78. Tangis Bina

5.9K 547 16
                                    

Aksa POV

Aku setengah berlari setelah sampai di rumah sakit yang Aya berikan alamatnya. "Bos" teriak Aya di depan ruang UGD.

Aku masuk ke dalam, sudah ada banyak tangis di sana. Tante Kanya yang selalu terlihat ceria. Hari ini beliau sangat rapuh. Jilbabnya sudah basah air mata. Tangisnya masih mengalir. Sama dengan utinya Bina. Terlihat kuat, namun rapuhnya masih nampak.

Aku memejamkan mata melihat Bina menangis. Seperti beberapa tahun lalu saat dokter Araf pergi. Aku ingin mendekat memeluknya, tapi ku urungkan.

Di sana yang terlihat paling tegar hanya Om Arya. Memeluk istrinya dengan sabar.

"Bapaaakkkk" tante Kanya berteriak histeris. Aku langsung berlari mencari dokter.

"Akung jahat, akung jahat" Bina terus meraung.

"Kalau bapak pergi, ibu sudah ikhlas. Bapak sudah nggak sakit." Air mataku ikut jatuh. Mengikhlaskan bukan hal yang mudah saat ini.

"Bapak kenapa tinggal in Kanya Pak." Tante Kanya terus meracau memanggil ayahnya. Alat kejut jantung tidak membantu sama sekali.

Aya memeluk Uti yang histeris. Aku berjalan memeluk Bina.

"Akung jahat Kak, akung jahat." Bina memukul dadaku. Tangisnya tumpah di doreng kebangganku.

"Istigfar Bin, ikhlaskan akung. Supaya jalannya mudah." Aku mengusap air matanya.

Cukup lama menangis, tante Kanya pingsan. Bina masih kuat berdiri, tapi lemas. Aku terus menahan bobot tubuhnya agar tidak terjatuh.

"Yang kuat ya Sayang. Ikhlaskan Kakung, Kakung sudah tenang bersama Allah. Sudah nggak sakit." Ucapku menahan sesak di dada.

"Akung jahat Kak, katanya mau datang ke wisudaku. Katanya mau datang kalau aku nikah. Tapi Kakung jahat, Kakung jahat."

Aku melihat Uti yang sudah begitu tegar, membaca ayat demi ayat Al Quran di samping suami tercintanya.

"Bin, manusia cuman bisa berencana. Tapi kuasa Allah itu yang utama. Berhenti menangis ya, jangan memberatkan akung." Bina mengangguk.

Perjalanan ke rumah duka sangat berbeda. Tante Kanya, Om Arya dan Uti bersama rombongan ambulance. Aku masih memeluk Bina di belakang. Matanya terpejam, tapi tangis sesenggukannya masih jelas. Aya memang sahabat terbaik Bina.

Apapun suasananya ia tetap setia mendampingi Bina. Rencananya, sore nanti Jenazah akan di terbangkan ke Jogja. Sesuai permintaan terakhir akungnya Bina.

Aku menuntun Bina naik ke atas. Bersama Aya tentunya. Bina terduduk lesu di kamar, bersandar pada bahu Aya.

"Bin, berhenti menangis ya." Dia hanya mengangguk palsu. Buktinya, air matanya menetes begitu deras.

"Kuat, untuk mama dan Uti ya. Jangan nangis lagi ya. Sudah cukup, jangan beratkan jalan Akung ya Bin." Dia mengangguk. Memelukku sekali lagi dengan tangis yang makin menjadi.

Aku mengusap punggungnya. "Kuat ya sayang" dia mengangguk. Pelukan kami terurai. Aku mengusap sisa air matanya. "Saya turun dulu, kamu siap-siap ya." Dia mengangguk.

Aku turun, ikut menyolatkan jenazah. Uti Bina benar-benar kuat. Tidak ada tangis lagi di mata beliau.

Tante Kanya masih sama seperti tadi. Tangisnya masih jelas terlihat. Bedanya kini yang menenangkan bukan Om Arya. Tapi wanita seusianya. Mungkin kerabatnya.

Silent Love 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang