KEMBALI PULANG PART 2

4.7K 219 1
                                    

    "Sampun nyampe, ning," mbak Lubna membuka pintu mobil. Aku keluar dengan tatapan asing. Rumahku tak seperti dulu lagi. Dulu rumahku asri. Ada banyak tanaman buah-buahan yang ummi tanam di depan rumah. Belasan pohon melati dan kemuning, pohon delima merah, jambu air, buah naga, buah klengkeng dan tanaman lain yang menyejukkan mata. Tapi, hari ini tanaman-tanaman itu sudah tidak ada. Taman kecil ummi yang dulu asri kini diganti garasi yang berisi mobil dan motor gede. Entah milik siapa barang-barang itu.

"Kenapa rumah jadi berantakan seperti ini mbak Lubna, sejak kapan?"

"Semua ini terjadi sejak kiai..." mbak Lubna segera menutup dua bibirnya.

"Sejak kiai? Abi kenapa mbak?"

"Ah, tidak ning. Maksud saya ......"

"Ning Syakira datang!!" seorang santriwati mengabarkan pada teman-temannya perihal kedatanganku. Membuat ku mengalihkan perhatian dari pertanyaan ku pada mbak Lubna. Mereka langsung riuh dan berebutan bersalaman denganku. Dari tengah desak-desakan, ku lihat wajah ummi sedang tersenyum manis menatapku dari kejauhan. Wajah tak berdosa yang selalu aku rindukan.

"Assalamualaikum, ummi."

"Waalaikumussalam warahmatullah, apa kabar kamu nak?"

"Alhamdulillah, baik ummi. Ummi bagaimana?"

"Alhamdulillah, ummi baik-baik saja."

"Tapi ummi terlihat kurusan, kenapa?"

"Ah, paling hanya perasaanmu saja karena lama tidak melihat ummi."

"Mungkin, oh iya. Mbah nyai dan abi mana?"

"Mbah nyai di Musholla,"

"Abi?" ummi menatap mbak Lubna seketika, dia tidak segera menjawab pertanyaanku. Seperti ada yang aneh.

"Ayo, kamu duduk dulu! Mau minum apa? Teh, kopi atau jus buah naga kesukaan kamu, atau..... ?"

"Pertanyaan Syakira belum ummi jawab. Abi ada di mana ummi?"

"Abi,..."

"Iya, abi ada dimana?"

"Ayo ikut ummi!" ummi menarik lenganku keluar melewati pintu samping. Mbak Lubna dengan sigap mengikuti langkah ku dan ummi dari belakang.

"Ummi mau bawa Syakira kemana?"

"Ketemu abi, Sya."

"Tapi, kenapa arahnya ke Masjid putera, ummi?" ummi menghentikan langkahnya saat memasuki sebuah pemakaman para embah buyut dibelakang masjid putera.

"Mengapa kita kesini ummi? Abi dimana?"

"Abi disini," ummi menunjuk sebuah pemakaman bertuliskan nama abi.

"Syakira belum faham ummi."

"Abi sudah wafat, Sya?" mataku membulat. Air mataku memuncak.

"Wafat? Tapi kenapa umi tidak memberi tahu Syakira?"

"Abi wafat kemarin pagi. Dan pada saat pihak keluarga menelpon pesantren katanya kamu sedang ujian sampai sore. Ummi tidak mau ujianmu gagal, Sya. Lagi pula, kalaupun pulang tidak akan nututi. Abi harus segera di istirahatkan," aku segera menghamburkan tubuhku keatas pemakaman abi. Sepuluh tahun meninggalkan rumah, sepuluh tahun pula aku jarang bertemu sosok ayah. Dan sekarang setelah aku kembali beliau justru yang pergi.

Aku tidak mampu menahan air mataku. Tanah yang basah seolah mewakili hatiku yang juga resah. Abi, aku merindukan dia. Isakku semakin membesar tak beraturan. Ummi menepuk bahuku lembut menenangkan.

