19. Hurts

4.4K 195 22
                                    

Typo bertebaran.
Jangan lupa vomments ya gaiiss.

-------------------------------

Harry's POV

Tak terasa sudah 3 hari aku bekerja di perusahaan milik Si brengsek Louis itu. Tapi sampai saat ini aku belum juga bertemu dengan Hillena.

Aku mulai berpikir bahwa Hillena dikurung oleh Louis dirumahnya. Bagaimana pun juga sifat Louis yang sok berkuasa itu pasti ia pakai untuk berinteraksi dengan Hillena, ya salah satunya dengan mengurung perempuan malang itu disana.

BRUUKK!!

Karena terlalu fokus dengan fikiran di kepalaku, aku sampai tak sadar jika didepanku juga ada yang berlalu lalang.
Alhasil nampan berisi makanan yang kubawa pun bertabrakan dengan salah satu dari orang-orang yang lalu lalang tersebut.

Oh, baiklah. Aku benar-benar ceroboh!

"Gunakan matamu, Bodoh!"

Aku sedikit mendongak untuk melihat siapa yang baru saja kutabrak.

Wanita itu. Jalang mengenaskan milik Louis. Sekretaris tanpa otak. Gwen.

"M-maaf, aku tidak sengaja." jika saja aku sedang tidak dalam penyamaran, aku bersumpah akan meninju wajahnya. Tak perduli ia wanita sekalipun.

"Aku tidak butuh maafmu, dasar tidak berguna." sebelum pergi dari hadapanku, jalang itu, umm maksudku Gwen menendang nampan yang tergeletak dilantai tersebut.

Makan siangku berserakan dimana-mana. Sepertinya setiap bertemu dengannya akan menjadi hari sial untukku.

Aku berjongkok untuk membersihkan makanan yang berserakan dilantai. Tak memperdulikan tatapan jijik dari beberapa pegawai kantor yang berada dikantin ini.

"Biar kubantu,"

Aku mendongak saat suara yang sangat familiar ditelingaku terdengar begitu jelas.

Ya tuhan, manik biru itu. Dia berada dihadapanku sekarang. Wanitaku. Hillena.

"Hello??" aku langsung tersadar saat Hillena melambai-lambaikan tangannya didepan wajahku. Membawaku kembali pada realita.

"Engh, I-iya... " balasku dengan nada gugup. Menatap Hillena yang kini berjongkok dihadapanku. Membuat posisi kami sejajar.

"Kau tak apa? Biar ku bantu bersihkan." aku tersenyum lalu menggeleng pelan menolak kebaikan yang ia berikan.

Lihatlah. Ia benar-benar seperti malaikat dalam wujud nyata. Dia selalu bersikap dan berkata lembut pada siapapun. Dan itu yang membuatku sangat mencintainya.

"Apa kau yakin?" tanya Hillena memastikan.
Aku tak kuasa mendengar suara indahnya. Dan bibir itu, salah satu yang aku rindukan dari banyaknya bagian pada diri Hillena.

STOCKHOLM SYNDROME x (H.S) (B.P)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang