Taman universitas yang asing itu udah sepi. Bahkan lampu gak bisa nerangin seluruh sudut kampusnya. Ditemani lampu kuning, Harja duduk di bangku taman sambil terus gerakin kakinya. Berkali-kali nyoba buat nelpon seseorang. Sayangnya berkali-kali pula panggilannya gak dijawab.
Awalnya bertekad buat di sini sampai pagi, gak peduli gimana gembelnya dia besok di antara mahasiswa yang udah dandan ke kampus. Tapi untunglah akhirnya nada sambung itu berganti ucapan halo dan seketika itu juga Harja melempar tubuhnya bangkit dan memilih untuk mondar-mandir sambil berbicara.
"Abang dimana? Gue di taman kampus. Abang di kampus kan? Tolong, temuin Harja sekali aja."
"Lo ... sama Papa?"
"Enggak, Harja sendirian."
Ada jeda sebelum jawaban setuju itu diluncurkan. Harja bernapas lega, rencana pertamanya berhasil. Akhirnya dia bisa meyakinkan Helga buat ketemu. Langkah mondar-mandir itu berganti dengan jalan cepat menuju manusia berkacamata yang jalan mendekat.
"Abang!" panggil Harja kemudian memeluk Helga. "Abang baik-baik aja, 'kan?"
Helga cuma ngangguk kemudian ngelepas pelukan Harja. "Ada perlu apa?"
Harja ngambil tangan Helga dan genggam erat-erat. "Tolongin Harja, Bang. Harja gak mau dipaksa buat nerusin perusahaan. Harja mau kerja sesuai sama minat Harja. Bantu Harja buat ngeyakinin ke Papa kalau Abang mampu nerusin," pinta Harja.
Helga hanya bereaksi diam sambil terus menatap rumput. Seakan gak denger Harja ngomong apa.
"Bang, tolong. Harja capek harus ngehindar dari Papa terus."
"Gue ... bukan kakak kandung lo."
Pandangan Harja berubah kosong. Bibirnya menganga, otaknya berputar. "Maksudnya?"
"Papa gak mau gue yang nerusin karena gue bukan anak kandung Papa."
Seketika Harja mengalihkan pandangannya. Apa lagi ini? Masalah macam apa yang gue hadapi sekarang? Maksud Abang apa? Kenapa gue gak tau soal ini?
"Abang gak bercanda kan?" tanya Harja dengan suara yang getir.
"Ternyata kita semua sukses buat jaga rahasia ini," ucap Helga kemudian.
Kita? Kita siapa?
"Mama, Papa, dan gue. Kita sukses buat jaga rahasia ini sampai beberapa detik yang lalu." Helga memijat pelipisnya.
"Kenapa nyangkutin Mama?"
Malam itu rasanya makin gelap dari biasanya. Lampu di samping bangku taman aja gak cukup buat nerangin apa yang terjadi malam ini. Dua manusia yang faktanya tidak terikat darah itu sedang duduk bersandingan. Yang lebih muda masih diam, mewaraskan pikirannya, meminta dirinya menerima kenyataan. Sedangkan yang lebih tua menunggu yang lebih muda untuk siap menerima penjelasan.
"Harja ... gak ngerti." Rasanya otak Harja terombang ambing. Seperti dilempar ke atas kemudian dibanting keras-keras. Seperti di ayunkan kemudian dibenturkan. Sepening itu.
"Gue nunggu lo buat siap dengerin semuanya. Emosi lo mudah meledak di saat yang kayak gini." Helga menghela napasnya.
"Jelasin, Bang."
Ada sedikit jeda sebelum menjawab. Menimang dari mana dulu untuk memulai. Harja menatap pria di depannya intens.
"Dulu gue tinggal di panti asuhan. Gue termasuk golongan terpintar di sana. Tanggal 26 Agustus, sehari setelah ulang tahun gue, Mama sama Papa dateng ke panti asuhan. Bunda bilang kalau mereka pengen adopsi gue. Alasannya, karena Mama gak bisa hamil setelah 2 tahun nikah. Mungkin dengan adanya gue, Mama bisa cepet-cepet hamil.
"Papa awalnya gak setuju dengan keputusan Mama buat adopsi gue. Tapi karena Mama ngerayu Papa, akhirnya Papa luluh juga. Gue diadopsi dan keluar dari panti hari itu juga.
"Seperti yang Mama bilang. Adanya gue di keluarga mereka, setahun kemudian Mama hamil elo. Bisa gue lihat mereka bahagia banget akhirnya bisa punya keturunan. Sayang mereka ke gue gak luntur sama sekali.
"Sejak tanggal 5 Februari 2006, sayang Papa ke gue langsung hilang gitu aja. Dikubur bersama Mama. Papa menjadi gak peduli sama gue. Bahkan ketika gue sakit Papa cuma nyuruh bibi buat beliin gue obat. Papa semakin gila kerja buat ngembangin perusahaannya yang saat itu agak turun.
"Diem-diem gue nyari kerja sampingan. Pulang malem, ngerjain tugas sampai rela tidur di jam istirahat, dan akhirnya gue berhasil ngekos dengan uang gue sendiri. Papa gak tau soal itu. Yang Papa tau cuma gue selalu dapet rangking bagus di sekolah dan uang sekolah gue aman, selebihnya apa kata gue mau apa. Gue sadar, bukan keinginan dia buat angkat gue sebagai anak. Bagi dia, gue cuma orang asing yang numpang dan dia merasa memiliki tanggungan finansial karena nampung gue."
Harja memijat pelipisnya. Kepalanya mendadak pening. Merasa gak percaya sama semua cerita Helga. Banyak banget pertanyaan yang mau dilepar ke Helga. Tapi dia tahan dulu. Menunggu yang lebih tua membereskan sisa ceritanya.
*
Suasana kosan udah sedikit normal. Jilian udah balik nyanyi sambil main gitar di teras. Jovian sama Dito asik nontonin TV. Candra lagi sibuk main game di kamarnya. Gue yang lagi asik makanin buah apel harus tergusur karena Yudhis katanya pengen masak. Padahal jam makan malem udah lewat, tapi katanya mau bikin midnight snack. Diladenin aja, siapa tau ngelepas jenuh dengan cara yang kayak gitu.
Bagas yang baru keluar dari kamar langsung nyerondol Yudhis buat jalan ke kulkas ambil minum. Baru aja mau neguk, ponselnya bunyi. Ada nomer gak di kenal lagi yang telpon dia.
"Kayaknya gue malem ini gak bisa balik ke kosan. Mission impossible-nya makin impossible. Bilangin anak-anak jangan pada khawatir, gue sama Abang gue kok." Gitu katanya tadi.
Setelah panggilannya berakhir, Bagas nyampein apa yang dibilang sama Harja. Semuanya bernapas lega. Setidaknya Harja ngasih tau keadaan dia gimana saat ini. Dari semua kelegaan ini, Dito malah pengen nangis.
"Udah, lo gak usah sedih, Bang. Harja sama Abangnya kok. Dia bakal baik- baik aja," ucap gue sambil nepuk punggung Dito.
"Iya, Harja bakal baik-baik aja. Tapi motor gue gimana? Gue cabut naik apa?"
Semuanya berakhir ketawa. Sedangkan Dito mukanya makin kusut. Jilian yang tau Dito kayak gitu malah didusel trus diketekin sampe Jovian sama Bagas ikut-ikutan.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
SUMMER HOLIDAY
FanfictionMungkin kalau bukan karena Mama yang harus pergi ke luar kota sama Papa, gue gak akan dateng ke Jakarta. Mungkin juga kalau bukan karena Tante Tiara yang punya anak banyak, gue gak akan berdiri di depan kosan terbesar di komplek ini. Sayangnya, kata...