***
"Bagaimana? Apa kalian sudah dapat jawaban perihal isi map kuning yang selalu di pegang Gus Malik itu?" Arya menggeleng. Disusul Panji yang juga ikut menggeleng.
"Belum, Mbak Yu. Saya pribadi canggung yang mau nanya langsung sama Gus Malik. Tapi katanya, Arya pernah sekali memberanikan diri bertanya, dan Gus Malik bilang..."
"Bilang apa?"
"Isi map itu hanya berisi surat saja, Mbak."
"Dan kalian percaya begitu saja?"
"MasyaAllah. Mbak Yu ini piye toh? Gus Malik mana pernah bohong, Mbak? Hampir sepuluh tahun lebih saya kenal beliau. Dan selama itu pula saya tidak pernah melihat Gus Malik berkata bohong."
"Tapi aneh, Panji. Kalau isi dari map itu bukan hal yang penting. Terus kenapa Gus Malik harus menyimpannya erat-erat? Beliau juga tidak mengizinkan siapapun membacanya. Bukankah itu mencurigakan?"
"Terus Mbak Lubna mau nuduh Gus Malik merencanakan sesuatu, gitu? Duh Mbak Yu, saya tau banget sama sosok Gus Malik, beliau itu sosok jujur dan......"
"Lah, itu dia, "Lubna menjentikkan jemarinya.
"Justru karena Mbak Yu mu ini sangat yakin kalo Gus Malik itu sosok yang sanget jujur dan amanah. Mangkane, kejadian ini justru menambah kecurigaan Mbak Yu, Panji. Pasti ada sesuatu yang beliau sembunyikan. Sesuatu yang membuat beliau tidak mau membuka isi surat itu," Lubna menggamit dagunga. Arya dan Panji saling berpandangan.
"Panji, Arya. Kenapa kalian tidak coba untuk mengambil map itu secara diam-diam?"
"Apa? Mengambilnya diam-diam? Duh, biyung. Mboten, Mbake. Kulo ndak berani kalo harus dengan cara diam-diam. Gus Malik itu sudah memberikan banyak kepercayaan sama kami Mbake. Masak kami mau ngendap-ngendap buka map itu tanpa seizin beliau? Ndak mau saya. Hianat itu namanya."
"Tapi ini perintah, Panji"
"Perintah siapa, Mbak Yu?"
"Ning Syakira." Panji dan Arya kompak membulatkan mata.
"Ehem, ada apa ini?" Tiba-tiba Malik datang dari arah belakang mereka. Sontak tiga orang itu merubah posisi.
"Panji, Arya. Apa yang kalian lakukan di sini? Ini batas area santri banin. Santri banin di larang masuk ke area ini kecuali pengurus dan para ustadz," ketiganya tetap diam tanpa sedikitpun suara.
"Kalian sedang apa? Sedang membicarakan saya?'
"Em, anu, Gus. Kami..."
"Kami hanya ingin tau apa isi dari map kuning itu, Mas Malik," Syakira datang dari balik dinding di belakang gudang besar yang menghubungkan jalan menuju taman luas pondok putra. Malik menoleh kaget ke arah Syakira. Matanya berkaca-kaca melihat keadaan Syakira yang terlihat sangat muram.
"Apa sulitnya menjawab tentang isi dari map itu, Mas? saya tidak ingin menghalang-halangi apapun yang ingin Mas Malik lakukan. Saya hanya ingin melihat isinya, karena itu adalah surat dari ibu kandung saya. Kata Mbak Lubna, Mas Malik memaksa untuk bertemu saya karena surat itu. Tapi kenapa sekarang......?"
"Map kuning itu hanya berisi sepucuk surat dari Binda Raudah supaya saya menjagamu, Sya."
"Menjaga? Apakah pesan menjaga harus menggunakan surat wasiat? Lagipula, untuk apa Mas Malik menjaga saya, sementara saya bukan anak kecil lagi yang harus dijaga. Saya juga sudah bersuami. Saya sudah memiliki Mas Raja untuk sekedar menjaga saya."
"Sakit, Sya. Kata-katamu, terlampau sakit," batin Malik bergejolak.
"Andai kamu tau bahwa di dalam surat itu terdapat wasiat ayah dan ibumu, agar aku membawamu keluar dari pesantren, menikahimu dan membahagiakanmu. Tapi, aku tidak mungkin memporak-porandakan rumah tanggamu dengan Mas Raja hanya karena keegoisanku, Sya,"
"Jawab, Mas. Apa isi dari map kuning itu?"
"Isinya hanya yang saya jelaskan tadi, Sya."
"Bohong!"
"Gus ranting gak bohong kok, Ning. Isi surat itu emang cuma pesan Nyai Baik supaya Gus Ranting jaga Ning Cantik. Alwi pernah baca kok surat itu," Alwi tiba-tiba muncul dari arah taman belakang.
"Nyai Baik bilang, kalau Ning Cantik itu udah gak punya siap-siapa. Makanya disuruh jagain ke Gus Ranting, Benerkan, Gus?" Alwi mengerlingkan sebelah matanya pada Malik. Malik hanya bisa mengangguk pelan sambil memperbaiki ekspresi kagetnya karena keberadaan Alwi yang tiba-tiba datang mendadak.
Lubna, Panji dan Arya serempak membelalakkan mata. Syakira mencuatkan alis. Baginya, pernyataan Alwi adalah pukulan telak. Karena Alwi adalah bocah polos yang tidak mungkin berbohong. Apalagi Alwi dikenal sebagai anak yang cerdas dan berkepribadian sangat baik.
"Sekarang, kalian sudah mendengar sendri dari Alwi, salah satu orang yang sudah membaca surat itu. Jadi mulai saat ini, tolong hentikan kecurigaan dan investigasi kalian perihal surat itu. karena tidak ada keistimewaan apapun didalamnya," Malik menatap Arya dan panji yang menunduk karena merasa bersalah telah menguntitinya selama ini. Lubna ikut menunduk, namun kedua matanya melirik tajam pada Makhluk kecil yang sedang tersenym kecil di samping Malik. Gadis gagah yang sangat cocok jika dijadikan sebagai seorang polisi wanita itu masih menemukan keganjilan di balik senyuman manis bocah delapan tahunan itu.
Syakira tercenung. Mendengar jawaban Malik. Dia hanya bisa menunduk seolah kehilangan kata-kata.
"Saya rasa ursan saya selesai. Saya pamit. Assalamualaikum."
Malik berlalu. Panji dan Arya saling senggol. Mereka seolah menyalahkan satu sama lain atas kekecewaan Malik pada mereka. Syakira menatap dua langkah kaki Malik yang lamat-lamat semakin jauh. Benaknya masih penuh tanya. Demikianpun Lubna, perempuan itu masih merasa tidak puas dengan pengakuan anak kecil yang kini berjalan, mengekor di belakang pria ranting itu.
"Ada yang aneh!"
***
Pagi ini, dengan langkah tergesa-gesa Malik memasuki kediaman Nyai Sepuh. Setelah sholat dhuha Panji mengabarakan bahwa dirinya dipanggil wanita nomor satu di Ruham As-Salafiyah itu, "Ndhalem, Mbah Nyai. Apa njenengan memanggil saya? Apa yang bisa saya bantu?"
"Malik, tolong antarkan kami ke rumah sakit. Lubna sedang tidak enak badan. Dia masih belum bisa berkendara."
"Innalillah, siapa yang sakit, Mbah Nyi?"
"Syakira, Lik. Dari semalam Syakira muntah-muntah. Tubuhnya sangat lemah. Dia bilang pusing dan nafsu makannya jadi menurun," Malik menatap wajah Syakira lekat. Dipandanginya wanita itu dengan seksama. Wajahnya terlihat sagat pucat. Tubuhnya lunglai bak tak bertulang.
"Punten Mbah Nyai. Panjenengan tidak perlu khawatir. Hal ini biasa terjadi pada semua calon ibu."
"Calon ibu? Jadi maksudmu, Syakira?!" Malik menatap Syakira tajam kemudian kembali menundukkan pandangan.
"Inggih, Mbah Nyi."
"Alhamdulillah. Berita ini harus disampaikan pada Hassan dan Hannah. Saya ke dalam dulu, mau telepon Hassan," dengan wajah gembira Nyai sepuh segera menuju kamar pribadinya untuk menelpon Kiyai Hassan.
"Mas Malik pasti keliru. Saya tidak hamil kan, Mas?" Malik diam, pun tidak mengangkat wajahnya sedikitpun.
"Selamat, Sya. Semoga menjadi anak sholih/sholihat."
"Gak mungkin, Mas. Saya tidak mungkin hamil. Mas Malik pasti salah menduga."
"Karunia Allah itu harus disyukuri bukan diingkari."
"Tapi,.."
"Loh, kok masih di sini? Ayo berangkat!" Nyai Sepuh menarik tangan Syakira di ikuti Malik yang menyusul di belakangnya.
***
"Duh, Gus. Istrinya harus banyak di temeni. Kondisi kandungannya sangat lemah. Sebagai suami njenengan harusnya lebih siaga. Kalau bisa apapun kemauan istri harus di penuhi setidaknya ada asupan makanan yang masuk, Gus," Malik terkesiap, Nyai dan Syakira ikut menatap.
BERSAMBUNG..
YOU ARE READING
MAHKOTA SANG RATU (SUDAH DINOVELKAN)
General FictionAlfi Syakira Awwaliya Hussein, seorang Ratu Ruham As-Salafiyah yang dianggap sebagai wanita berdarah Ardanareshwari, wanita hebat yang kelak akan melahirkan raja-raja. Tirakatnya sejak ia belia, membuatnya tumbuh menjadi wanita anggun yang agung. Di...