Scene (1)

125 13 8
                                    

"Hati-hati dan segera kabari gue begitu sampai di rumah. Mengerti?" ucap Chelsea dan sekali lagi memeluk erat Marsha. Hari ini Marsha akan kembali ke Indonesia. Gadis itu sudah menggerutu dan sesekali menyeka ujung matanya. Marsha masih tidak mengatakan kebenaran itu kepada Chelsea. Ia hanya menggigit bibir menahan tangis semalaman. Rasanya sungguh tidak adil ketika Chelsea berjuang mati-matian mempertahankan, sementara Bagas bebas atas perasaannya. Ia ingin marah, tapi tidak tahu kepada siapa. Menatapa Chelsea, Marsha memeluk sekali lagi sampai panggilan bahwa pesawatnya akan segera lepas landas terdengar. Melambai pada Chelsea, Marsha tersenyum sampai sosok Chelsea tidak terlihat dari pandangannya.

Sampai di Indonesia, Marsha meletakkan barang dan segera beranjak pergi. Ia mengabaikan panggilan dari Gilang dan bergegas mencari kendaraan umum. Ia harus segera menemui Bagas. Dengan tidak sabar, Marsha mengirim pesan kepada Bagas dan mengatakan akan menemui pria itu di rumahnya setelah mendapat persetujuan dari Bagas. Sampai di rumah Bagas, Marsha mengerutkan kening begitu melihat mobil berwarna biru terparkir rapi di halaman rumah pria itu. Mengetuk pintu, dan melangkah masuk, Marsha dikejutkan dengan kehadiran Angel. Mereka berdua tengah berbincang, bahkan Angel tengah tertawa dengan sesekali tersipu malu.

"Bagas." panggil Marsha dengan suara rendahnya. Melihat Marsha datang, Bagas segera mempersilakan gadis itu untuk duduk. Sesaat Marsha melirik Angel.

"Ada apa, Sha?" tanya Bagas. Menghembuskan napas menahan emosi, Marsha memejamkan mata sejenak dan bersuara.

"Lo ada hubungan apa sama Angel?" tanya Marsha tepat sasaran dan berhasil menarik perhatian keduanya. Angel tampak tenang, berbeda dengan Bagas yang terlihat mulai tidak nyaman dengan pertanyaan itu.

"Aku suka sama Kak Bagas, dan aku fikir Kak Bagas juga nyaman dengan keberadaanku." jawab Angel menampilkan senyum di wajah. Marsha mengepalkan tangan sebentar.

"Bagas, jadi siapa yang lo pilih? Chelsea atau Angel. Gue gak mau temen gue terus-terusan diperlakukan seperti ini sama lo." ucap Marsha.

"Lo gak ada hak buat memutuskan siapa yang pengen gue pilih." balas Bagas.

"Dan seharusnya lo sadar atas kewajiban bahwa lo gak seharusnya memperlakukan Chelsea seperti ini." tajam Marsha.

"Kak Marsha maaf. Tapi gak ada siapapun yang berhak menghakimi perasaan seseorang. Termasuk aku dan Kak Bagas. Terserah bagaimana perasaan Kak Bagas dan aku." ujar Angel.

"Lo sesuka ini sama Bagas. Lo pernah gak ngebayangin kalau Bagas ternyata melakukan hal yang ia lakukan ke Chelsea sekarang dan dia lakuin ke lo."

"Aku gak akan membiarkan itu terjadi."

"Itu bedanya kualitas diri lo sama Chelsea yang gak bisa dibandingin. Chelsea memberikan Bagas kebebasan untuk berteman dengan siapapun termasuk perempuan karena ia tahu bahwa mereka sama-sama masih remaja. Dan Chelsea terus memperbaiki dirinya untuk membangun masa depan yang lebih baik bersama Bagas. Tapi, lo. Lo hanya peduli soal gimana lo ngedapetin Bagas. Itu aja. Hidup gak selalu mulus-mulus aja, Ngel. Sayangnya Chelsea terlalu berkelas untuk mengurusi hal-hal semacam ini. Gue bahkan sangsi dia bakal marah atau seenggaknya membalas lo dengan jaminan masa depan lo. Paling mentok, sahabatku itu hanya akan membuatmu setengah kesulitan masuk universitas." ancam Marsha menunjukkan senyum miringnya yang jelas membuat Angel mengkerut.

"Cukup, Sha! Gue gak pernah selingkuhin Chelsea atau menduakan dia."

