🐥Fase.9 🐥

124 6 3
                                    


     Alana mengamati tiap sudut ruang kamarnya, semuanya sudah di renofasi sesuai ke inginannya. Mulai dari lemari, maja belajar, sampai dinding di kamarnya. Semua serba pink. Yah ... entah sejak kapan Alana menyukai pink, walaupun terkesan kekanak-kanakan tapi Alana sangat menyukainya.

     Alana menghela nafasnya pelan, ia benar benar lelah memperbaiki kamarnya yang sebelumnya berantakkan.

     Drrrtt...
     Getaran ponsel Alana terdengar hingga melesat masuk ke dalam gendang telinganya. Alana menatap ponselnya dengan jengah.

     "Vano?" Ucapnya,

     Yap, nama Vano yang tertera di layar ponsel Alana. Nama yang beberapa hari belakangan ini membuat jantung Alana sering berdetak dengan cepat bila ada di dekatnya. Alana menggeser gambar gagang telepon berwarna hijau yang tertera di ponselnya.

     "Ya Van?" Ucap Alana saat menghubungkan sambungan telfonnya,

     "Gue ada di depan rumah lo"

     Kedua alis Alana bertautan, baru kali ini Vano datang tanpa memberi kabar padanya. Alana menatap ke arah dirinya di cermin, dia pasti akan terlihat aneh jika keluar mengenakan pakaian berwarna pink.

     "Ngapain?" Tanya Alana dengan nada yang tidak mengenakkan,

     "Nyapu"

     "Ha?"

     "Ya mau ketemu lo lah, cepet keluar"

     Terdengar suara Vano yang memberi perintah, nada Vano saat berbicara seperti mengisyaratkan jika ada hal penting.

     "Tapi gue lagi be..."

     Belum selelai Alana berbicara, sambungan telfon terputus begitu saja, Alana berjalan ke arah balkon di kamarnya untuk memastikan yang Vano katakan benar. Dan benar saja, di sana sudah ada Vano yang berdiri sambil memegang satu paper bag dan tangan satunya melambai ke arahnya, seolah dia tau apa yang akan Alana lakuka.

     Alana segera berlari menuju lemarinya, ia melempar semua pakaian berwarna pink ke atas tempat tidur. Ia tidak mau memakai baju berwarna pink di depan Vano, pasti itu akan terlihat kekanak kanakkan.

     "Kenapa Na?" Tanya sang ibunda saat meletakkan keranjang baju di kamar Alana.

     "Bun, Cariin baju selain warna pink yang masih bersih"

     "Kan semua baju selain warna pink baru bunda kasih ke orang laundry"

     Alana menghela nafas pasrah, ia mengambil jaket di hadapannya lalu segera berjalan sambil memakai jaket itu. Dalam kepalanya muncul berbagai cabang pertanyaan, masih dengan topik yang sama, yaitu kenapa Vano datang ke rumahnya tiba tiba.

     Alana menatap ke arah Vano yang sudah tersenyum padanya. Vano menatap heran dengan pakaian yang Alana kenakan. Rok berwarna putih, dengan atasan yang tertutup jaket membuat kesan aneh, di tambah sepatu yang Alana pakai.

     "Lo sakit?" Tanya Vano,

     "Gue sehat, emang gue kaya orang sakit ya?" Jawab Alana balik bertanya,

     Vano menatap Alana dari atas hingga bawah, ia berniat mengatakan jika penampilan Alana terlihat aneh. Tapi tiba tiba ia berpikir, jika ia mengatakan itu pada Alana, pasti Alana akan merasa malu dan ada kemungkinan besar Alana akan canggung jika bertemu denganya.

     "Mmm.. ngga, lo keliatan sehat, sehat banget"

     "oh ya ayo masuk" Alana berjalan lebih dulu masuk ke dalam halaman rumahnya, sementara Vano mengikuti dari belakang. Tinggal beberapa langkah agar sampai ke dalam rumah, Vano sudah menahan Alana.

     "Kenapa?" Tanya Alana,

     "Gue cuma minta lo pilihin jam mana yang paling lo suka?" Vano membuka dua kotak yang berisi jam di hadapan Alana, membuka seolah tidak mau jam itu tergores sama sekali.

     Jantung Alana kembali berdetak dengan cepat, ia berpikir jika Vano akan memberikan jam itu padanya, seperti apa yang ia dambakan selama berpacaran dengan Daniel,

     "Ini" Alana menunjuk pada Jam bersimbol A yang ada di tangan kanan Vano,

     Vano tersenyum senang, "oke makasih, gue pulang dulu ya" Vano kembali menutup kotak jam itu lalu ia kembali masukan ke dalam paper bag yang ia bawa. Sementara jam yang tidak Alana pilih ia berikan pada Alana.

     Alana diam di tempat, apa yang ia pikirkan tadi tidak sesuai dengan apa yang kenyataannya terjadi.

     "Van bentar Van" Alana berjalan menyusul Vano yang baru akan masuk ke dalam mobilnya,

     "Ya?"

     Alana menyunggingkan senyumnya, "nih bawa aja, kebetulan aku masih ada jam" Alana meletakan jam yang Vano berikan tepat di tangan Vano.

     "Tapi Na?"

     Tak menunggu jawaban dari Vano, Alana sudah kembali masuk ke dalam rumahnya. Alana tidak habis pikir, ternyata seorang Vano bisa mempermainkan hatinya.

***

     Vano terus memikirkan apa yang ia lakukan tadi siang, ia terus berusaha mengulang kejadian itu dalam ingatannya. Menurutnya tidak ada yang salah dengan apa yang ia lakukan, tapi Alana terlihat sangat kesal tadi.

     "Masa dia marah si Za?" Tanya Vano pada Irza yang baru mendaratkan tubuhnya di atas sofa di ruang tamu,

     Irza menoleh ke arah Vano, beberapa kali ia menggelengkan kepalanya pada Vano, "lo itu harusnya paham, cewek kaya Alana itu ngga bisa buat main main. Alana maunya yang pasti"

     "Gue ngga ngerti maksud lo apa"

     "Hadeh, bener kata pak guru orang yang berulah itu bego"

     "Maksud lo apa nyet" Vano melempar Irza menggunakan kulit kacang yang ada di hadapannya. Jika vukan Irza yang mengatakan itu, pasti Vano sudah menyuruhnya keluar dari rumah.

     "Dimana mana yang namanya perempuan dah marah itu pasti ada kesalahan yang terjadi"

     "Sok tau lo, dah gue males ngomongin cewek. Bikin pusing aja" Vano pergi meninggalkan Irza yang masih asik dengan camilan di atas meja.

__________________________
To be continued

METAMORFOSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang