RUNTUHNYA LANGIT KERAJAAN PART 2

3.1K 197 2
                                    

***

Allah tidak menciptakan hati dari kaca, yang jika terhempas ia akan terserak lantah. Pun, tidak terbuat dari kertas, yang sekali tarik, sobek dengan mudah. Allah menciptakan hati dari segumpal darah. Darinya seluruh tubuh manusia terjaga. Seluruh sifat manusia tercermin darinya. Sebuah gumpalan yang tinggal di kedalaman, menjadi pusat kendali dari jiwa dan raga. Ia dalam dan diam, walau sakit tak terlihat, walau perih tetap tak kasat, walau nyeri, bibir masih bisa menguburnya rapat-rapat.

Mega merah perlahan mulai pudar. Senja benar-benar telah pulang, tenggelam ke wajah lautan. Terlihat dari ufuk timur, tubuh rembulan bulat sempurna, warna oranye kemerahannya mulai bergerak memanjat wajah langit yang hendak menggelap. Para walet berterbangan seolah girang menyambut malam. Sesekali terdengar bunyi burung mencicit di atas wuwungan masjid, entah apa yang sedang mereka teriaki, tak ada satupun manusia yang bisa memahami.

Angin malam mulai menggigit tulang, memaksa setiap orang mendekap tubuh atau sekedar merapatkan jilbab dan jaket yang tengah mereka kenakan.

Rombongan keluarga mas Raja hampir datang. Terlihat para Ruhama', sebutan nama untuk keturunan mbah Sayyid Ruham telah memenuhi masjid, menunggu kedatangannya. Walaupun hanya sekedar akad, tamu yang berdatangan cukup banyak. Mereka seolah tidak ingin ketinggalan menyaksikan pernikahan dua keluarga pesantren besar itu.

Jujur, hatiku mendidih. Aku ingin marah, tapi aku tidak berhak melakukannya. Aku juga ingin menangis tapi aku tidak sanggup melakukannya. Aku tidak memiliki kekuatan apapun. Aku bukan Bekel Gajah Mada yang dengan gada atau trisulanya mampu mengusir pemberontakan Rakrian Kuti yang ingin merampas Kahuripan beserta para putri kedaton.

Aku? Dengan apa? Yang kumiliki hanya ranting kering, bukan gada, bukan juga trisula. Lagi pula, siapa yang hendak aku bela? Sementara semua keluarga pesantren Ruhama' As-Salafiyah telah menyetujui pernikahan ini, pun dengan Syakira, semalam dia menunjukkan kesiapannya.

Binda Raudah terlihat resah, entah apa yang ada di dalam pikirannya. Mungkin wanita paruh baya itu tidak ingin anaknya mengalami hal yang serupa dengan dirinya. Apapun alasannya, diduakan tetaplah menjadi suatu hal yang sangat menyakitkan.

Lampu masjid terang benderang, namun wajah Binda Raudah terlihat sangat suram. Aku tau, wanita sholihah itu sangat takut dan khawatir akan sikap mas Raja yang seolah tidak bisa menjaga komitmennya. Terdengar bahwa mas Raja pernah memiliki hubungan dengan seorang wanita di Singapura, walau entah berita itu belum tentu benar adanya. Tapi, seorang Syakira yang selama ini mampu menjaga hatinya, apa dia pantas mendapatkan seorang Raja?

Aku berdiri-bersedekap menyandarkan tubuhku di dinding masjid, sesekali kutatap bibi Raudah dan Syakira yang jelas tak terlihat bahagia di hari besar yang katanya membahagiakan itu. Mbah Nyai terlihat sibuk mengatur posisi para santri.

Syakira menyandarkan kepala dipundak Binda Raudah. Ia seolah kehilangan kekuatan hidupnya. Wanita paruh baya itu tersenyum penuh kepura-puraan sambil mengelus dan menciumi putrinya yang terlihat terisak dalam pelukannya.

Aku rindu senyuman sahabat kecilku. Senyuman ranum saat-saat petualangan di gunung Yumyeongsan dan hutan Taiga dimulai. Dia berlarian membawa bambu kecil yang dia anggap sebagai kuda Megaremeng. Kuda ajaib-bersayap, yang mampu membawanya ke seluruh jagat negeri. Walau hanya sekedar hayalan, petualangan itu sanggup mengusir penatnya tumpukan hafalan.

Kala itu, senyumannya pecah mengembang, pipinya merona bersinar, manik-manik matanya berbinar seolah tampan beban, berbanding terbalik dengan keadannya malam ini yang terlihat suram.

"Bertahanlah, Sya, bertahanah! Aku masih disini. Menunggu senyummu yang mungkin telah terkubur, mati." kupalingkan wajahku dari pemandangan yang sangat menyakitkan itu.

MAHKOTA SANG RATU (SUDAH DINOVELKAN)Where stories live. Discover now