Confes

147 16 1
                                    

Bagas berdiri di depan pintu rumah Chelsea dengan wajah kusut dan rambut berantakkan. Mengetuk pintu bercat putih tersebut, butuh satu menit hingga pintu terbuka dan menampilkan remaja lelaki yang begitu ia kenal.

"Masuk, Kak." ucap Troy membiarkan Bagas masuk dan duduk di ruang tamu.

"Aku panggilin Kak Chelsea." ucap Troy lagi dan segera meninggalkan Bagas tanpa menunggu jawaban darinya.

Tidak lama sampai Bagas melihat Chelsea berjalan ke arahnya. Gadis itu masih mengenakan baju yang sama saat tadi mengunjunginya di rumah. Wajah Chelsea juga tampak bengkak dengan hidung memerah. Dia menangis. Memalingkan wajah sejenak, Bagas menghirup udara sebanyak mungkin ketika Chelsea duduk di depannya dengan tenang.

"Aku minta maaf." ucap Bagas dalam satu tarikan napas tanpa melihat ke arah Chelsea. "Aku tahu aku bersalah, tapi dengan tidak tahu malu, masih mengharap kamu untuk memaafkanku. Lagi. Seharusnya aku bisa menahan diri untuk hanya menyukai kamu, tapi ternyata aku berpaling." Bagas mulai menjelaskan situasinya. Chelsea masih tidak bereaksi apapun. Gadis itu menatap meja di hadapannya tanpa suara.

"Kamu boleh marah, tapi tolong jangan membenciku. Aku tidak bisa." lanjut Bagas.

"Kenapa?" tanya Chelsea menegakkan wajah menatap Bagas. Setetes air mata jatuh dari sudut matanya. "Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Chelsea. Bagas yang melihat hal itu merasa diremas jantungnya. Nyeri. Ia sudah menyakiti Chelsea sebanyak dan sedalam itu berkali-kali.

"Aku tidak tahu. Saat kamu gak ada, dan Angel terus menerus menemuiku, aku berusaha bersikap biasa saja bahkan mengabaikannya. Namun, siilus pertemuan kita menjadi terlalu sering. Dia menungguku hingga aku pulang kuliah, kalau sore. Membawakanku makan siang dan mengirimku pesan-pesan berupa perhatian, ... "

"Dan kamu tidak bisa menghindari itu. Kamu nyaman dengan semua perlakuan itu." potong Chelsea yang langsung membuat Bagas bungkam. "Bagas apa kamu tahu? Setiap hari aku bertemu dengan James. Dia seratus kali lebih perhatian kepadaku dibanding yang Angel lakukan untukmu. Pria itu juga menungguku hingga selesai kelas, mengantar dan menjemputku, mengajakku makan, membelikanku hadiah dan memberiku banyak cinta dan kasih sayang. Dia bahkan sudah menyatakan perasaannya kepadaku." Chelsea mengatur emosinya sejenak. "Tapi tidak pernah sekalipun. Tidak satu kalipun aku melirik atau bahkan memiliki keinginan untuk berhubungan lebih jauh dengannya. Kenapa? Karena aku ingat, aku punya kamu. Kita dan semua rencana kita. Bahwa masing-masing dari kita akan bekerja keras mewujudkan impian kita." gadis itu menghapus air mata yang jatuh.

"Sejak pertama aku sudah mengatakan padamu bahwa aku tidak membatasimu untuk menyukai siapapun. Bukan karena kamu menyukai Angel, tapi yang lebih membuatku sakit hati, karena kamu mengkhianati apa yang sudah kamu janjikan sendiri, Bagas. Kamu yang bilang, supaya kita tetap menjaga perasaan kita meskipun berjauhan, tapi kamu sendiri yang mengingkarinya. Aku kesal dengan diriku sendiri yang terus memberimu kesempatan." sekali lagi Chelsea menarik napas panjang, sementara Bagas hanya diam menunduk.

"Kamu sudah selesai? Karena aku sudah selesai dengan yang ingin kukatakan." tutup Chelsea.

"Aku minta maaf. Aku tidak bisa pergi darimu... " ucap Bagas lemas. "Aku sangat menyesal." tambahnya dengan suara bergetar. Menangis. 

"Dulu aku memberimu maaf, karena aku menyukaimu dan berfikir bahwa kesalahanmu berhenti di sana. Namun, aku menjadi tidak terkendali sampai akhirnya kamu menyakitiku lagi. Ini semua salahku, yang lebih mementingkan pendidikan dibanding kamu. Karena itu sekarang, Bagas, aku melepaskanmu." Chelsea bangun dari tempatnya. "Aku tidak tahu kapan tepatnya bisa memaafkanmu lagi, tapi tenang saja, aku tidak akan mendendam baik dengan kamu ataupun Angel. Terima kasih untuk tiga tahun terakhir ini." lanjut Chelsea dan segera kembali ke kamarnya, meninggalkan Bagas sendirian tanpa suara. Pria itu menutup wajah dengan dua telapak tangan, menangis. Sudah tidak ada kesempatan untuknya, Bagas tahu itu. Semua ini terjadi karena keserakahannya, jadi ia harus menanggung konsekuensi yang diberikan. Tapi bolehkah Bagas tidak menyerah? Sebab ia masih ingin menjadi serakah sekali lagi untuk mendapatkan Chelseanya kembali.
.

.

Bagas setengah berlari menuju sepeda motornya. Ia mematut wajah sekali lagi dari kaca spion sebelum meninggalkan rumah menuju kediaman Chelsea. Satu minggu terakhir ini, Bagas tidak pernah absen mengajak Chelsea keluar entah dengan alasan mengajaknya makan, atau sekadar jalan-jalan, meskipun pada akhirnya ia tidak akan mendapat apapun selain Troy yang menemaninya ngobrol sampai lelah. Bahkan hari ini, Bagas menuju rumah Chelsea untuk mengajak gadis itu menontin film. Sampai di rumah Chelsea dan membunyikan bel, beberapa saat sampai seorang paruh baya keluar dari dalam rumah.

"Chelsea ada?" tanya Bagas ramah.

"Non Chelsea sudah barangkat." jawabnya

"Berangkat? Kemana?" tanya Bagas lagi, was-was dengan jawaban yang akan diberikan oleh perempuan dengan apron di tubuhnya tersebut.

"Berangkat ke ostrali tadi pagi di antar Bapak sama Ibu." Bagas sudah panik demi mendengar jawaban tersebut. Meskipun pengejaan kata Australia salah, Bagas jelas mengerti bahwa yang dimaksud maid tersebut adalah negara kanguru itu. Mendadak kaki Bagas lemas seperti jelly. Ia mengangguk sopan dan pamit  dari sana lantas terduduk begitu saja di samping sepeda motornya. Chelsea berangkat. Dan Bagas tidak akan memiliki kesempatan lagi untuk bertemu gadis itu mungkin sampai beberapa bulan atau bahkan tahun. Mengusap rambutnya kasar, pria itu melajukan motornya menuju pemakaman besar kota itu.

Sampai di depan gundukan tanah dengan nisan bertuliskan Alvin itu, Bagas berjongkok dan membersihkan rumput liar di atas tanahnya.

"Vin, gue udah nyakitin Chelsea lagi."

"Wahh... Lo emang gak bisa dipercaya ya, Gas. Padahal gue rela mati supaya lo dapat kesempatan kencan sama Chelsea, tapi lo malah bikin kesayangan gue nangis. Jahat lo." Bagas seolah melihat Alvin sedang di depannya. Dengan gaya santai dan sorot mata meneduhkan seperti biasa, suara pria itu menggema dalam telinga Bagas.

"Gue tahu gue salah dan mungkin gak ada kesempatan buat dimaafkan lagi. Tapi, gue gak bisa ninggalin Chelsea dan gak mau dia ninggalin gue."

"Gak heran sih Gas gue, dari dulu lo emang udah serakah." Bagas melihat Alvin terkekeh. "Kalau lo emang mencintai Chelsea, lo seharusnya tahu apa yang harus lo lakukan. Gue percaya sama lo." lanjut Alvin sebelum sosoknya menghilang dari hadapan Bagas.

Gue akan mempertahankan Chelsea, apapun itu, Vin. Bangun dari tempatnya dan membersihkan sisa-sisa tanah serta rumput kering di celananya, Bagas mendoakan Alvin sebentar sebelum meninggalkan gundukan tanah itu. Bagas jelas tahu setelah semua yang terjadi, segalanya tidak akan menjadi sama lagi. Dan selama ia masih bisa berjuang, apapun akan dilakukannya. Sampai Chelsea sendiri yang memintanya pergi.

(.)

SCENETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang