***
"Kenapa kamu masih tetap cengeng seperti dulu, Sya?" Malik menarik nafas dalam-dalam. Dia menatap keatas balkon, baru saja bayangan sahabat kecilnya menghilang.
"Sudah ku bilang berkali-kali padamu, Sya. Untuk menjadi seorang ratu besar, kamu harus berjiwa besar. Entah apa yang membuatmu tidak menghendaki menikah dengan mas Raja, sementara dia memiliki segalanya," Malik merebahkan tubuhnya.
"Aku juga terluka, tapi luka ini tak seberapa. Akan lebih terluka lagi jika aku melihatmu durhaka pada kedua orang tuamu. Tenanglah, Tuhan sedang menggiringmu pada sebuah kerajaan bersama Raja. Bukan, aku. Bukan aku, yang akan mendampingimu di istana. Biarlkanlah aku hanya sebagai penjaga, seolah Bekel gajah Mada yang hanya memanggul tugas menjaga istana bukan menjarah cinta."
Malik menatap langit. Rembulan bersinar terang. Terlihat arak-arakan awan yang seolah berjalan mendekati sang rembulan. Pria itu memejamkan matanya sambil menghirup udara malam. Tubuhnya terdampar diatas rerumputan hijau. Ingatannya kembali menyeruak pada masa silam.
...
"Syakira mau main ratu-ratuan tapi masa ratu gak punya rakyat?"
"Sssht, sudah jangan nangis lagi! Siapa bilang kamu gak punya rakyat."
"Mana? Syakira gak punya rakyat. Jangankan rakyat, temen aja Syakira gak punya."
"Coba sekarang kamu lihat kupu-kupu dan burung-burung yang berterbangan itu. Lihat pohon-pohon tebu, ciplukan, dan rumput gajah hijau itu, anggap saja semua itu adalah rakyatmu. Tumbuhan dan hewan itu juga makhluk hidup, Sya."
"Tapi Syakira maunya yang manusia."
"Ini, manusia. Namaku Malik, Malik artinya raja. Dan raja akan selalu bersama ratu sampai kapanpun. Jadi kamu gak perlu nangis lagi. Karena sudah ada raja disini. Sini, aku pakaikan bunga mahkota."
"Ini, bunga suket?"
"Iya ini suket. Pas, kalau pakai mahkota ini kamu sudah mirip seperti ratu, Sya."
..........
"Kamu masih di pesantren paman Hassan?"
"Inggih, mas."
"Masih temenan sama Syakira?"
"Kami hanya berteman ketika masih kecil, mas. Sekarang sudah dewasa, jadi...."
"Syukurlah, jadi aku tidak perlu memperingatkanmu untuk tidak mendekati dia."
"Ada apa gerangan, mas?."
"Sini aku bisiki! Syakira akan menjadi istriku dalam waktu dekat. Jadi, kamu selaku keamanan pondok, tolong jaga dia baik-baik untukku! "
........
"kita gak temenan lagi?"
"Kita temenan tapi gak deketan. Mas malik juga gak mau terus-terusan dipanggil anak kecil cuma gara-gara main sama kamu terus."
"Iiih mas Malik jahat! Mentang-mentang pengen kaya ustadz keren di pondok putra jadi gak mau main sama Syakira lagi!"
"Bukan gitu Sya, tapi.."
"Udah, Syakira mau main sendirian aja. Mas Malik jahat pokonya! Syakira gak mau temenan sama mas malik lagi!"
"Sya.. Syakira.. Tunggu..!! Tunggu, Sya..!
.....
"Malik, titip Syakira ya!"
"Binda mau kemana?"
"Ke suatu tempat yang jauh. Binda khawatir dia tidak kerasan tinggal disini selama binda tidak ada."
"Ada mas Raja, binda."
"Bukan, bukan raja, Kamu?"
"Saya?"
"Iya, kamu bukan Raja."
"Namamu Raja. Kamu juga calon raja."
"Saya tidak mengerti binda."
"Binda buru-buru. Lihat itu, kang mas Hassan sudah menunggu. Jaga Syakira, ya, Malik, kami pergi dulu."
"Bindaaa, tunggu!"
"Hanya kamu yang bisa menjaga dia, Malik. Kami pasrah penuh padamu!!!"
"Bindaa, pamaan, tunggu!"
"Mas Malik, tolooong!!!"
Mata Malik terbuka tiba-tiba. Keningnya terlihat mengeluarkan bintik-bintik bening. Napasnya tersengal, seolah baru saja mendaki gunung tinggi. Dia menghela napas. Diorama jantungnya menghentak-hentak, baru saja pria itu bermimpi buruk.
***
"Syakira, nek endi ali-alimu?" tanya mbah nyai dengan tatapan menyelidik. Kedua matanya menyorot jari manis Syakira yang sudah terlihat polos tanpa cincin.
"Em.. a.. ada, mbah nyai," jawab Syakira gugup.
"Nak endi? Keno opo kok ndak digawe? Piye yen keluarga Raja weruh? Deweke nganggep menowo kowe ora setuju lamaran iki."
"Mboten, mboten begitu mbah nyai. Hanya saja cicinnya terlalu kecil mbah nyi, jari manis saya terasa sakit, makanya saya buka."
"Bagi orang Jawa cincin itu memilik makna penting, Sya. Cincin adalah tanda paningsetan, keterikatan dan kepemilikian antara dua keluarga. Kalau kamu memilih tidak memakainya, orang akan berfikir bahwa kamu menolak atas ikatan pertunangan ini. Ambil sekarang, lalu pakailah!" Syakira kebingungan, semalam dia sudah melempar cincin itu kearah taman. Tidak mungkin jika ia harus mencarinya lagi, mbah nyai pasti akan curiga.
"Assalamualaikum," suara anak kecil dibalik pintu menghentikan pembicaraan mereka.
"Waalaikum salam."
"Ning Sya, tasnya ketinggalan," Alwi menyembul dari pintu lalu memberikan sebuah tas hitam pada Syakira.
"Ya?" Syakira terlihat kaget karena jelas itu bukan tasnya.
"Ning, cincinnya ada di dalam tas," bisik Alwi pelan, suaranya hampir sama sekali tidak terdengar.
"Terimakasih banyak Alwi."
"Sama-sama," Awi keluar dengan mata berkedip-kedip. Seolah memberi Isyarat pada Syakira untuk membuka isi tas.
"Ambil cincinmu, Sya. Mbah nyai ingin memasangkannya di jari manismu!" segera Syakira meraba isi tas, dan benar, cincin itu ada. Segera ia memberikannya pada mbah nyai. Alwi terkekeh sendirian sambil menutup mulutnya dari balik pintu. Anak kecil itu mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi ke udara.
Syakira menarik napas, batinnnya bergejolak" Pasti mas Malik. Pasti orang itu yang sudah mencari cincin ini ditaman, lalu dia memberikannya lewat Alwi. Seharusnya kamu tidak perlu melakukan semua ini hanya untuk melindungiku, Mas."
YOU ARE READING
MAHKOTA SANG RATU (SUDAH DINOVELKAN)
General FictionAlfi Syakira Awwaliya Hussein, seorang Ratu Ruham As-Salafiyah yang dianggap sebagai wanita berdarah Ardanareshwari, wanita hebat yang kelak akan melahirkan raja-raja. Tirakatnya sejak ia belia, membuatnya tumbuh menjadi wanita anggun yang agung. Di...