Son Seungwan's eyes
Pagi ini Seoul diguyur hujan yang cukup deras dan membuat suhu udara yang sudah dingin semakin dingin, sebenarnya aku tidak suka hujan. Selain membuat suhu udara menjadi dingin, aku juga benci jika harus pergi menembus hujan atau lebih tepatnya aku tidak suka basah. Aku juga tidak suka jika kemanapun aku pergi harus membawa payung, terlalu merepotkan pikirku. Aku lebih suka musim semi, ketika langit cerah menghangatkan tubuhku. Melihat tanaman mulai menghijau setelah bertahan pada musim dingin, dan menyaksikan bunga-bunga di halaman belakang rumahku mulai bertunas. Ahh, sebenarnya bukan tanpa alasan aku membenci hujan. Tidak dengan alasan-alasan yang sudah aku sebutkan. Ada alasan kuat mengapa aku benci hujan.
"aku tak mengerti kenapa pagimu tampak suram, Seungwanie" aku melirik pada sumber suara yang tiba-tiba saja menghancurkan lamunanku. Ayahku tau jika aku memang tak suka hujan, dan alasan utamaku tak suka hujan adalah dia.
"aku sendiripun tak pernah mengerti mengapa aku sangat benci hujan." sahutku dengan nada menggantung, ayah hanya balas tertawa geli.
"ahh, ku pikir kau benci dengan profesiku. Bukan dengan hujan. Apa aku benar?" Ayah mulai menggodaku. Aku membuang nafasku kasar, lalu mulai menggenggam tangannya yang sedang berada di kopling mobil. That's totally right! I don't know why but I'm a little bit hate with his profession.
"kau sudah cukup tua untuk terbang, ayah. Ku pikir sudah saatnya kau mengambil pensiun. Lagipula aku sudah bekerja, Donghae oppa juga pasti senang jika kau mengambil pensiun" tetapi penjelasanku hanya dibalas oleh suara tawa ayah yang menganggap rasa khawatirku ini adalah lelucon. Maybe he thinks that I'm actually kidding with him right now. Aku merengut kesal, selalu saja seperti ini tiap kali aku melontarkan rasa khawatirku kepada Ayah. Dia sudah cukup tua untuk menjadi pilot bukan? Sebentar lagi dia akan menyambut cucu pertamanya dan ini adalah momen yang tepat untuknya berhenti menjadi seorang pilot dan menikmati masa tuanya.
"apa kau tau jika ibumu itu persis sepertimu saat ini? Kalian terlalu mengkhawatirkanku dan sedikit terlalu banyak bicara, kurasa" dan tawanya meledak. Aku semakin kesal dibuatnya. Yang benar saja? Ketika rasa khawatirku ini justru tampak lucu dimatanya.
"rasanya aku masih tak percaya gadis kecilku kini menjelma menjadi orang dewasa yang terlalu mengkhawatirkan orang lain..." gumamnya pelan sambil mengusap puncak kepalaku dengan sayang. Aku meliriknya dengan haru, lalu menyenderkan kepalaku diatas bahunya sepanjang perjalanan menuju bandara. Yeah, a daddy's girl is a daddy's girl.
Tiba di bandara atau tepatnya di Terminal 2 Incheon International Airport, seperti biasa aku hanya bisa mengantarnya sampai depan Departure Gate. Tiap kali aku yang mengantarkan ayah ke bandara, selalu saja aku merasa berat hati untuk melepasnya pergi bekerja. Lalu saat ini kupeluk tubuh ayahku yang sejak beberapa bulan terakhir terlihat semakin gemuk. Kurasa dia benar-benar menikmati hidupnya.
"aku menyayangimu, hati-hati di jalan..." ucapnya lalu mengecup dahiku singkat. Aku mengangguk, lalu melambaikan tanganku kearahnya dan dibalas dengan senyum hangatnya. Sejujurnya aku lebih suka ketika mendapatkan tugas untuk menjemput ayah sepulang bekerja. Hanya pada saat itu aku merasa aman karena ayah bisa kembali berkumpul bersama keluarga, dan tentu saja aku masih bisa memeluknya sepuas hatiku. Yaa mungkin aku terdengar seperti seorang anak yang manja. But who cares? siapa yang mau menyalahkan? Aku putrinya, dan aku berhak medapatkan pelukannya sebanyak yang kumau.
Udara semakin dingin, saat kulihat penampil cuaca di ponselku menunjukan suhu -4 derajat. Mungkin aku tidak akan langsung pulang, kurasa segelas Signature Chocolate bisa sedikit membuatku lebih tenang setelah adegan perpisahan dengan ayah. Jadi ku langkakan kakiku menuju gerai Starbucks terdekat dengan posisiku saat ini dan langsung memesan Signature chocolate dengan ukuran Grande dan mungkin sepotong brownies atau smoke beef quiche.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Love you [COMPLETE]
RomanceAku tak mencintaimu, begitupun kau padaku. Namun akhirnya kenyataan menamparku, justru aku yang terlalu mencintaimu.