"Ya! Dan lo hanya mencari kenyamanan dari gadis ini!" Marsha setengah menaikkan oktaf suaranya. "Terserah lo mau pilih jalan mana. Gue cuma mau bilang sama lo, kalau Chelsea gak pernah sekalipun berpaling dari lo di sana. Kalau gadis bodoh itu belajar mati-matian agar bisa menyelesaikan sekolahnya lebih cepat, kembali kesini buat lo! Kalau gadis gila itu bahkan menutup hatinya rapat-rapat buat lo!" Marsha mulai berkaca-kaca. Emosi sekaligus perasaan ironi bercampur jadi satu.

"Jangan sampai menyesal, Gas. Jangan sampai kejadian beberapa tahun lalu kembali terulang. Chelsea mungkin bisa memaafkan lo untuk kedua atau ketiga kalinya, tapi dia gak akan memberikan kesempatan yang sama. Dan gue? Jelas akan terlibat buat membalas lo berdua!" tajam Marsha. Tangan gadis itu merogoh ransel dan mengeluarkan paper bag berwarna biru tua.

"Hadiah dari pacar lo! Gue pamit!" ujar Marsha setengah melempar paper bag tersebut dan bergegas meninggalkan rumah Bagas.

Sampai di luar rumah bercat putih tersebut, Marsha menarik dan menghembuskan napas lantas berjongkok dan menutup wajah dengan dua telapak tangan. Menangis.

"Chel... Gue harus gimana?? Gue minta maaf... " isak Marsha.

"Ayo, pulang." gadis itu mendongak dan menemukan wajah Gilang.

"Kenapa ada disini?" tanya Marsha dan meraih tangan Gilang untuk selanjutnya berdiri dari tempatnya.

"Aku tahu kamu akan kesini." senyum Gilang.

Marsha diam dan hanya memeluk pinggang kekasihnya selama perjalanan. Sesekali gadis itu menggigit bibir bawah untuk menahan tangis. Sampai beberapa menit selanjutnya, Gilang menghentikan sepeda motornya dan Marsha bergegas turun dari kendaraan roda dua tersebut. Retinanya melihat lapangan rumput di depannya.

"Lang, aku harus gimana?" ucap Marsha. "Aku tidak rela Chelsea disakiti seperti itu oleh Bagas. Gadis itu disana belajar mati-matian." Marsha menahan air matanya yang ingin keluar lagi. Menyadari itu, Gilang memeluk kekasihnya dari belakang.

"Chelsea orang baik. Dia akan mendapat yang lebih baik dari Bagas. Kamu sudah berjuang sejauh ini sebagai temannya. Dan jika pada akhirnya Bagas memilih Angel sementara Chelsea memilih lepas, kamu sudah melakukan yang terbaik versi kamu." ucap Gilang mengecup singkat puncak kepala Marsha.

"Setiap orang memiliki adegan dalam hidupnya masing-masing. Kita semua adalah pemeran utama untuk hidup kita sendiri. Termasuk Bagas, Chelsea dan Angel. Mereka memiliki adegan yang mungkin akan terekam dalam benak masing-masing atau mereka memilih untuk menghapus adegan itu. Pilihan." lanjut Gilang.

"Apa kamu akan meninggalkan aku?"

"Aku tidak tahu, Sha. Perasaan setiap orang bisa berubah seiring berjalannya waktu. Tapi, yang pasti, aku tidak akan melakukan yang Bagas lakukan kepada Chelsea." ucap Gilang mengeratkan pelukannya.

"Aku tidak mau Chelsea kembali seperti dulu. Aku takit." ujar Marsha dengan bibir bergetar.

"Aku tahu. Kita akan berusaha membantu Chelsea untuk menemukan bahagianya. Dan kalaupun pada akhirnya Chelsea memilih untuk tidak bahagia, kita hanya harus selalu di sampingnya. Karena begitulah sahabat." ucap Gilang. Tangannya meraih bahu Marsha agar menghadap ke arahnya.

"Kita harus percaya bahwa Chelsea akan mendapatkan kebahagiaannya sendiri." senyum Gilang dan memeluk Marsha.

Setiap kejadian yang terjadi dalam hidup kita, terekam dalam benak masing-masing. Dan menjadi pilihan masing-masing dari orang tersebut, akan terus mengingatnya atau melupakannya. Termasuk peran sahabat yang memiliki rekam jejaknya masing-masing di tiap adegan sahabatnya yang lain.

(.)

SCENETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang