Sejak kapan perpisahan menjadi menyenangkan?
.Bagas melihat para mahasiswa baru yang tengah memasuki gerbang kampusnya. Dengan penampilan persis saat ia Masa Orientasi di SMA dulu, dengan topi kerucut berhias rafia, papan nama dengan panggilan aneh seperti 'Bunglon, Bajaj, Apel' dan sebagainya, serta baju hitam-putih. Bagas mengira kalau Chelsea melihat penampilannya sekarang, gadis itu pasti sudah tertawa terbahak dan tanpa henti menyibirnya. Tadi pagi saja, gadis itu sudah minta di kirimi foto penampilan Bagas yang tentu di tolak mentah-mentah. Melanjutkan langkahnya, Bagas turut dalam serentetan acara pagi itu, mulai dari upacara pembukaan, pembagian kelompok, hingga tugas pertama.
Bagas memakan jatah makan siangnya dengan santai. Ia melihat sekeliling sekilas dan mengabaikan beberapa perempuan yang sengaja mencuri pandang ke arahnya. Mulutnya sibuk mengunyah semangka dan tidak tertarik bergabung bersama teman-temannya yang lain tengah saling berkenalan dan mengobrol. Pria itu nyaman dengan dirinya sendiri.
"Gas! Mau semangka gue, gak?" suara Diffa mengambil alih perhatian Bagas. Pria itu mengangguk dan mengambil semangka milik Diffa. Setidaknya, ia berada di kampus dan jurusan yang sama bersama Diffa saat ini dan kelompok sahabatnya itu bahkan berada di samoing kelompok Bagas. Hal itu membuat Bagas dua kali lebih baik tanpa harus mengambil langkah berdialog dengan anak lain.
"Gas, Chelsea udah sampai di Melbourne?" pertanyaan Diffa membuat Bagas menghentikan gerakan mulutnya yang sedang mengunyah semangka milik Diffa.
"Udah dari kemarin." jawab Bagas singkat
"Udah ngabarin lo berarti?"
"Udah. Udah pakai nomor luar negeri dia. Pamer foto." balas Bagas membuat Diffa terkekeh. Mereka menutup obrolan ketika mendengar intruksi bahwa jam makan siang telah berakhir dan mengharuskan mereka kembali ke kelompok masing-masing.
Bagas mengikuti kegiatan hari itu tanpa masalah. Ia berjalan menuju parkiran untuk bergegas pulang ketika seorang gadis menahan lengannya.
"Bagas, aku Shila, wali kelompok kamu. Aku dengar kamu bisa bernyanyi, apa kamu bisa mewakili kelompok kita untuk tampil besok?" tanya Shila
"Maaf Kak. Gak bisa." jawab Bagas
"Tunggu! Aku mohon... Aku tidak tahu harus membawa siapa untuk penampilan besok." ujar Shila kembali menahan lengan Bagas.
"Kenapa Kakak gak nanya sama yang lain? Aku tahu pasti ada yang menginginkan peran itu. Aku gak bisa, Kak. Maaf." ujar Bagas melepas genggaman tangan Shila dan mulai menaiki motornya. Pamit, lantas meninggalkan pelataran parkir.
Bagas mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Ia jelas tahu ada binar ketertarikan pada Shila. Dan Bagas serta Chelsea sudah membicarakan risiko hubungan jarak jauh ini. Terlebih dengan wajah cantik Chelsea dan prestasi gadis itu. Bagas bisa menebak akan banyak lelaki yang mendekati kekasihnya tersebut. Bahkan di sini saja, Bagas bisa merasakan berapa banyak gadis yang tertarik kepadanya. Oh! Ayolah... Bagas bukan terlalu percaya diri, tapi para gadis itu tidak bisa menyembunyikan ketertarikan mereka. Padahal Bagas mengira ia tidak cukup tampan di universitas sebesar itu hingga menjadi pusat perhatian. Bahkan penampilannya sekarang sangat biasa. Ia sendiri bingung, dari mana mereka melihat Bagas hingga bisa membuat tertarik. Dan belum apa-apa saja, hubungan jarak jauh ini sudah bisa Bagas tebak akan begitu melelahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCENE
Fanfictionscene: kb. 1 pemandangan. 2 adegan (of a play). 3 kancah (of disturbances). 4 tempat. 5 suasana, iklim. 6 gaduh, rewel . [ketika rasa sakit di anggap lelucon oleh beberapa orang] kadang kita menganggap diri kita satu-satunya, tapi sebenarnya, bisa...