***
"Assalamualaikum. Njen memanggil saya, Ning?"
"Waalaikum salam. Njih, lerres, Mbak Lubna. Duduk Mbak!" Syakira menggeser posisi mempersilahkan gadis bertubuh tegap itu duduk di sampingnya.
"Ada hal penting apakah yang membuat Njenengan memanggil saya, Ning?"
"Mboten, tidak ada, Mbak. Saya hanya sedang rindu Ummi," Lubna mengernyitkan dahi, tanda tidak mengerti. Syakira menyodorkan satu gelas teh hangat lengkap dengan satu botol madu asli.
"Mbak Lubna sudah ada di pesantren ini berapa tahun?"
"Ah, sudah sekian tahun, Ning. Mulai Njen masih suka main-main di sawung karo Gus Malik sampai sekarang kalian sama-sama besar. Hehe," kenang Lubna, mengundang seuntas senyum tulus mengembang dibibirnya. Mendengar nama Malik disebut, hati Syakira berdenyut namun perasaan itu segera ditepisnya.
"Itu artinya Mbak Lubna sangat tau perjalanan Abi dan Ummi?" Seketika Lubna mengehentikan senyumannya. Kedua matanya menatap sepasang bola mata yang tiba-tiba menyentuh lengannya.
"Berceritalah, Mbak. Apa yang terjadi pada ummi saat kali pertama beliau dimadu?"
Gadis tegap yang telah lama mengabdikan diri pada keluarga kiyai Hussein Ismail bin Ruham itu mulai bergetar. Seolah menghitung mundur semua kisah, otak Lubna melompat-lompat pada kejadian belasan tahun yang lalu.
"Beliau tidur dikamar saya dan ustadzah Nafisah, Ning. Mungkin beliau belum siap dengan apa yang baru saja terjadi. Apalagi madunya adalah santri sendiri," suaranya sudah terdengar parau dan terbata-bata.
"Lalu, apa yang dilakukan Ummi di sana, Mbak? Bagaimana keadaanya?"
"Awal-awal beliau mencoba untuk tegar. Walau kami tau bahwa beliau terluka, tapi beliau mencoba untuk menahannya. Hingga pada suatu hari, Nyai Raudah ada di puncak kesabarannya. Kiai membawa Nyai Halimah ke dhalem. Hampir sepanjang hari beliau menangis. Walaupun ketika ada kami, beliau mencoba menahannya. Tapi kami, diam-diam menyorot tubuh beliau yang meringkuk dilantai," Lubna sesenggukan sambil sesekali menarik kedua ujung matanya yang basah.
"Saat kami membawakan bantal, selimut dan perlengkapan lain, beliau menolaknya. Bahkan beliau melemparnya ke halaman pondok. Pada saat itu, beliau menangis dan berteriak kencang, membuat ribuan santri sepondok pesantren ini terguncang dadanya, remuk jantungnya mendengar Nyai tercinta kami yang paling sabar dan kuat menagis tersedu-sedu."
"Jangan pangggil aku Ibu Nyai! Aku bukan Ibu Nyai. Ibu Nyai kalian adalah dia, dia yang ada di dalam sana!!" Dengan suara terbata-bata Lubna menirukan teriakan wanita malang itu.
"Silahkan ambil semua hartaku! Ambil semua tahtaku! Tapi jangan pernah ambil suamiku!"
"Nyai seolah kehilangan pertahanannya, Ning. Beliau yang sanget sabar pun ikhlas akhirnya menunjukkan ketidak sanggupannya. Kami tidak bisa menahan air mata. Selama seminggu masih banyak santri yang pingsan. Mereka semua tidak enak makan. Ditambah lagi, Nyai Raudah demam. Beliau menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Bahkan bujukan Nyai Sepuh tidak mempan," Syakira menutup mulutnya agar tidak keluar suara tangisannya. Bahunya bergerak-gerak karena terguncang isakan.
"Semua menjadi reda setelah kakek Gus Malik, kiai Ibahim bin Ruham rawuh dan memberi nasihat pada kiyai Hussein agar membawa Nyai Halimah ke tempat lain saja. Demi keamanan dan ketentraman podok."
"Apa Abi benar-benar membawanya pergi, Mbak?"
"Iya, Kiyai benar-benar membawanya pergi. Tapi seminggu sekali dia pasti akan datang menjadi hantu di tengah-tengah kami, Ning," dahi Lubna mengkerut. Napasnya tidak beraturan. Andaikan Halimah ada di depannya mungkin sebuah kepalan tinju dari tangan kasarnya akan melayang ke wajah perempuan perebut suami orang itu.
YOU ARE READING
MAHKOTA SANG RATU (SUDAH DINOVELKAN)
Ficción GeneralAlfi Syakira Awwaliya Hussein, seorang Ratu Ruham As-Salafiyah yang dianggap sebagai wanita berdarah Ardanareshwari, wanita hebat yang kelak akan melahirkan raja-raja. Tirakatnya sejak ia belia, membuatnya tumbuh menjadi wanita anggun yang agung. Di...