Chapter 6

16.1K 535 4
                                    

Seperti hari biasanya. Moza menjalankan rutinitas paginya dengan lancar, dan setiap hari pula Moza selalu mendapatkan kiriman bunga. Awalnya Moza bertanya- tanya siapa pengirim bunga itu, tapi akhirnya dia mulai terbiasa, walaupun rasa penasaran itu masih saja meng- hantui.

Tok, Tok, Tok!

Ketukan pintu menghentikan, aktivitas Moza yang sedang berkemas. Moza menghela nafas panjang. Moza melirik jam dinding yang terpajang di kamarnya.

"Pukul 06:15 pagi. Ada yang bertamu sepagi ini?? Mungkin pengirim bunga, tapi sejak kapan pengirim bunga itu mengetuk pintu? Biasanya bunga-bunga itu selalu diletakan depan pintu rumah." Moza pun melangkahkan kakinya menuju pintu utama.

"Mencari siapa?" tanya Moza saat telah membuka pintu. Tampak seorang pria berpakaian casual sedang membelakangi Moza.

"Maaf Anda mencari siapa?" tanya Moza lagi dengan nada lebih tinggi. Pria itu membalikkan tubuh-nya, dadaan mengedarkan senyuman massada Moza Seketika Moza terperangah dengan sosok pria yang ingatan Moza kembali kenangan buruknya, kenangan yang Moza coba untuk mdi lupainya, pria itu datang kembali dan sekarang ada di hadapan Moza.

Dengan gerakan cepat Moza kembali menutup pintu rumahnya. Namun, gerakan Moza kalah cepat dengan gerakan pria yang selama ini ia hindari.

"Tunggu, Moza!" ujar Mark seraya menahan pintu rumah Moza. Pria itu adalah Mark, pria yang selalu saja mengawasi Moza selama 2 minggu terakhir ini. Moza tetap bersih keras untuk menutup pintunya. Namun, Moza bukanlah tandingan untuk Mark, sampai akhir-nya pintu itu pun terbuka. Mark tidak hentinya menatap Moza yang saat ini terlihat takut.

Lexi, cepatlah datang! batin Moza.

"Lexi-mu tak akan datang, Moza," ucap Mark deng-an menyeringai, seakan tahu apa yang dipikirkan Moza. Mark menutup pintu rumah Moza, tidak lupa pula dikunci olehnya. Moza semakin takut, ia mencoba menjauhi Mark, mundur agar tetap menjaga jarak dari Mark. Keringat dingin sudah terlihat di dahinya, mata-nya sudah berkaca-kaca. Mark masih saja menampilkan senyum devil-nya dan semakin mendekat pada Moza.

"Kenapa kamu menghindar Moza?" tanya Mark. Tak ada jawaban apa pun dari Moza.

"Apa kamu tahu? Aku sudah lama mencarimu." Kini nada bicara Mark lebih tinggi dari sebelumnya, Moza sempat tersentak mendengar Mark. Namun, ia mencoba menutupi itu.

Mark tampak semakin kesal karena Moza masih tidak ingin bicara dengannya.

"Apa milik Lexi jauh lebih nikmat dari milikku?" tanya Mark vulgar.

Bodoh, seharusnya bukan kata-kata itu yang aku ucapkan, umpat Mark dalam hati.

Tapi dengan pertanyaan itulah kini Moza mulai geram, dan menghentikan langkahnya.

Plak, Plak.

Moza menampar Mark penuh emosi. Namun itu semakin membuat Mark semakin bernafsu. Senyum tipis Mark membuat Moza sadar dengan kesalahannya. Moza kembali melangkah mundur dengan hati-hati, dan mencoba untuk lari. Namun, lagi Moza kalah cepat dengan Mark, sehingga Mark berhasil menarik lengan Moza dan digenggam kuat oleh Mark.

"Sakit ... Mark. Lepas!" ringis Moza pada Mark.

Namun, tidak dihiraukan. Mark menarik tangan Moza. Membawanya ke dalam ruang tidur. Mark mendorong Moza ke ranjang dengan kuat, sehingga dengan mudah- nya Moza pun terlempar ke sana. Moza menangis, ia merasa takut, ia takut kejadian buruk itu terjadi lagi.

Mark pun melepas kancing kemejanya, dan terpam- pang jelas tubuhnya yang six pack, Moza menelan Saliva- nya sulit. Mark menindih Moza. Moza semakin terisak ketika Mark melumat bibirnya dengan agresif. Tangan-nya tak hanya diam, sesekali ia mencoba membuka kancing kemeja Moza, tapi Moza mencoba untuk mena-hannya, tapi Mark adalah Mark, apa yang ia inginkan harus didapatkannya. Moza menjerit histeris, saat pakaiannya berhasil di robeki oleh Mark. Mark semakin melancarkan aksinya saat Moza mulai melemah.

"Kau tahu? Aku merindukanmu, Moza."

Bastard CEO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang