CHAPTER 14- TEKA-TEKI

2.3K 322 22
                                    

Audrey mengetuk pintu rumahnya dengan keras. Mulutnya tidak berhenti memanggil Bik Imas. Memerintahkannya untuk segera membukakan pintu utama.

Tok... Tok... Tok...

"Bik Imas!"

Tok... Tok... Tok...

"Bik Imas!"

"Bik!"

Audrey merekatkan mantel yang membalut tubuhnya kala udara malam yang sangat dingin semakin menyeruak masuk kedalam tubuhnya. Kulitnya seolah ditusuk-tusuk oleh kristal es.

Baru saja Audrey ingin mengetuk pintu rumahnya kembali. Seseorang yang semejak tadi namanya ia panggil kini menyembul dari balik pintu utama.

"Maaf lama Audrey, tadi Bibik abis selesai sholat Isa." Bik Imas memberikan penjelasan kenapa dirinya cukup lama untuk membukakan pintu.

"Iya Bik. Gakpapa kok." jawab Audrey sambil membentuk seulas senyum tipis diwajahnya.

"Audrey kedinginan ya? Mau Bibik buatin susu?" tawar Bikin Imas manakala dirinya menyadari jika Audrey mengenakan mantel tebal dengan topi rajut berwarna pink.

Audrey menggeleng.

"Nggak usah, Bik. Audrey ke atas dulu ya?"

"Yaudah, langsung tidur ya, udah malem."

Audrey menganggukkan kepalanya dengan patuh. Selanjutnya, ia berjalan melewati Bik Imas. Berjalan menuju kamarnya.

***

Nyatanya, setelah sampai dikamar, Audrey tidak langsung berbaring ditempat tidur, bergulung-gulung dengan selimut tebal langganannya seperti biasa.

Bocah itu malah melemparkan tasnya yang semejak tadi ia gemblok di atas kasur. Posisi tas yang dilemparnya jelas sudah tak karuan lagi.

Audrey melepaskan topi rajut berwarna pink milik Ella. Meletakkannya di meja belajar.

Tanpa melepaskan mantel yang semejak tadi sudah membalut tubuhnya, Audrey berjalan menuju jendela yang ada disudut kamarnya. Membuka separuh kaca jendela itu hingga membuat sedikit udara dingin masuk.

Audrey mengambil kamera yang dikalungkan pada lehernya, anak itu tidak bisa menahan senyumnya lebih lama lagi saat ia melihat potretan beberapa momen yang ia suka.

Audrey menumpukan dengkul tangannya di kusen jendela berwarna putih. Kepalanya ia tangkupkan pada telapak tangan.

Perkataan Ella terlintas begitu saja dibenaknya. Bagaimana Ella mengucapkan sebuah janji kepadanya, bagaimana sorot mata Ella yang mengucapkan janjinya dengan serius, bagaimana perilaku Ella saat bersamanya.

Semua itu malah membuat Audrey semakin ragu.

Adakah suatu pengorbanan nyata yang meyakinkan Audrey jika janji Ella benar adanya?

Bisakah ucapan Ella disebut sebuah janji? Padahal ucapan Ella hanyalah sebuah omong kosong belaka bagi Audrey.

Tidak mungkin jika Ella akan mengganggu dirinya seperti Barbara dan Olin agar bisa berteman dengannya.

Ella jelas sekali bukan tipikal seseorang seperti itu.

Tapi, jika bukan seperti itu...

Apa yang akan dilakukan Ella agar Audrey bisa mempercayai janjinya?

Apa yang akan Ella buktikan?

Tangan Audrey kembali memencet sebuah tombol hingga menampilkan foto menara jam London yang sempat ia potret.

Dolls of Death [TAMAT!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang