Rasa

178 13 0
                                    

"Kak Bagas!" Bagas dan Diffa menoleh setelah mendengar panggilan tersebut. Mereka bisa melihat Angel dengan seragam sekolah tersenyum ke arah keduanya. Bagas tersenyum. Entah kenapa ia mendadak nyaman dengan kehadiran gadis itu. Melupakan fakta bahwa beberapa menit yang lalu ia menghabiskan waktu dengan Marsha dan Diffa soal perasaannya. Bagas mengatakan kepada Diffa untuk pergi lebih dulu, sedangkan ia berjalan ke mendekati Angel.

"Lo kenapa di sini?" tanya Bagas

"Aku ingat kalau Kak Bagas hari ini kuliah sampai sore, kan? Untuk persiapan ujian akhir. Makanya aku beli makanan, supaya Kakak gak telat makan." Angel menyodorkan paper bag ke arah Bagas. Mendapat perhatian semacam itu membuat Bagas tersenyum.

"Makasih ya, Ngel. Tapi gue harus segera masuk kelas." jujur Bagas.

"Oh iya! Gak apa-apa kok, Kak. Aku juga harus segera pulang buat les." ucap Angel.

"Udah mulai ikut les lagi, ya?" tanya Bagas dan di angguki oleh Angel. "Semangat, ya" Bagas mengusap puncak kepala Angel membuat gadis itu merona. Lantas berjalan pergi menuju kelasnya meninggalkan Angel yang masih menarik dua sudut bibirnya ke atas.

Angel tahu bahwa perasaannya akan terbalas suatu hari nanti. Ia hanya perlu berjuang lebih keras untuk bisa memenangkan hati Bagas. Anggaplah ia terobsesi atas keberadaan Bagas dan rasa ingin memilikinya. Tapi, selama dua orang belum terikat hubungan pernikahan, bukankah menjadi hak orang lain untuk memperjuangkan perasaannya? Dan Angel tidak akan pernah menyerah pada perasaannya sebelum Bagas memiliki ikatan dengan siapapun. Kenapa semua orang hanya menyalahkannya? Tidakkah mereka juga memiliki perasaan suka pada setiap yang lain? Bukankah mereka juga ingin bersama seseorang yang mereka cintai? Lantas, kenapa hanya dirinya yang di salahkan?.

Pepatah mengatakan bahwa cinta tidak harus memiliki. Bagi Angel, teori tersebut hanya untuk mereka yang tidak mau berusaha dengan cinta mereka. Orang-orang memilih menyerah setelah mengetahui bahwa perasaannya tidak terbalas. Tapi, bagi Angel, selama orang tersebut sudah kita putuskan, yakin dan pantas untuk di perjuangkan, ia tidak akan menyerah. Setidaknya, ia memiliki waktu bersama orang tersebut, meskipun tidak utuh pada raganya. Bukankah teori cinta tidak harus memiliki adalah perihal esensi raganya? Tubuh orang tersebut? Jadi kenapa kita tidak bisa barang memiliki hatinya?

Menghela napas panjang, Angel masih tersenyum bahkan setelah punggung Bagas menghilang di balik pintu fakultas seni. Gadis itu berbalik arah dan berjalan menuju mobil yang mengantarnya. Mengatakan tujuan ke tempat les.

"Non Angel pacarnya sudah kuliah, ya?" tanya supir yang mengantar Angel

Tanpa menjawab, gadis itu hanya tersenyum. Entah kenapa perasaannya tercubit saat mendengar kata "pacar". Menyadari bahwa ia masih belum menjadi siapa-siapa untuk Bagas selain adik kelas dan teman main. Membayangkannya saja sudah membuat hatinya sakit. Tapi, sekali lagi Angel belum ingin menyerah. Ia sudah berjuang sejauh ini. Sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, Angel menjatuhkan perasaan pada seniornya di tempat les. Bagas yang ramah dan bisa berteman dengan siapapun, jelas berbeda dengannya yang hanya berinteraksi dengan orang-orang yang berada di level yang sama dengannya. Orang tuanya tidak mengajarkannya bersosialisasi dengan sembarang orang. Pertemanan Angel di batasi. Bahkan gadis itu tidak boleh sembarang memilih tempat bermain atau teman main. Semuanya harus satu level dengan mereka. Dan pendidikan itu membentuk Angel menjadi pribadi yang anggun, arrogant, cerdas dan multitalenta. Saat itulah, kepribadian Bagas yang begitu kontras dengannya, justru membuat Angel penasaran dan menginginkan tahu lebih lanjut soal pria itu. Jika biasanya banyak orang akan memuji dan memperlakukan Angel secara istimewa, Bagas memperlakukannya biasa saja bahkan menyamakan perlakuannya dengan yang lain. Bagas Rahman. Pria pertama yang membuat Angel jatuh hati.

Melihat jalanan, Angel menyentuh kaca mobil yang berembun sebab terkena hujan. Perjalanan dari kampus Bagas menuju tempat lesnya memakan waktu hampir 20 menit belum lagi di tambah dengan macet. Arah yang berlawanan, menambah jarak menuju tempat les semakin jauh. Tapi, Angel bahagia. Meskipun harus terjebak macet di tengah-tengah hujan, bertemu dan melihat Bagas jelas memperbaiki perasaannya.

Angel tiba di tempat les kemudia melepas jaket dan menyapa teman satu tempat lesnya sejak dulu, Abi yang sudah sibuk dengan buku tebal di depannya.

"Jangan lupa makan, Bi." ucap Angel sambil meletakkan susu kotak di depan gadis itu. Melihat kedatangan Angel, membuat Abi tersenyum dan segera mengambil susu kotak di atas meja lantas menusuk dan meminum isinya.

"Macet ya? Baru datang." tanya Abi

"Iya. Di tambah hujan tuh."

"Eiy? Hujan? Kok gak denger?" Abi melongok ke luar jendela memastikan kalimat Angel.

"Gimana bisa denger kalau itu mata fokus sama angka-angka ini?" decak Angel membuat Abi terkekeh geli.

"Ketemu Kak Bagas dulu, pasti." ucap Abi

Angel baru akan bercerita namun terpotong oleh kedatangan guru les mereka. Membuat Angel mengode bahwa sepulang nanti ia akan bercerita.

Angel dan Abi kini duduk di kantin tempat les. Hari sudah gelap dengan jalanan basah sehabis hujan. Padahal di kampus Bagas tadi terang bendenderang. Seperti perasaan yang berubah-ubah, cuaca juga berubah.

"Jadi? Gimana Kak Bagas tadi?" tanya Abi sambil memakan mie rebus panas di mangkuknya.

"Dia seneng aku datang. Kelihatan dari wajahnya." senang Angel.

Abi tersenyum, menyeruput minuman di gelasnya sebelum berujar, "Ngel, kamu tahu risiko yang harus kamu tanggung kan dengan mendekati Kak Bagas sekarang?"

"Aku akan di sebut pelakor. Tenang aja, Bi. Aku sudah memikirkan semua itu dari awal." jawab Angel santai membuat Abi menghela napas panjang.

"Kamu gak khawatir?" tanya Abi

"Gini. Sekarang aku tanya, definisi pelakor apa sih? Perebut laki orang. Oke. Laki dalam ikatan seperti apa? Apakah termasuk dalam pacaran? Hei, lelaki yang di miliki perempuan dalam ikatan pacaran itu belum mutlak. Belum suci. Lantas kenapa orang-orang senang memberi label dan mengikat pasangan mereka seolah mereka sudah menjadi dua orang yang sah secara hukum dan agama?" ucap Angek.

"Tapi, bukan berarti kamu harus merebut kebahagiaan orang lain, Ngel."

"Aku tidak merebut kebahagiaan siapapun, Bi. Kalaupun suatu hari Kak Bagas mau bersamaku dan menyakiti Kak Chelsea. Apakah aku merebut kebahagiaan Kak Chelsea? Atau aku justru membebaskan Kak Bagas dari rasa tidak bahagianya?" pertanyaan Angel membuat Abi kembali mengunyak mie dalam mangkuknya. "Orang-orang senang menghakimi perempuan yang menjadi orang ketiga tanpa mau tahu alasan di baliknya. Alasan kenapa si lelaki berselingkuh. Alasan kenapa si lelaki berpaling. Orang-orang tidak mau tahu soal itu. Mereka lebih senang langsung menghakimi orang ketiga dengan sebutan pelakor tanpa mau tahu bahwa bisa jadi perempuan tersebut adalah korban." lanjut Angel.

"Tapi kamu bukan korban, Ngel. Kamu yang terus menerus mengetuk pintu rumah Kak Bagas dan Kak Chelsea." ucap Abi "aku gak bisa menyalahkan kamu soal perasaan yang kamu rasakan ke Kak Bagas. Kamu berhak mencintai siapappuntermasuk Kak Bagas. Dan kamu benar bahwa Kak Bagas dan Kak Chelsea belum terikat hubungan suci yang menjadikan alasan kamu di sebut pelakor. Dan atau teori kamu soal mengambil kebahagiaan juga bisa jadi benar. Tapi, satu hal yang tidak kamu tahu, Ngel. Coba bedakan keinginan memiliki itu, apakah benar ketulusan atau egoisitas saja." lanjut Abi. "Sebab kamu jelas tahu bahwa kamu bisa memiliki sejuta lelaki yang kamu inginkan, tapi tetap mengejar Bagas karena dia berbeda dengan lelaki lainnya. Coba tanyakan, apakah benar kamu tulus dengan perasaanmu yang ingin memilikinya atau terobsesi sebab tidak bisa memiliki pria itu daat harusnya semua pria bisa kamu miliki." tutup Abi membuat Angel tertohok.

Angel menatap jalanan malam, memikirkan kalimat Abi. Seringkali manusia memang terjebak pada perasaannya sendiri hingga tidak bisa bedakan mana perasaan tulus atau sekadar obsesi.

(.)

SCENETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang