Aku pernah marah, menghardik takdir lalu mulutku merobek hati berdinding beton yang telah ia bangun susah payah. Menyumpahi dengan buas seorang lelaki yang hendak menyambut tanganku sebab telah lancang mencuri bahagia. Ku lihat lelaki yang satu menatapku sakit, di sudut yang lain seorang anak lelaki merangkul lutut dengan sorot mata bingung, sedang manusia yang lain menampakkan wajah nanar.
Laki-laki yang ku sumpahi kala itu kini menjelma menjadi salah satu manusia berharga. Terimakasih, telah menyayangi wanitaku dan memberinya banyak kebahagiaan.
Umurku lima belas tahun, sejak saat itu aku paham bahwa tak ada jatuh yang tak lara. Hidupku bak dikendalikan bayang-bayang yang membuatku takut kehilangan orang-orang berharga, meski hanya terbentang jarak.
Dan lagi, aku membenci tahun ke tiga. Memaksa diri membentangkan jarak pada tiap jarum jam yang berputar. Menatih langkah ke ujung barat dan membiarkan seseorang pergi ke ujung timur, sama dengan menakutkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
ASA PADA MASA
Non-FictionTiap detik merupakan bagian dari masa yang memiliki beragam kisah berharga