Moza yang duduk berdampingan dengan Mark tampak menunduk enggan untuk melihat raut wajah kedua orang tuanya yang sedang duduk di hadapannya, seakan hendak menginterogasi. Lain halnya dengan Mark, yang masih duduk dengan tenangnya.
"Jadi di mana kamu tinggal selama ini, Moza?" Keheningan terganti dengan suara tegas dari Philip yang tak lain adalah ayahnya. Moza masih menundukkan kepalanya, dia tidak berani untuk menatap ayahnya.
"A-aku di Indonesia, Ayah," jawab Moza terbata-bata.
"Dengan siapa kamu tinggal?" tanya Philip lagi. "Sendiri," jawab Moza seadanya.
"Lalu bagaimana bisa kamu hamil anaknya?" Tak ada jawaban dari Moza.
"Jawab Moza!!" bentak Philip kepada Moza. Tubuh Moza bergetar ketakutan, Mark yang menyadari itu langsung menggenggam tangan Moza erat. Pemandangan itu tidak lepas dari pandangan Philip maupun Renata
"Saya yang terlebih dulu memulainya, Sir. Saya akan bertanggung jawab, izinkan saya menikahi Moza," jawab Mark menyela.
"Maaf Mr. Mark yang terhormat, saya tidak sedang bertanya pada Anda, tapi saya bertanya pada anak saya, MOZA." Ada nada menekankan di akhir kalimat Philip, yang semakin membuat Moza bergidik ngeri.
"Ayah ... aku mohon, jangan sakiti anakku, aku sangat menyayanginya," mohon Moza dengan dengan mata yang berkaca-kaca. Philip menghela nafas panjang.
"Anda tenang saja, Sir, saya akan membayar kerugian atas putrimu," ujar Mark tenang yang dibalas kerenyitan bingung dari Philip.
"Apa maksudmu?"
"Saya akan membayar berapapun, asalkan saya bisa menikah dengan putrimu."
"Apa maksudmu? Apa kau pikir masalah ini akan selesai hanya dengan uang? Kau pikir aku tidak bisa merawat anak dan cucuku? Dengar Mr. Mark!! Saya masih mampu menghidupi keluarga saya walaupun telah berhenti kerja dari perusahaan Anda yang besar itu." Moza menatap kesal ke arah Mark, sedangkan yang di lihatnya masih dengan ekspresi tenang. Andai saja suasana saat ini sedang baik-baik saja, ingin rasanya Moza membuang Mark ke laut segi tiga bermuda.
"Ibu, bawa Moza masuk!" perintah Philips kepada istrinya.
"Ayo, Moza!" Renata membawa Moza untuk masuk ke dalam meninggalkan Mark dan Philip.
"Mr. Philip kau akan memisahkan Moza dengan-ku?" tanya Mark, menatap kepergian Moza dan Renata.
"Kau merasa keberatan?" tanya Philips.
"Sangat, dia sedang mengandung penerusku."
"Jangan harap aku akan menyerahkan anak dan cucuku padamu, sekarang pergi dari rumah kami, terima kasih telah mengembalikan putri kami satu-satunya." usir Philip secara terang-terangan.
"Tidak, sebelum aku membawa Moza pergi."
"Tidak akan saya biarkan Moza berada bersamamu." ujar Philips tegas, lalu bangkit dari duduknya, menarik tangan Mark kuat. Dengan berat hati Mark pun pergi.
Namun sebelum benar-benar pergi. Mark mengucapkan sesuatu.
"Aku akan kembali lagi calon mertua dan aku tidak akan menyerah, sampai aku mendapatkan wanita yang aku cintai serta anak kami," ujar Mark memperingati, lalu pergi. Philip memandang kepergian Mark. Ia tersenyum tipis.
"Buktikan itu anak muda, buktikan sebesar apa kau mencintai anak dan cucuku," ujar Philip.
***
1 bulan kemudian
Di kamar yang dominan warna biru dan putih, tampak seorang wanita duduk termenung di sofa memandang keluar jendela.
Satu bulan sudah sejak kejadian pengusiran ayah-nya pada Mark, dan satu bulan lagi Moza akan melahirkan. Namun, Mark belum juga menjemputnya. Bahkan belum menunjukkan bahwa ia telah menaklukkan hati ayahnya.
"Ayah pasti akan menjemput kita, Nak," ujar Moza, seraya mengelus perutnya yang tampak sangat besar. Tendangan kecil terasa di perutnya, Moza tersenyum kecil, setiap Moza membicarakan Mark, bayi yang ada di dalam kandungannya selalu aktif bergerak. Renata mengintip dari balik pintu. Ia memandang sedih putrinya. Renata menghapus air matanya. Lalu membuka pintu kamar Moza lebar, yang sedari tadi separuh terbuka.
"Boleh ibu masuk?"
"Ah ... Ibu, masuklah," jawab Moza, lalu mengubah ekspresi sedihnya menjadi tersenyum, seakan tak ada beban yang ia pikul.
"Bagaimana keadaan cucu ibu?"
"Sangat sehat, ibu, ia sangat aktif bergerak, lincah seperti ayah..." ucapan Moza terhenti. Renata menatap Moza yang menunduk.
"Kamu mencintainya?" tanya Renata. Sontak Moza mendongakkan kepalanya menatap Renata yang saat ini duduk di hadapannya, lalu kembali menunduk kemudian menggeleng kecil
"Aku telah melakukan kesalahan pada Ayah dan Ibu, aku tidak ingin kembali melakukan kesalahan itu, ayah tidak merestuiku dengan Mark, maka aku tidak akan mengharapkannya."
"Apa kau yakin?" tanya Renata, Moza mengangguk ragu.
"Lalu. Bagaimana dengan anakmu? Apa kamu akan merawat anakmu tanpa seorang suami?"
"Aku siap untuk menjadi orang tua tunggal untuk anakku, Ibu," ucap Moza pasti.
"Aku akan memperkenalkanmu dengan seseorang. Dia bersedia menikahimu, bahkan dia tidak keberatan saat Ibu memberi tahu atas kehamilanmu dan minggu depan adalah hari pernikahanmu." Lantas Moza menoleh cepat.
"Ibu, apa maksudmu? Aku menikah dengan orang yang tak aku kenal. Aku tidak mau! Bahkan ini terlalu cepat. Ibu, kau tidak bertanya dulu denganku apa aku bersedia atau tidak? Ibu, aku bisa mengurus anakku sendiri. Aku janji padamu, aku akan menjadi orang tua yang baik."
"Tapi anakmu juga membutuhkan seorang ayah, Nak. Pria itu tidak keberatan dengan hal ini, dia sudah mencintaimu lama. Ibu mohon kau jangan egois, pikirkan juga nasib anakmu kelak bila ia lahir tanpa ada sosok ayah,"
"Ibu, tapi aku ...."
"Kau ingin membuat Ayah dan Ibu bahagia, bukan?" Moza menundukkan kepalanya lemas. Ia menghala napas Panjang.
"Baiklah, Ibu. Aku setuju," lirih Moza. Renata tersenyum lembut.
"Ibu akan mengurus semuanya," ucap Renata lalu pergi meninggalkan Moza.
Setelah kepergian Renata, Moza menangis. Ia kecewa dengan Mark, ia marah dengan Mark, ia tak ingin menikah dengan orang lain. Tapi bagaimana pun ia tak boleh egois. Ayah dan ibunya hanya ingin yang terbaik untuknya, sedangkan Mark hilang tak ada kabar bagai di telan bumi. Moza semakin terisak. Hatinya hancur. Ia telah salah mencintai Mark. Moza kembali menatap perutnya.
"Ayahmu pasti punya alasan yang kuat telah melakukan ini, Nak," ucap Moza dalam isakannya.
***
Di lain tempat.
"Ronald, siapkan segalanya! Sore ini kita harus ke Texas, dan kosongkan jadwalku selama seminggu ke depan," perintah Mark pada kaki tangannya sekaligus asistennya melalui telepon. Setelah itu Mark menutup teleponnya. Mark menatap foto Moza yang terbingkai indah di meja kerjanya.
"Maafkan aku," lirih Mark dengan senyumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bastard CEO
Romance18+ Cerita ini ganti judul ya .. (Handsome CEO bastarad) Jangan di copas ya,karna cerita ini hasil mikir sendiri,bukan plagiat.. _______/////________ moza gadis sederhana dan polos yang memiliki berjuta impian .. . . tapi apa jadinya bila impian it...