“Ada apa Dev?” tanyaku ingin tau tujuan Deva datang ke rumah.
“Mau main aja Fy” jawab Deva sambil melihat papa. Aku seketika juga jadi melihat kearah papa. Suasananya menjadi aneh. Sebenarnya aku sudah berteman dari lahir sama Deva karna Ayah Deva juga bekerja di perusahaan yang sama seperti papa dan kami juga tinggal di perumahan yang sama. Aku dan Deva juga selalu satu sekolah. Bisa dibilang Deva itu satu satunya temenku disini.
“Oohh...main aja?” kataku kemudian.
“Iya main aja kan besok libur” kata Deva yang lagi lagi kembali melihat papa.
Sebenarnya Deva main ke rumahku itu hal yang sangat wajar karna sudah ratusan kali Deva main ke rumahku hanya untuk main, ngobrol, nonton film dan melakukan hal lainnya. Namun kali ini kurasa kedatangannya sedikit aneh. Seperti ada yang ingin Deva katakan padaku dan hanya antara aku dan Deva.
“Khaliiff....!!!” teriakku.
“Ambilin minum Kak Deva dooonggg!!!” teriakku lagi.
“YAAAAAAA!!!” jawab Khalif dari kamarnya.
Papa yang mengerti kode dari Deva akhirnya berdiri dan beranjak pergi.
“Papa tinggal ke kamar dulu ya. Mau lanjut ngerjain tugas kantor” kata papa. Aku tersenyum mengiyakan.
“Deva, om tinggal dulu ya?” pamit papa ke Deva.
“Baik om” jawab Deva. Kemudian Deva berdiri dan berpindah duduk disampingku. Papa yang masih memperhatikan aku dan Deva dari balik pintu kamarnyapun tersenyum melihat perpindahan tempat duduk Deva. Aku yang dari tadi penasaran dengan tujuan Deva datang ke rumah segera mempertanyakannya.
“Ada apa sih Dev?” tanyaku. Belum sempat Deva menjawab tiba tiba Khalif datang membawa minuman untuk Deva dan duduk ditengah diantara aku dan Deva. Deva mendengus putus asa saat Khalif duduk diantara kami.
“Liiiff....Apaan deh....Belajar aja sana kamuuu” kataku kesal.
“Entar ah Khalif nunggu mama pulang dulu bawa makanan” jawab Khalif tanpa melihatku.
“Mama pulang jam berapa? Kakak nitip dong, beliin martabak” kataku semangat.
“Oke” kata Khalif sambil membentuk tanda oke dengan tangannya. Papa yang masih memperhatikan kami hanya tertawa dengan tingkah Khalif yang kemudian papa benar benar masuk ke kamarnya dan berhenti memperhatikan kami.
“Kak Deva, kita main PS yuk?” ajak Khalif.
“E...ee” Deva bingung dan kemudian melihatku.
“Lif, Kak Deva tu mau ketemu sama Kak Ify dulu. Udaah Khalif main sendiri dulu aja sana” kataku membantu Deva.
“Yee kan mumpung Kak Deva disini jadi Khalif ada temen main. Abis Kak Ify nggak bisa diajak main sih” kata Khalif.
“Iya entaarr” kataku mengharapkan Khalif segera pergi.
“Lagian emang mau ngapain sih? Kan besok libur juga” kata Khalif nggak mau ngalah.
“Iya Fy nggak apa apa. Lagian aku juga cuma mau main aja kok” kata Deva kemudian.
“Yukk Lif” ajak Deva ke Khalif untuk main PS.
“Wleee” ejek Khalif ke aku.
“Heehh” Aku hanya mendengus kesal dan meletakkan kepalaku di sofa. Saat Khalif dan Deva menuju ke ruang keluarga, ada yang mengetuk pintu dan memberi salam. Sudah pasti itu mama yang baru pulang dari kerja.
“Mamaaaa” teriak Khalif menjemput mama dan meninggalkan Deva. Deva hanya tersenyum dan kembali mengikuti Khalif.
“Oohh Deva disini?” tanya mama saat melihat Deva.
“Yaahh mama nggak beliin martabaknya lagi” lanjut mama dengan nada sedih.
“Nggak ada ma Martabaknya?” tanyaku.
“Iyaa....mama tadi tu pas Khalif ngechat udah mau nyampe terus mama ngandelin martabaknya Kang Eko kan. Ehh malah nggak jualan. Terus mama cuma beli makan nasi sama ikan” jelas mama.
“Hmm Deva nggak suka ikan lagi” keluhku.
“Eee....nggak papa kok Fy, nggak papa kok tante. Santai aja tante” kata Deva yang merasa tidak enak terlalu diperhatikan.
“Ma! Ify sama Deva beli nasi goreng di depan aja deh ya ma?” tanyaku memberi solusi. Karna aku yakin Deva juga belum sempat makan dan mana mungkin aku tega meninggalkan Deva untuk makan.
“Ohh yaudah kak” jawab mama mengiyakan sembari memberiku uang untuk membelinya.
“Hati hati ya kak, Deva” kata mama lagi.
“Siap ma” jawabku.
“Oke tante” jawab Deva.
“Yukk Dev” ajakku ke Deva dan berpamitan ke mama. Aku dan Deva mengobrol sepanjang perjalanan ke tempat nasi goreng. Kami memutuskan untuk jalan kaki karna tempatnya tidak terlalu jauh. Sesampainya disana kami memesan 2 nasi goreng.
“Mang, nasi goreng 2 yaa. Biasa” kata Deva.
“Siap Mas Deva” jawab Mang Jai. Mang Jai udah sangat akrab dengan orang orang sekitar perumahan. Apalagi dengan aku dan Deva. Dulu, setiap Deva ulang tahun atau aku yang ulang tahun pasti Deva selalu mentraktirku nasi goreng Mang Jai, dan aku tak pernah mentraktirnya hehe. Mang Jai ini pernah tinggal di Jawa jadi beliau selalu memanggil pembelinya dengan mas dan mbak. Selama aku dan Deva makan, kami tidak mengobrol dan fokus menghabiskan makanan. Seusai makan Deva membayarnya. Hmm lagi dan lagi selalu Deva yang mengeluarkan uang tiap kami makan bersama. Pernah suatu saat aku ingin membayarkan makanannya, namun Deva tak pernah membolehkanku. Dia selalu menegaskan bahwa harus dia yang bayar dan selalu menyuruhku untuk tidak memikirkan masalah itu. Awalnya mungkin aku tidak enak dengan Deva namun lama lama aku senang senang aja ditraktir olehnya. Bahkan setiap ada makanan baru yang ingin kucoba pasti aku mengajak Deva untuk makan bareng di tempat baru tersebut dengan alasan agar aku tidak mengeluarkan uang dan tentu saja Deva tak pernah menolak.
Kita beranjak pergi dari tempat Mang Jai. Aku sangat senang dengan udara malam. Aku sangat menikmatinya. Aku menutup mataku dan dan merasakan hembusan angin malam yang dingin.
“Fy” panggil Deva.
“Hm” jawabku yang masih menutup mataku.
Aku membuka mataku saat aku sadar bahwa aku tak mendengar suara langkah kaki Deva. Dan benar saja, Deva tak ada disampingku. Kemudian aku berbalik dan mendapatinya berdiri 2 meter dibelakangku.
“Kenapa Dev?” tanyaku sambil menghampirinya.
“Gue mau ngomong sesuatu Fy” katanya dengan wajah serius.
“Ngomong aja” kataku sambil deg deg an. Aku sedikit takut dengan apa yang akan dikatakan Deva. Apalagi melihat ekspresinya yang sangat serius dan seperti merasa sulit untuk membicarakannya padaku. Berulang kali Deva menghela nafasnya.
“Kenapa sih Dev? Lo punya penyakit? Lo nggak bakal hidup lama lagi?” tanyaku asal.
“Apaan sih Fy” kata Deva kesal.
“Ya abis lo kaya susah banget gitu mau ngomongnya ke gue” kataku lagi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Deva menutup mata dan menundukkan kepalanya. Aku menghadapkan tubuhku kearahnya dan kini kami saling berhadapan. Aku hanya berdiam melihat kepala Deva. Mungkin ada hal yang sulit untuk dia katakan padaku, sehingga aku memberinya waktu dan menunggunya berbicara.