Kehidupan Normalku

97 13 7
                                    

Suara dari jam beker milikku yang sudah menunjukkan pukul 6 pagi berbunyi dengan nyaring. Sungguh menyebalkan. Mau tak mau, aku harus bangun dan mematikannya.

Sinar mentari pagi menembus jendela kamarku, memaksaku untuk bangkit dan memulai aktivitas sehari-hari. Namun sebelum itu, aku sempat melihat ke arah cermin di kamarku.

Rambut tosca panjangku acak-acakan, mataku sayu dan terlihat agak bengkak akibat terlalu banyak menangis semalam. Penampilan pagi ini sungguh kacau. Tapi siapa peduli...

"Miku, kau sudah bangun!?" terdengar suara teriakan dari lantai bawah.

Rasanya terlalu malas untuk menyahut. Entah kenapa belakangan ini aku selalu malas melakukan apapun. Segala yang kulakukan hanya karena terpaksa. Jadi, aku hanya berjalan keluar kamar dan munuju kamar mandi.

Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian itu... sejak saat itu pula, kehidupan yang kujalani menjadi tidak memiliki warna sama sekali.

~o0o~

Aku berjalan menuju sekolah di tengah keramaian kota pada pagi hari. Semua terlihat sangat sibuk dengan aktivitas masing-masing. Jalan raya juga lumayan ramai dengan transportasi pagi ini. Semuanya bekerja dengan riang dan penuh semangat. Berbeda denganku yang seperti tak memiliki semangat untuk hidup.

Kehidupan normal seperti ini benar-benar membosankan. Tapi aku juga tidak begitu menyukai kehidupan seperti di negeri dongeng yang penuh tantangan. Tak peduli kehidupan normal atau kisah dongeng, untuk mendapatkan 'akhir yang bahagia' tetap tergantung keberuntungan. Dan aku, bukanlah orang yang bisa dengan mudah meraih 'keberuntungan' itu.

Aku benci kisah dongeng dengan happy ending. Aku ini sudah dewasa. Cerita anak-anak seperti itu tidak akan menjadi alasan bagiku untuk terus melamun lagi.

Ngomong-ngomong, sudah tiga hari berlalu sejak kejadian menyesakkan itu. Namun, rasa sakit masih berbekas di hati. Rasa sakit yang abadi dan tidak dapat diobati. Aku tak pernah bisa berhenti memikirkan betapa hancurnya diriku. Menangis setiap malam bukanlah obat terbaik, namun tetap kulakukan. Kenapa... ini terjadi padaku?

Kehilangan seseorang yang sangat berharga adalah hal terberat yang pernah kualami. Aku selalu berharap dapat bertemu dengannya lagi, meskipun aku tau hal itu mustahil. Aku masih ingat dengan jelas, kata-kata terakhir yang dia ucapkan padaku saat itu...

"Maafkan aku karena harus mengingkari janjiku untuk selalu melindungimu. Tapi yang pasti, aku tidak akan pernah meninggalkanmu, karena aku akan selalu ada di sampingmu... Miku, aku mencintaimu..."

Tragis. Seorang pangeran harus mati dan meninggalkan tuan puteri tercintanya. Dan itu adalah akhir yang menyedihkan dari cerita dongeng versiku sendiri.

Sejak saat itu, aku tak tertarik lagi dengan sesuatu seperti dongeng atau keajaiban...

"Oi, Miku! Tunggu aku!"

Lagi-lagi ada yang membuyarkan lamunanku. Merasa terpanggil, aku meghentikan langkahku dan berbalik dengan malas. Ternyata itu Mikuo-nii yang berlari ke arahku. Dia juga mengenakan seragam sekolah Negai Gakkuen. Yah, dia dan aku kini bersekolah di sekolah yang sama, dan Mikuo-nii adalah kakak kelasku.

"Maaf, Mikuo-nii," jawabku seadanya saat dia berhenti tepat di depanku.

"Lain kali kita bisa berangkat bersama, kan? Huuh..."

"Maaf."

"Ya sudah, tidak apa-apa. Ayo ke sekolah bersama," ajaknya sambil tersenyum.

Aku hanya mengangguk pelan. Kemudian kami berjalan beriringan menuju Negai Gakkuen. Sesekali aku melirik ke arah Mikuo-nii yang berjalan dengan santai dan wajahnya dihiasi senyuman. Hal itu membuatku iri...

I Wish... (Miku x Len)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang