12

815 97 4
                                    

"Kak Harja!!"

Seketika gue dan Harja nengok ke sumber suara. Terdapat cewek rambut kepang dua pakai kacamata bulet berlari kecil menuju gue dan Harja.

"Felis?"

"Iya, Kak, ini Felis." Cewek itu senyum lebar banget sampe kacamatanya agak terangkat.

"Apa kabar lo?" tanya Harja sambil berjabat tangan. "Masih suka koleksi novel?"

Cewek itu ngangguk antusias. "Kabar Felis baik kok, Kakak apa kabar?"

"Baik juga. Oh, iya, kenalin. Ini Fio, dan dia Felis junior gue di SMA," ucap Harja sambil nunjuk gue dan cewek itu secara bergantian.

Oh junior. Pantesan manggilnya kakak. Gue menjabat tangan Felis dan kita saling sebut nama.

"Kakak masih temenan sama Kak Dito?"

"Iya, dia satu kampus sama gue."

Gue masih terus dengerin percakapan mereka sambil nyedotin susu kotak. Mereka saling tanya satu sama lain di pinggir parkiran. Jarak sini ke mobil lumayan jauh, gue males kalau jalan sendirian. Jadinya gue nunggu mereka kelar ngobrol aja.

Selama lima menit kuping gue nerima banyak informasi soal Harja, Dito, dan Felis selama di SMA. Gue langsung pasang masker dan airpods ketika sampai di mobil lagi. Tangan gue mencari lagu yang sekiranya gak bikin kuping gue terasa penuh. Gue kecilin volumenya, berniat nemenin Harja di perjalanan. Tapi namanya orang ketiduran mana kerasa ya kan?

*

"Fio, bangun. Udah nyampe," ucap Harja sambil goyang-goyangin tangan gue.

Gue yang baru sadar langsung kaget karena pemandangan jalan berganti sama tembok marmer dengan cahaya sedikit redup karena sinar matahari gak bisa sepenuhnya tembus masuk ke garasi.

"Eh? Padahal tadi mau nemenin Bang Harja, malah ketiduran," ucap gue agak malu-malu.

"Gapapa kok, istirahat sana lo." Harja masuk sambil bawa barang-barang yang lain ke dalem.

Gue berhenti di ruang tengah sambil makanin camilan yang tadi gue beli. Tangan gue sibuk scroll Twitter yang sempat gue gue tinggalkan. Namun kedamaian gue terusik karena Bagas dateng-dateng ganggu gue dengan narik-narik ponsel gue.

"Lo kenapa deh, Bang?"

"Gue ada tebak-tebakan nih."

"Apaan?"

"Buah apa yang digoreng?"

"Pisang goreng."

"Buahwan!" Abis itu Bagas ngakak. Tapi kemudian wajahnya berubah jadi bingung, "Lah iya, pisang goreng."

Gue geleng kepala doang. Heran deh, ketipu sama lawakan sendiri.

*

Oliv sent a file.

Bagas : Makasih ya liv

Oliv : Yo
Oliv : Itu tinggal disusun doang kok
Oliv : Due date masih sekitar 1 bulan lagi. Nanti gw tinggal susun laporan aja buat acaranya.

Bagas : Siap
Bagas : Oh iya, lo ada waktu gak?

Oliv : Tumben lo nanya gini

Bagas : Gak kenapa sih, cuma mau ketemu aja.

Oliv : Besok aja gimana? Sekalian ada yang mau gue sampein.

Bagas : Di?

Oliv : Cafe biasanya aja

Bagas : Siap komandan!

Senyuman terukir indah di bibir Bagas. Menampilkan deretan giginya. Entah kenapa Bagas begitu semangat untuk menanti besok. Menunggu bisa menatap wajah wanita lugu itu.

"Gila lo ya?" tanya Jilian yang membubarkan lamunan Bagas.

"Dua tiga pedang buat perang, ikut aja lo urusan orang." Bagas menatap Jilian sewot.

"Empat lima jajan bakpo, namanya juga orang kepo." Jilian mengambil gelas dan mengisinya dengan air.

"Enam tuju kilo, gak ada kerjaan apa lo?"

Jilian cepat-cepat menghabiskan minumnya. "Delapan sembilan liter minyak, ada nih banyak."

"Sepuluh sebelas buah kedondong, ikut dong!" sahut Yudhis yang baru saja turun dari tangga.

"Dua belas tiga belas bendera berkibar, BUBAAARRR!" Serempak Bagas dan Jilian pergi dari sana.

"Kaga gue bikinin makan lo berdua!" teriak Yudhis gak terima.

"Gojek buat apaan anjir, Yud?" sahut Harja yang sedang berjalan menuju kulkas.

"Mau ngapain lo?" tanya Yudhis pada Harja.

"Empat belas lima belas batok kelapa, ga liat gue lagi apa?" Harja sedikit tersenyum. Gak percaya kalo dirinya ketularan Bagas sama Jilian.

"Bully gue terus aja. Animal lo pada emang!" Yudhis menyenggol Harja, isyarat untuk pindah dari depan kulkas.

"Mau ngapain lo, Yud?"

"Masak," jawab Yudhis singkat. Bahkan kalo lo gak dengerin baik-baik, pasti kedengerannya cuma 'sak' doang.

"Jiah, Yudhis ngambek!" Harja cekikian ngeliat ekspresi Yudhis.

"Lo kalo gak mau bantu gue, mending balik ke kamar aja sono."

"Masa?"

"Iya."

"Bodo!"

"Anjing!! Balik kaga lo?!" Yudhis udah kesel banget sampe wortelnya jatuh gara-gara ngejar Harja.

*

Gue membuka pintu setelah Dito beberapa kali ngetuk pintu gue. Mata gue menangkap Dito yang udah rapi banget kaya mau kondangan.

"Widih, kemana lo, Bang?"

"Mau ke acara sunatan."

"Siapa? Adek lo?"

"Bukan, dosen gue."

"Ha? Dosen lo belum sunat?"

"Eh? Anaknya maksud gue." Dito malah ketawa sendiri. "Kosan kosong. Gue kunci gerbang sama pintunya. Lo hati-hati di kosan sendirian ya."

"Udah deh, Bang, gue parnoan, jangan cerita horor."

Dito geleng kepala, "Bukan gitu. Di sini rawan maling. Jadi gak usah keluar kalo gak ada keperluan mendadak. Gak ada yang jagain lo soalnya."

"Oh, gue kira apaan. Iya bang, santai. Hati-hati ya lo."

Dito pamit kemudian turun ke bawah. Gue balik lagi ke atas kasur. Goleran sambil nonton drakor. Park Shinhye cantik parah di drakor Doctor sumpah. Gue semangat banget mau nonton ini sambil nyamil.

Di episode awal tuh Mbak Park ini keren parah pokoknya mah. Tomboy parah, demen banget gelud malah sampe masuk penjara. Gue bisa aja malak surat kontrak buat ngasih seluruh hati dan jiwa gue spesial untuk Mbak Park dengan post-it bertuliskan aku penggemarmu.

Tapi niat gue dipatahkan oleh episode dimana Mbak Park kehilangan neneknya sampek nangis-nangis. Keluarganya gak peduli sama dia atas dasar dia badung. Padahal Mbak Park badung juga punya hati. Gue auto ikutan nangis.

Sayangnya, penghayatan ini gak berlangsung lama. Tiba-tiba Harja buka kamar gue dan langsung duduk di hadapan gue. Dia nangkup pipi gue dengan muka panik.

[]

SUMMER HOLIDAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang