20

725 86 0
                                    

Wajah Harja nampak kaku.

"Ini surat yang dikasih Mama ke gue."

Matanya menatap tajam dengan rahang mengeras, ia berjalan kembali ke apartemen.

"Harusnya gue simpen sendiri."

Kakinya dengan tegas melangkah ke dalam ruangan yang seharusnya tidak ia tinggalkan.

"Jangan sakiti Papa apapun yang terjadi. Gue yakin keputusan dia bener."

Baru saja pintunya terbuka, matanya sudah mendapati laki-laki paruh baya sedang duduk di ruang tengah sambil menyantap kopinya. Belum berangkat kerja rupanya.

Harja berjalan masuk. Masih dengan tatapan yang sama, ia berhenti di depan ayahnya tanpa meletakkan helm di lengannya.

"Gimana rasanya kabur? Enak?" tanyanya sambil membuka koran.

"Kenapa anak angkat kayak Abang gak bisa nerusin perusahaan Papa?"

Mata pria paruh baya itu melebar. Hampir aja koran yang dia pegang itu diremas. Berangsur ia mencoba untuk kembali tenang.

"Kamu ... udah tau rupanya."

Harja mengerutkan alisnya. Jawaban macam apa ini?

"Kasih Harja alasan kenapa Papa gak ngebiarin Abang nerusin perusahaan?"

"Menurut kamu apa?"

"Papa!" Harja mengepalkan tangannya erat.

"Menurut kamu Papa mau ngebiarin orang yang gak punya hubungan darah sama Papa nerusin apa yang udah Papa bangun dari nol?"

Harja tidak habis pikir dengan jalan pikiran lelaki 47 tahun itu. Sedangkal itukah alasannya? Kalau seperti ini ujungnya, kenapa dulu Helga harus diadopsi?

"Pantes Mama sering ngeluh setiap Papa ada masalah kerjaan."

"Gak usah bawa-bawa Mama!!" bentak pria itu sambil bangkit dari duduknya.

"Papa tau apa soal Mama?!" Pria itu terdiam. "Papa dari dulu sibuk kerja, lembur gak tau jam, pulang cuma ngelampiasin capeknya doang. Jadi, Papa tau apa soal Mama?"

Pria itu mengenggam tangannya kuat-kuat. Matanya menatap nanar bocah di depannya.

"Papa tau kalau Mama cemas sama Papa tiap malem? Papa tau Mama gimana ribetnya waktu ngasuh Harja sama Abang? Enggak, 'kan?" Mata Harja mulai berkaca-kaca. Terngiang sosok wanita berparas lembut pemilik tangan hangat yang selalu menggenggam tangannya dulu.

"Harja pengen jadi arsitek, Pa. Harja lebih milih pusing karena bikin denah dari pada tumpukan dokumen. Dari dulu Mama selalu dukung cita-cita Harja. Sebelumnya, Papa tau cita-cita Harja apa? Hobi Harja apa? Papa cuma tau soal nyari duit. Tanpa tau soal perasaan kita bertiga."

Bak tamparan keras, kini pria itu mengendurkan tangannya. Air matanya terjun ke pipi. Bibirnya sedikit bergetar. Hatinya terasa nyeri, ada perasaan bersalah sedang merangkul pundaknya.

"Bang Helga itu juga anak Papa. Kenapa Papa tega kayak gini ke Bang Helga? Bang Helga salah apa? Harja yakin mana tega Bang Helga buat bentak Papa? Kalau tega, ngapain Bang Helga rela buat sekolah sambil kerja sambilan sampai bisa kos sendiri tanpa Papa tau?"

Mata Tuan Haris bergerak abstrak. Seperti tidak percaya keadaan bisa sekacau ini.

"Pa, Harja minta tolong. Stop, Pa. Stop buat jadi gak adil antara Harja sama Abang."

Lutut Tuan Haris melemas. Merubuhkan tubuhnya di sofa. Harja hanya menatap pria di depannya dengan sendu.

"Sebelum Papa bikin keputusan, Harja harap Papa baca ini dulu sebelum nyesel."

Harja menaruh dua amplop biru di atas meja. Setelah itu kakinya melangkah pergi. Meninggalkan Tuan Haris yang masih terduduk di sofa dengan pikiran yang mungkin sangat berantakan.

[]

SUMMER HOLIDAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang