***
"Duh, Gus. Istrinya harus banyak di temeni. Kondisi kandungannya sangat lemah. Sebagai suami njenengan harusnya lebih siaga. Kalau bisa apapun kemauan istri harus di penuhi setidaknya ada asupan makanan yang masuk, Gus," Malik terkesiap, Nyai dan Syakira ikut menatap.
"Em, maaf, Bu. Saya bukan.."
"Ini, buku Suami Siaga dan How to be a great Dad karya Keith Zafren. Bisa dibaca-baca nanti supaya njen bisa jadi suami siaga sekaligus ayah yang hebat. Dan ini, buku panduan untuk Istri njenengan. Ini wajib dibaca juga biar istri njenengan siap menghadapi persalinan, Gus."
"Dia bukan suami Syakira, Bu Bidan," Nyai Sepuh tersenyum-senyum dari balik tirai.
"Eh, keliru saya ngge, Nyai?"
"Suami Syakira itu cucuku, Raja, anaknya si Hassan."
"Dia ini Malik, cucuku juga dari Kang Mas Ibrahim saudaranya Kang Mas Ismail."
"Jadii.. ini yang namanya Gus Malik yang banyak dibicarakan orang-orang? Walah, tak kiro niki cucu menantunya njenengan, Nyi. Soalnya cocok banget sama Ning Syakira. Eh," Bu Bidan segera menutup mulutnya.
"Uhuk-uhuk," reflek, Nyai Sepuh batuk-batuk. Sementara Syakira dan Malik serempak menggaruk tengkuk mereka yang jelas tidak gatal.
"Terus, Gus Rajanya di mana sekarang, Nyi? Sayang sekali, ya. Harusnya suaminya yang lebih dulu tahu tentang hal ini."
Semua orang diam-saling bertatapan.
"Raja, dia...."
"Mas Raja sedang tugas kantor di luar kota, Bu. Maklum, Mas Raja itu pria sukses yang proyeknya di mana-mana. Jadi belum bisa nganter Syakira ke sini. Tapi, Ibu tenang saja. Besok-besok saya pastikan, Mas Raja yang akan ngantar Syakira ke sini. Iya kan, Sya, Mbah Nyi?" Nyai Sepuh mengangguk sambil terheran-heran melihat Malik yang sangat pandai mengalihkan perhatian.
"Oh, gitu? Hebat ya, Gus Raja sudah sukses jadi milyader. Semoga nanti, beliau juga bisa sukses jadi seorang father."
"Aamiin," Puji Malik kencang. Sementara Syakira dan Nyai sepuh serempak bertatapan kemudian menundukkan pandangan.
"Ya sudah, kami pamit, Bu. Berapa semuanya?"
"Gratis, Nyai."
"Kenapa gratis? Ini kita ngerampok namanya. Buku, susu, multivitamin dan semua perlengkapan ini mahalkan, Bu?"
"Anggap saja semua ini adalah balas jasa saya sama Gus Ranting, Nyai," bidan cantik itu menatap Malik sambil tersenyum. Nyai Sepuh mencuatkan alis.
"Saya dengar Gus Malik sering keliling bantu warga di sini menjaga keamanan, Nyai. Bahkan dulu pernah motor kesayangan suami saya katanya gagal dirampok gara-gara ketemu sama Gus Malik di jalan."
"Benar itu Malik?" Malik hanya menunduk sambil lalu menggulung senyum di bibirnya.
"Kagum saya, Nyai, sama pemuda yang satu ini. Padahal beliau ini hanya punya ranting bukan pistol atau pedang samurai. Tapi, sudah bisa menggagalkan banyak pencurian dengan rantingnya. Baru hari ini saya bisa menatap wajah pahlawan super ini. Padahal sudah lama saya penasaran sama orangnya. Terimakasih banyak ya, Gus, atas semua bantuannya."
"Njih, Bu Bidan, sami-sami. Terimakasih juga nih karena rampokan kami diterima dengan baik. Kapan-kapan boleh kan kami ngerampok lagi?"
Hahahaha...
Seisi ruangan tertawa mendengar ucapan terakhir Malik. Kecuali Syakira yang kedua netranya menyorot satu wajah yang sedang tersenyum lepas.
"Mas, aku rindu candaanmu yang seperti ini. Seperti kita dulu; Riang-ringan. Mandi di bawah hujan. Astaghfirullahal adzim, apa yang sedang aku pikirkan."
Sang pemilik senyuman menghentikan senyumannya. Dua netranya naik menatap dua netra lain yang sedang menyorotnya. Empat bola mata terpaut membungakan senyum simpul di bibir mereka.
Inikah sebuah tanda untuk kesempatan kedua?
Sebuah hadits menyebutkan bahwa seorang wanita adalah pakaian untuk suaminya. Demikianpun suami adalah pakaian untuk istrinya. Namun bukan berarti wanita adalah pakaian yang jika telah lusuh rupanya, pudar warnanya, kumal bentuknya maka sang pemilik pakaian bisa berganti sekenaknya lalu mencari pakaian lain yang diarasa lebih pantas dikenakannya.
***
"Raja, dari mana saja koe, Le?"
"Saya tadi mengurusi proyek dengan teman-teman, Mbah Nyai," Raja menarik tangan Nyai Sepuh kemudian menciuminya.
"Apa proyekmu lebih penting dari keluargamu atau masa depan pesantren ini?" Nyai Sepuh menatap Raja dengan tatapan tajam, memaksa pria beralis tebal itu menunduk.
"Opo yo pantes, yang ngurusi pesantren ini justru Malik putranya Syahid? Sementara kamulah pewaris utama dari pesantren ini, Le?"
"Berdakwah itu kan ndak harus di pesantren, Mbah Nyi," Raja duduk di sofa berwarna hijau muda sambil melipat kemeja panjangnya.
"Tapi, tanggung jawabmu ada di pesantren ini, Le. Hussein sudah mempercayakan masa depan pesantren ini di tanganmu."
"Kalau saya fokus ke pesantren, proyek saya diluar sana bagaiamana, Mbah Nyi? Saya sudah bilang berkali-kali, saya tidak membidangi dakwah di pesantren. Bidang saya tekhnologi, sains dan design."
"Kamu masih saja seperti yang dulu, Le. Susah nurutnya. Apa kamu tidak bisa sedikit saja manut pada kami? Sekarang itu kamu sudah bukan anak kecil lagi. Sebentar lagi kamu akan menjadi seorang ayah."
"Ayah?" Raja terkesiap. Nyai Sepuh menghela napas panjang. Wanita yang nyaris tidak pernah melepas tasbih kecil di jemarinya itu duduk di sebelah cucu tersayangnya.
"Syakira hamil, Le. Dia butuh kamu."
"Hamil?" Nyai sepuh mengangguk.
"Tadi pagi kami ngecek ke bidan dan ternyata dia positif hamil."
"Kenapa Mbah Nyai tidak bilang ke saya?"
"Teleponmu ndak aktif, Le. Jadi terpaksa Mbah Nyai minta anter karo Malik."
"Malik?"
"Iya. Malik justru lebih tahu kondisi Syakira daripada kamu, suaminya. Malah bidannya tadi ngira Malik suaminya Syakira."
Tanpa banyak bicara, Raja masuk ke dalam kamar menemui istrinya. Langkah Raja terhenti setelah tahu Syakira sedang asyik menderas Al-Quran. Air matanya bercucuran membasahi mukenah putihnya. Wanita itu tidak menoleh sedikitpun membuat Raja ragu untuk sekedar menyapa.
Sudah tiga hari dia tidak pulang tanpa kabar apapun. Kedatangannya hanya akan menjadi sebuah keterasingan. Selama dua bulan setelah kejadian malam itu Raja tidak pernah lagi tidur di kamar Syakira. Rupanya amarah karena perjodohan yang seolah memaksanya menjadi orang lain membuat pria itu belum ikhlas sepenuhnya.
Cintanya pada gadis bermata kebiruan itu telah membuatnya ingkar pada kewajibannya sebagai seorang suami. Di tubuh wanita yang kini sedang ditatapnya terdapat sebuah benih suci. Buah dari perbuatannya malam itu. Syakira membawanya sendiri. Dia tidak pernah mengadukan perbuatan suaminya pada siapapun.
Walau sering disakiti bahkan keberadaannya tidak pernah dianggap oleh suaminya sendiri, Syakira tidak lantas mengadu. Ia tetap berpura-pura tegar di depan banyak orang.
"Sya..." Rupanya pria itu masih memiliki hati nurani untuk sekedar bertanya. Ruangan yang hampir tiga bulan lamanya nyaris tidak pernah terdengar tutur sapa itu mendadak terdengar sebuah sapaan.
Ting!
Tiba-tiba sebuah suara dari aplikasi hijau mendenting. Raja menghentikan langkahnya. Tubuhnya kemudian beringsut mundur. Pria itu seketika bergegas keluar. Ditinggalkannya Syakira yang masih khusyu' dalam bacaan ayat-ayat suci Al-Quran.
Syakira menoleh. Dadanya kemudian mengombak, dilihatnya lelaki yang telah menikahinya tiga bulan yang lalu itu lenyap dari balik pintu.
BERSAMBUNG..
YOU ARE READING
MAHKOTA SANG RATU (SUDAH DINOVELKAN)
General FictionAlfi Syakira Awwaliya Hussein, seorang Ratu Ruham As-Salafiyah yang dianggap sebagai wanita berdarah Ardanareshwari, wanita hebat yang kelak akan melahirkan raja-raja. Tirakatnya sejak ia belia, membuatnya tumbuh menjadi wanita anggun yang agung. Di...