4 bulan kemudian.
Usia kandungan Moza kini genap 7 bulan. Sebentar lagi Moza akan melahirkan, membuat Moza harap-harap cemas. Meskipun begitu, rasa sayang Moza dan Mark semakin besar pada cabang bayi. Belum lagi Mark yang setiap malamnya selalu menyempatkan masuk ke dalam kamar Moza diam-diam hanya untuk mencium dan mengusap lembut perut Moza di saat Moza tertidur. Walaupun sebenarnya Moza sudah mengetahui kebiasaan Mark.
Akhir-akhir ini pun Moza semakin manja dengan Mark. Mungkin bawaan hormon. Moza akan menangis bila Mark pulang telat, seperti saat ini. Entah berapa lembar tisu yang jadikan korban untuk menghapus air matanya. Lezzi yang sedari tadi menemani Moza tampak khawatir.
"Hubungi saja Tuan Mark. Aku khawatir Nona Moza kelelahan karena sudah menangis lama," saran salah satu maid kepada Lezzi. Lezzi pun mengangguk pasti lalu segera menghubungi Mark.
Saat ini Mark yang sedang meeting, harus terganggu ketika ponselnya berbunyi nyaring.
"Saya permisi dulu!" ujar Mark berpamitan keluar dari ruangan Meeting. Lalu mengangkat panggilan telepon. "Ada apa?"
"..."
"Ada apa dengan Moza." Nada gusar Mark seketika terdengar.
"..."
"Apa kamu tidak coba menghentikannya?"
Mark menghela nafas panjang. Terkadang ia harus banyak bersabar saat hormon kehamilan membuat Moza manja padanya.
"Aku akan pulang."
****
Mark menghentikan mobilnya di pelataran mansionnya. la bergegas berlari masuk ke dalam. Saat di dalam banyak penjaga dan pelayan yang menyambutnya hormat.
"Di mana Moza?"
"Nona ada di kamarnya, Tuan."
Dengan langkah cepat Mark pun menuju kamar Moza yang berada di lantai dua.
Saat Mark menarik knop pintu, pintu terkunci. Akhirnya Mark pun mengeluarkan kunci serep kamar Moza. Saat pintu terbuka tampak kamar itu seperti Lautan tisu, Mark mendekat ke arah Moza. Moza masih terisak.
"Kenapa kau menangis?"
"Ke mana saja kau baru pulang?" tanya Moza balik. Mark tersenyum kecil.
"Aku bekerja."
"Sampai semalam ini?"
"Aku baru saja selesai meeting."
"Malam-malam?"
"Iy- maaf, aku salah." Mark mengalah. Moza sontak memeluk Mark erat. Begitu pun dengan Mark. Kehamilan Moza membuatnya sangat posesif pada Mark. Masih teringat jelas pada Mark, saat sekretarisnya berkunjung hanya untuk memberikan berkas yang harus ditanda tangani oleh Mark. Saat itulah Moza sangat cemburu. Sampai-sampai ruang kamar Moza disulap bagaikan kapal pecah.
Mark tidak memungkiri bahwa ia bahagia dengan sikap Moza seperti ini padanya. Mark merasa sangat dicintai. Mark tersenyum senang saat ia harus mengingat
kenangan lucu itu."Mark," panggil Moza.
"Ya?" jawab Mark lembut.
"Aku merindukan ayah dan ibu," lirih Moza. Mark terdiam.
"Apa aku sudah boleh pulang?" tanya Moza seraya mendongakkan kepalanya menatap Mark.
"Bukan pulang Moza, hanya berkunjung, ini rumahmu. Besok kita akan ke rumah mereka."
"Tapi bagaimana dengan kehamilanku? Mereka tidak tahu tentang ini."
"Aku sudah bilang padamu, aku akan bertanggung jawab. Aku siap menghadapi kemarahan mereka."
"Kalau mereka tidak mengizinkan kita bersama?"
"Aku akan terus meyakini mereka sampai mereka mengizinkan kita bersama. Kamu percaya denganku?" Moza tersenyum lembut pada Mark.
"Aku percaya." Mark mengecup kening Moza lembut. "Kita akan menjaga anak kita bersama-sama," ujar Mark yang dibalas anggukan dengan Moza.
***
Keesokan paginya.
Moza sedang bersiap di depan cermin. Ia meng gunakan dress hamil dengan panjang selutut berwarna biru pastel. Rambut panjangnya ia gulung ke atas, menampilkan leher jenjangnya. Ia tersenyum saat mengingat ucapan Mark semalam. Wajahnya seketika merah merona.
"Jangan selalu tersenyum pada cermin, itu membuatku iri. Apa dengan benda mati saja aku harus kalah?" Suara bariton yang berasal dari pintu membuat Moza terlonjak kaget. la menoleh ke belakang. Tampak Mark sedang berdiri seraya bersandar pada pintu dengan tangan yang ia masukan ke dalam saku.
"Harus kalah?" tanya Moza tidak mengerti.
"Ya, setiap pagi cermin itu selalu mendapatkan senyummu, tapi aku tidak," ucap Mark merajuk.
Moza menghampiri Mark. Lalu melingkarkan tangannya pada leher Mark. "Yang penting hati ini kan hanya untukmu," godabMoza. Mark menatap Moza tidak percaya
"Kau bisa menggoda? Siapa yang mengajarimu? Apa Lezzi?" tanya Mark. Moza terkekeh.
"Ayo! Kita harus pergi sekarang," Sambung Mark. Mereka pun pergi seraya bergandengan tangan.
Beberapa saat kemudian.
Moza dan Mark telah sampai di sebuah rumah yang cukup besar dengan halaman yang luas yang terdapat banyak tumbuhan yang tertanam di sana. Moza menatap bahagia, ia merindukan rumah ini.
"Rumahmu indah," ujar Mark seraya memandang sekitar.
"Kau tahu? Bunga-bunga di sana aku dan ibulah yang menanam. Aku dan ibu sangat menyukai bunga, dan ayah adalah pencinta kopi," tutur Moza.
"Apa aku harus membeli kopi dan bibit bunga yang banyak agar ibu dan ayahmu bisa merestui hubungan kita?" tanya Mark.
"Konyol," jawab Moza tersenyum kecil lalu meninggalkan Mark. Mark pun menyusul Moza seraya tersenyum manis. Moza berkali-kali menekan bel, hingga pintu terbuka, terlihat seorang wanita paruh baya menatap haru pada Mark dan Moza, lebih tepatnya pada Moza.
"Ibu," lirih Moza. Moza dan ibunya berpelukan. "Aku rindu ibu."
"Ibu juga merindukanmu, Nak. Ke mana saja kau? Apa kami mengecewakanmu, sehingga kamu pergi tanpa pamit terlebih dahulu." Isak tangis haru tercipta saat ini. Mark yang melihatnya tampak merasa bersalah.
"Ehem."Mark berdehem kecil menyadarkan ibu dan anak yang masih setia berpelukan. Kedua ibu dan anak itu melepas pelukannya saat mereka sadar bahwa ada satu orang lagi yang diabaikan.
"Mr. Mark," sapa Renata yang merupakan ibu Moza, kerutan kecil terlihat di dahinya. Mark tersenyum dan menyalami Renata.
"Bagaimana kalian bisa bersama?" tanya Renata. Moza dan Mark saling menatap.
"Ibu, sebenarnya aku--" Moza tidak meneruskan ucapannya, tatapannya menunduk melihat perutnya yang sudah terlihat sangat buncit. Renata mengikuti arah pandang Moza. Dan betapa terkejutnya ia melihat keadaan fisik putrinya saat ini.
"Moza apa ini?" tanya Renata.
"Ibu aku ...."
"Mrs. Philip, akulah yang bertanggung jawab atas semua ini. Akulah yang telah merenggut keperawanan putrimu. Akulah yang telah menghamili putrimu. Aku akan bertanggung jawab," potong Mark cepat. Ia bicara dengan yakin. Ia sudah pasrah bila harus mendapat pukulan keras dari satu keluarga Moza.
"Apa?!!" Kali ini bukan Moza maupun Renata, melainkan suara yang sangat Mark hafal. Sontak mereka bertiga menoleh ke asal suara. Tampak Philip memandang Mark murka.
"Apa maksudmu?" tanyanya lagi seraya menghampiri Mark. Seketika tubuh Moza kaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bastard CEO
Romance18+ Cerita ini ganti judul ya .. (Handsome CEO bastarad) Jangan di copas ya,karna cerita ini hasil mikir sendiri,bukan plagiat.. _______/////________ moza gadis sederhana dan polos yang memiliki berjuta impian .. . . tapi apa jadinya bila impian it...