan kiai Hussein sangat besar padanya. Sebagai pewaris utama pondok pesantren. Kiai ingin dia bisa menguasai semua bidang. Hingga tercetaklah putri mahkota pesantren yang mumpuni dalam ilmu agama. Walau begitu, aku tetap tidak tega padanya. Dia memang selalu nampak berbinar, walau hidup dibawah tekanan, yang ia sunggingkan tetaplah senyuman menawan.

Namun, tak ada gading yang tak retak. Aku kerap melihat Syakira terisak dibawah pohon kurma di belakang kediaman umminya. Disana, aku mengenal dia untuk kali pertama. Saat aku sedang mengejar sebuah burung love-bird yang melompat-lompat menuju kediamannya. Aku melihat dia sedang telungkup. Jilbab hijaunya basah. Isakannya memuncah. Pohon kurma itu menjadi saksi bisu air matanya yang tumpah.

MAHKOTA SANG RATU (SUDAH DINOVELKAN)Where stories live. Discover now