Dua cangkir latte dan americano masih mengepul di atas meja. Keduanya masih saling diam dibungkam canggung. Harus menyapa bagaimana? Pertanyaan itu yang muncul dalam benak masing-masing.
"Maaf," ucap Haris pada akhirnya. Helga menatap ayahnya kaget. Berakhir gelagapan sendiri. Ingin menyangkal, tapi kata itu yang ingin ia dengar saat ini.
"Maaf Papa sempat gak peduli sama kamu." Matanya mulai berair. Helga segera meraih tangan ayahnya. "Papa jahat banget sama kamu." Akhirnya air mata itu menetes.
"Papa nggak salah kok. Helga tau Papa sibuk karena nyari uang buat biaya kuliah Harja."
"Enggak, Papa udah telantarin kamu selama ini. Harusnya Papa merawat kamu, sama seperti janji Papa dulu saat di panti asuhan."
"Helga gak kenapa-kenapa kok, Pa. Justru sekarang Helga semakin mandiri."
Haris ngusap air matanya. "Harja dimana? Semalaman dia gak pulang."
Bayangan Haris soal kontrakan kumuh itu sirna gitu aja. Rumah satu tingkat dengan halaman luas yang hijau membungkam mulutnya seketika. Pikiran soal hidup anaknya yang tak layak itu hilang dibawa angin.
"Masuk, Pa," ajak Helga sambil membuka pintu rumah.
"Abang—" langkah Harja yang girang itu berhenti seketika. Bahkan ekspresi riang itu hilang gitu aja. "Ngapain Papa kesini?"
Haris langsung mendekati Harja dan memeluk anaknya itu erat. Awalnya yang dipeluk tidak membalas pelukannya, malah menatap bingung Helga.
"Maafin Papa, ya?"
Kata maaf itu yang sukses bikin Harja menarik tangannya. Perlahan ia mengusap punggung lebar itu. Hingga kelopaknya tak mampu membendung air mata, Harja menangis di pundah Haris. Helga segera meletakkan tasnya dan ikut memeluk mereka berdua.
"Papa sayang kalian," ucap Haris lirih.
Haris melepas pelukannya. Menatap kedua lelaki muda di depannya. Bibirnya mengulas senyum. Tidak sadar, ternyata anak-anaknya sudah sebesar ini. Seperti baru kemarin Haris melihat mereka bertengkar karena robot mainan.
"Jadi gimana, Pa? Masih maksa Harja buat nerusin perusahaan?"
"Masih."
"Lho, kok—"
"Terusin perusahaan kamu sendiri." Harja bernapas lega. Akhirnya Haris mengerti maunya. "Kenapa kalian gak bilang kalau dapat surat dari Mama?"
"Kan rahasia, jadi gak ada yang bilang," jawab Harja.
"Siapa yang ngasih tau duluan?"
"Abang."
"Kamu kalah!" Haris menarik tangan Harja kemudian diangkat tinggi sambil bersorak riang. Helga yang dituduh kalah langsung pura-pura cemberut.
"Ah, sudah lama Papa gak bercanda sama kalian," ucap Haris sambil mengistirahatkan punggungnya di sofa. "Kalian, harus sering ke rumah. Gak kangen makan malam bareng?"
"Harja sibuk, Pa. Tugas kuliah banyak."
"Gak usah bohong, kampus kamu aja lagi libur." Harja nyengir nanggepin ucapan Haris.
"Kamu, Helga, betah tinggal di sini?"
Helga ngangguk, "Betah kok Pa."
"Minta nomer yang punya kontrakan."
"Untuk?"
"Papa beli asetnya."
"Widih! Papa ngegas banget langsung mau beli!" seru Harja sambil tepuk tangan.
"Hitung-hitung hadiah dari Papa."
"Beneran Pa?" tanya Helga gak percaya.
"Beneran. Sini kasih ke Papa. Nanti Papa telpon orangnya."
Setelah Helga ngirim nomor ke ponsel Haris, kini giliran Harja yang ditatap lekat oleh ayahnya. Wajah Harja sudah berseri duluan, padahal belum ditawari apa-apa oleh Haris.
"Kamu ... kuliah aja yang rajin."
Helga langsung ketawa lepas, sedangkan Harja sukses merengut sambil menarik tangan Haris. "Papa, Harja juga mau beli motor."
"Itu punya siapa di depan?"
"Punya temen haris. Mau dibeli, Pa?"
"Ngapai ? IPK tinggi dulu, baru Papa beliin baru!"
Sepertinya hari ini memang khusus merayakan hubungan Haris dengan Helga yang kembali baik. Harja mengemasi barangnya dan bersiap kembali ke kosan. Haris berpamit kepada keduanya sebelum mobil hitam itu membawa pergi kembali ke perusahaan.
"Gue balik ya, Bang?" pamit Harja dengan senyuman yang lebar sambil mengulurkan tangannya.
Alih-alih menjabat tangan, Helga memeluk adiknya itu sambil berbisik terimakasih. Harja menepuk punggung Helga dan melepaskan pelukannya.
"Hati-hati ya lo," ucap Helga sebelum Harja melajukan motornya.
*
Gue sedang asik duduk di ruang tengah lantai 2. Bareng sama Candra yang asik main pabji. Ngomel mulu dia astaga, capek kuping gue dengerinnya. Kemudian samar-samar gue denger suara motor dari garasi. Ah, paling Jilian balik dari supermarket. Soalnya dia sempat kesel dalemannya ilang di laundry.
Dari sini pula, teriakan manusia di bawah—terutama Jilian yang udah balik dari supermarket—sedang meneriaki nama Harja. Candra yang denger langsung naruh ponselnya dan gue ditinggal gitu aja.
Bisa gue lihat dari ujung tangga bawah, Harja tenggelem dipelukin 6 cowok. Harja aja tenggelem, apa lagi Jovian.
"Udah udah woy, pengap banget ini!" teriak Harja di sana. Tapi pada gak mau dengerin.
"Eh, kaki gue!!" teriak Jovian.
"Lepas woy astaga!" teriak Dito.
Semuanya ngelepas pelukan erat itu. Sekarang giliran Dito yang ngadep ke Harja.
"Bang, motor gue gimana? Aman? Sehat? Udah dikasih makan belom?" tanya Dito harap-harap cemas.
"Noh, tinggal kuncinya doang!" jawab Harja sambil ngelempar kunci motornya. Dito langsung mewek, tapi malah diketawain. Kasihan.
*
"Kemana lo, Dit?" tanya Bagas yang asik goleran di karpet ruang tengah bareng Harja.
"Mau benerin motor."
"Balik bawain oleh-oleh ya."
"Iya santai, nanti gw bawain rantai biar lo punya kalung baru."
Muka Bagas langsung berubah masem. Dito cabut ke garasi dan bawa motornya ke bengkel biasa. Niatnya sih cuma mau ngecek apa yang kurang dari motornya. Selain karena khawatir habis dibawa Harja, ya karena hari ini jadwal check-up motornya.
"Sehat ini, Dit. Mau lo apain lagi?" tanya Oza.
"Apain dah, biar ganteng motor gue itu." Dito jawabin masih sambil main ponsel.
"Tunggu sini dah. Gue kasih full service," ucap Oza kemudian.
"Diskon yak, Za?"
"Boleh." Wajah Dito berubah cerah. "Boleh kalau muka lo gue pajang jadi banned customer di seluruh bengkel." Senyuman imut Dito ilang seketika. Sial, Oza gak sebegini ngeselin padahal biasanya.
"Motor ganteng kok diskonan," ucap cewek yang baru aja duduk di samping Dito.
"A-Artha?" Mata Dito sukses melebar menatap sosok di sampingnya.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
SUMMER HOLIDAY
FanfictionMungkin kalau bukan karena Mama yang harus pergi ke luar kota sama Papa, gue gak akan dateng ke Jakarta. Mungkin juga kalau bukan karena Tante Tiara yang punya anak banyak, gue gak akan berdiri di depan kosan terbesar di komplek ini. Sayangnya, kata...