"Sya, abi sudah tenang disana. Kita yang hidup tidak boleh mengusiknya. Kirim doa yang banyak supaya abi diterangkan kuburnya dan diterima semua amal ibadahnya. Kita baca yasin bersama dulu ya! Kalau kamu ingin nangis tak apa, nak. Tapi kita sambil ngaji," aku mengangguk mengiyakan permintaan ummi. Walau ingatanku seolah lumpuh, dadaku lantah bergemuruh. Namun aku mencoba sekuat tenaga menahan diri.

Usai do'a dibacakan ummi, hatiku mulai tenang. Walau air mataku belum berhenti berlinang.

"Apa abi sakit umi?"

"Tidak, abi tidak sakit. Beliau kecelakaan."

"Apa sebelum abi wafat, abi sempat mengingat Syakira?"

"Iya, setiap hari abi mengingat Syakira."

"Tapi kenapa ummi tidak pernah menjemput Syakira?"

"Bukankah kamu ujian selama dua minggu, Sya?"

"Apa ujian Syakira lebih penting dari abi yang sakit ummi?"

"Tapi abi yang tidak mau merepotkanmu. Kata abi, doa anak yang sedang ada dalam masa belajar jauh lebih diijabah Allah. Doa syakira jauh lebih penting buat abi," aku terdiam pilu.

"Kita balik dulu ya, nak. Nanti sore kita kesini lagi kalau kamu mau. Sekarang kamu harus istirahat dulu."

"Tapi Syakira masih mau disini ummi. Syakira mau nemeni abi. Abi pasti sendirian disana ummi. Syakira menyesal kenapa datang terlambat," Isakanku kembali menguat.

"Sya, kullu nafsin dzaiqotul maut, yang hidup pasti akan mati. Ummi, kamu dan kita semua pasti akan menyusul abi nantinya. Jangan disesali kepergian ini!" ummi menyeka air mataku lembut.

"Ayo kita balik dulu, kamu pasti sudah lelah!" dengan berat hati aku mengikuti perintah umi.

Saat sedang berdiri hendak beranjak dari pemakaman abi, ada seorang wanita dan seorang gadis berusia sepuluh tahunan menghentikan langkah kami. Wanita itu bersalaman pada ummi. Akupun ikut menyalaminya. Dia menatapku dari ujung kepala hingga kaki.

"Ini Syakira, mbak Yu?" ummi hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan orang itu.

"Wah, cantik sekali ya, perpaduan antara mas Hussein dan mbak yu. Sepuluh tahun tidak ketemu jadi pangling."

Mas Hussein? Siapa orang ini? Walau wajahnya familiar tapi aku tidak merasa mengenalnya. Tapi mengapa dia seolah akrab sekali dengan ummi?

"Ini kaka perempuanya Ziya satu-satunya dari ummi Raudah, namanya Syakira. Salaman dulu ya!" suruh wanita itu pada anak gadisnya. Kaka perempuan satu-satunya? Apalagi ini? Jantungku mulai berdetak tidak nyaman.

"Syakira sudah...."

"Em.. kami balik dulu ya, karena Syakira baru datang, dia belum istirahat. Assalamualaikum," ummi buru-buru menarik lenganku seolah tidak ingin aku menjawab pertanyaan orang itu.

Logikaku mulai berkecamuk. Pernyataan wanita itu membuat otakku menduga-duga. Tapi, batinku yang sakit karena kehilangan abi belum reda. Aku tidak ingin menambah masalah dengan kesu'udzonanku akan wanita muda dan gadis kecil tadi.

"Kamu, istirahat dulu ya disini. Nanti biar mbok Ateng nyiapin makanan untukmu," ummi segera keluar kamar seolah ingin segera menghindar. Aku merasakan ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang umi sembunyikan dariku. Tapi aku tidak tau, sesuatu apakah itu?

Aku menghamburkan tubuhku keatas kasur. Ku tutupi wajahku dengan bantal. Ku luahkan kembali sesak didadaku yang sedari tadi berdesak-desakan tak tentu. Abi, mengapa dia harus pergi secepat ini?.

MAHKOTA SANG RATU (SUDAH DINOVELKAN)Where stories live. Discover now