KEMBALI PULANG PART 4

4.1K 207 4
                                    

Sore berkabut, burung-burung camar beradu suara diatas pohon beringin yang berdiri ditengah-tengah pemakaman. Angin semilir menusuk pori-pori kulit. Sesekali dedaunan dan bunga-bunga kamboja yang bergelantung dilengan ranting berjatuhan, menghamburkan tubuhnya ketanah.

Mbak Lubna terlihat berjaga disamping mobil mengawasi langkahku yang selangkah mendekat pada pusara pemakaman mbah Sayyid Ruham. Sesekali ia menoleh kekanan dan kekiri seolah tak ingin ada seorang pun mendekatiku.

Aku duduk melipat kaki. Menghadap pusara mbah Sayyid Ruham yang terlihat besar diantara makam-makam lain yang berjejer disekitar. Wangi mawar, melati, pandan iris dan kembang kenanga menusuk hidung seolah mendamaikan gemuruh dalam relung.

Air mataku kembali naik. Ku pejamkan perlahan mataku agar ia bisa leluasa mengalir di pipiku. Wajah ummi kembali hadir dalam benak yang gelap. Wajah tak berdosa yang paling ku takuti jika bersedih hari ini mengungkapkan rasa nyerinya yang perih.

Sepuluh tahun yang lalu, aku sempat mendengar percekcokan abi dan ummi dikamar. Suara mereka terdengar sumbang karena hujan. Tapi aku mendengar jelas bahwa abi ingin beristeri lagi.

Kala itu aku tidak mengerti mengapa seseorang yang sudah memilki anak dan isteri harus menikah lagi? Apa kekurangan ummi? Ataukah ini bukan perihal kekurangan namun perihal kurang yang tidak pernah ada habisnya dihati para manusia?

Saat itu, memiliki isteri lebih dari satu menjamur di beberapa daerah. Angka perceraian naik karena kasus perselingkuhan dan kasus poligami. Surah Annisa ayat tiga seolah menjadi dalil andalan untuk menyumbal mulut para wanita. Walau para wanita membantahnya dengan ayat ke seratus dua puluh Sembilan, namun seolah tiada guna, wanita harus tetap mengalah.

Untuk alasan abi, aku tidak pernah tau. Apa alasan dia hingga mempoligami ummi? Akupun tidak ingin tau hal itu, karena bertanya sama saja dengan membuka luka lama.

Aku hanya memikirkan perasaan ummi. Selama sepuluh tahun sejak kepergianku, dia pasti teramat sakit. Ummi pernah bilang bahwa dia tidak pernah ridha jika abi menikah lagi. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kesempurnaan ummi tergeserkan hanya oleh seorang santriwati yang tidak tau adab.

Ummi memang wanita yang hebat yang dia lakukan setiap hari adalah berjuang mencerdaskan para santri, melayani aku dan abi. Walau beliau memiliki banyak santri tak lantas membuat beliau ongkang-ongkang kaki. Ummi tetap berbaur bersama para santri membuat kue, memasak dan bercocok tanam.

Dia memang bukan wanita pesolek. Wajahnya natural tanpa make-up namun kilau cantiknya tidak bisa dikalahkan oleh siapapun dipesantren.

Halimah, perempuan itu. Aku baru ingat siapa dia. Dia abdi dhalem yang suka melayani keluarga ku. Wajahnya biasa saja tapi dia suka berhias. Wajahnya terlihat segar karena balutan lipstik tipis dan alis yang lurus memanjang. Senyuman genitnya menjijikkan. Seolah mengajak para lelaki yang melihatnya untuk tidak berpaling.

Abi, apa dia terpesona pada wanita itu? Apa pengorbanan ummi selama ini terhapuskan senyum sesaat yang menjijikkan itu?

"Ya, Allah," bibirku mulai basah dengan wiridan. Bacaan Yasin dan tahlil tereja sempurna. Lalu doa-doa untuk abi, ummi dan keluarga besarku tak luput dari semogaku.

Kembali, mataku pedas berkantung. Isakanku mengehentak-hentak rongga dada dan jantung. Antara ingin menyesali, membenci. Tapi percuma, karena yang ingin dibencipun telah pergi.

Aku tidak ingin membuat abi tidak tenang di alam sana hanya karena ulahku didunia. Sebagai anak yang patuh dan berilmu aku harus bisa memaafkan, mengikhlaskan dan lupa. Lupa bahwa aku dan ummi pernah terluka.

Lagi pula, ini sudah menjadi takdir ummi. Ini juga menjadi jalan takdir abi. Bahkan ular yang berbisapun tidak layak untuk dibenci. Lalu mengapa aku harus menumpuk benci pada ayahku sendiri?

Ular? Mas malik?

Krrrkk

Sebuah langkah kaki di belakangku membuyarkan lamunanku. Aku menoleh setengah berdiri karena telah merasa usai dengan doa-doaku. Pria berjaket hitam yang pagi tadi menyelamatkan aku dari ular itu berdiri tepat di depanku. Dia terlihat sedang memainkan ranting ditangannya.

Aku berjalan maju beberapa langkah. Dia tetap menunduk tidak menghiraukan. Hingga aku berjalan persis di sampingnya-pun dia tetap tidak menoleh. Dia kemudian berjalan lamban menuju pusara makam mbah Ruham setelah tau aku telah membelakanginya.

Kupanggil namanya pelan mungkin dia mampu mengingatku.

"Mas malik!" pasrah, pria itu tidak menoleh sedikitpun. Dia segera bersila dan membuka majmu' syarif yang ia bawa.

Aku jengah untuk memanggilnya kembali. Dia, bukan mas Malik sahabat masa kecilku yang dulu. dia telah berubah angkuh. Bahkan dia tidak mengenaliku lagi.

"Tadi, ada gus Malik, ning. Beliau...... "

"Kita pulang segera mbak. Ini sudah hampir maghrib. Istighotsah malam Jum'at pasti akan segera dimulai," aku segera memasuki mobil seolah tak ingin mendengar nama sahabat kecil yang sudah bermetamorfosa menjadi alien itu.

Mbak Lubna menyalakan mobil dan segera meninggalkan makam mbah Sayyid Ruham ditengah sinar senja yang hampir padam.

MAHKOTA SANG RATU (SUDAH DINOVELKAN)Where stories live. Discover now