54. Terus Terang

6.3K 581 28
                                    

Aksa POV

Aku menggeliat, meregangkan otot-ototku yang kaku karena tertidur di kursi. Aku tersenyum melihat siapa yang ada di depanku.

"Belum tidur Ma?" Erma masih begitu serius memandang layar laptopnya.

"Eh bos bangun. Masih banyak tugas nih Bos. Makasih ya udah di izin in pakai wifi sini. Di kos ga ada soalnya."

"Santai saja, Bina pulang jam berapa ?" Erma melihat jam dinding di atasnya. Menunjukkan pukul sepuluh lebih tiga puluh dua menit.

"Tadi jam sepuluhan kurang dikit sih bos." Aku mengangguk.

Aku bangkit dan mengambil segelas air putih. Termenung menatap bunga-bunga di depanku yang tampak indah.

Bunda dan tantenya pasti merawat mereka dengan baik. Sedangkan aku malah dengan santainya tidak pernah merawat dan membesarkannya.

Aku selalu berharap dan berdoa untuk di tempatkan di tempat yang tidak jauh dari Jogja. Tetapi rasanya tidak mungkin. Setelah praspa aku akan latihan kecabangan dan masih banyak hal yang lain.

Memandang Bina yang pulas sesekali, aku mengambil jaket yang ada di mobil. Menyampirkan ke bahunya. Bina terlihat begitu cantik saat tidur.

Wajahnya putih alami tanpa polesan make up. Tidak ada perona pipi atau alis buatan. Hanya lipstik berwarna natural yang menemani hari-harinya.

Selama aku mengenalnya dia hanya dua kali ganti parfum. Aku selalu mencium bau vanila dan minyak telon dari harum badannya.

Dia perempuan sederhana di tengah kekayaannya. Kalian tentu tahu, pekerjaan orang tuanya. Dan lagi, penghasilan dari Calla saat ini sudah begitu cukup. Bahkan lebih untuk sekedar membeli perhiasan. Atau barang-barang yang di sukai banyak perempuan.

Dia hanya memakai anting pemberian mamanya. Dan aku tersenyum saat melihat kalung yang menghiasi lehernya. Di sana ada juga ada cincin yang ku berikan saat dulu masih SMA. Untuk kado ulang tahun kalau tidak salah.

Bina juga buka tipe perempuan yang boros. Saat ini, waktu banyak ia habiskan di sini. Jarang pergi ke mall atau shoping ala anak-anak jaman sekarang.

Shopingnya Bina seminggu sekali, di Malioboro. Membeli perlengkapan di toko Liman. Itu kebiasaannya selama ini.

Bina di rumah juga jarang, hanya malam hari ketika sudah pulang. Dia pekerja keras.

Aku kembali duduk mengetikkan sesuatu di ponselku. Tak lama nada tunggu pun terdengar.

"Halo a' ada apa malam-malam nelfon"

"Maaf Ndi, saya tidak bisa ajak kamu ke pesta korps. Ada hati lain yang akan saya jaga. Jangan berharap lebih sama saya Ndi. Saya tidak ada perasaan apapun sama kamu. Saya peduli hanya sebatas kasihan sama kamu. Berhenti berharap sama saya. Tentang Bina nanti jadi apa. Cukup dia menjadi orang yang menemani saya berjuang. Dari saya yang masih belum jadi apa-apa sampai saya jadi yang sekarang. Jadi apapun nanti, dia akan menjadi dirinya sendiri Ndi. Bukan orang lain,dia perempuan baik-baik yang saya kenal. Bahkan saya mengenalnya lebih dalam. Di banding saya mengenal kamu. Dan satu hal lagi Ndi, jangan jadikan penyakit kamu sebagai ancaman untuk siapapun. Termasuk orang tua kamu. Apalagi untuk saya. Kamu tahu apa yang terbaik untuk kamu sendiri. Saya cuma mau menyampaikan itu. Maaf menjadi laki-laki tidak gentle, berbicara lewat telepon. Tapi saya sudah jengah dengan kamu Ndi, kamu sudah bukan Indira yang saya kenal dulu. Saya sudah tidak bisa menahan untuk mengatakan ini. Jika memang kamu ingin benar-benar merasakan rasanya ikut ke pesta korps, saya bisa bantu kamu lewar Abed. Assalamu'alaikum"

"Tapi a'" aku segera mematikan panggilannya. Aku melirik ke arah Erma yang menatapku berkaca-kaca.

"Kamu kenapa Ma?" Tanyaku.

Silent Love 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang