Son Seungwan's eyes
100 hari terhitung sejak kepergiaan ayah yang terlalu mendadak, tak meninggalkan pertanda ataupun isyarat berarti padaku, Donghae Oppa atau bahkan ibu. Di hari kepergiannya, aku hanya mengantar ayah hingga depan pintu rumah sementara dia bersikukuh ingin pergi ke bandara sendiri. Aku tak tau apakah itu merupakan pertanda atau bukan, yang jelas aku sangat menyesalinya. Sekarang setelah kepergiannya, yang ku ingat dari sosok ayah adalah dia yang sangat menyukai langit biru. Dia bilang, langit adalah sahabatnya. Langit adalah sahabat satu-satunya yang dia punya, bisa jadi pelipur lara. Ayah suka awan putih, namun dia lebih tenang ketika menatap langit biru. Meski pada akhirnya birunya lautan yang jadi temannya ketika takdir hidupnya berakhir, Tuhan mengajaknya pulang.
100 hari sudah aku melawan dan berontak dengan kesedihan yang terlalu mendalam. 100 hari sudah ku paksakan hatiku untuk pulih ketika ayah pergi begitu saja, dan sakitnya setengah mati. Aku tersenyum, tertawa dan tampak bahagia meski sebenarnya orang yang tak mengenalku pun pasti dapat membaca pesan tersirat dari kedua mataku. Aku terlalu lelah berlarut dalam kesedihan, aku mencoba melawannya dan berharap waktu dapat mengembalikan keceriaanku. Orang-orang menyuruhku untuk ikhlas dan berdoa yang terbaik untuk ayah tiap kali mereka bertemu denganku yang tampak sangat kacau. Tentu saja aku ikhlas ayah pergi, hanya saja aku masih melawan rasa sakit dan sesak di dadaku. Aku seorang gadis ayah yang terlalu mengagumi sosok lelaki sempurna seperti ayahku, dia tanpa cela.
Dihari nahas itu, tepatnya Kamis 17 November 100 hari lalu ayahku ditemukan dalam kondisi tak bernyawa mengambang di lautan, masih berpegangan erat di sayap besi pesawat yang hampir tenggelam. Dia masih tampak gagah dengan seragam pilot kebanggaannya meski warna kulitnya sudah membiru. Satu hal yang membuat hatiku sedikit lega, pagi buta sebelum ayah bersiap-siap aku dengan sengaja menyetrika seragamnya. Kebetulan ibu sedang merasa tidak enak badan, maka aku menggantikan ibu menyiapkan perlengkapan ayah termasuk seragamnya.
Dari 213 penumpang dan 12 awak pesawat, ayah menjadi satu dari 10 korban meninggal termasuk co pilot nya beserta 2 pramugara dan 6 penumpang yang semuanya adalah laki-laki. Entah itu sebuah perjuangan atau mungkin memang takdir, tapi kurasa mereka patut diberi label pahlawan. Menurut pengakuan saksi, saat itu pesawat tiba-tiba hilang kendali seperti kehilangan tenaga untuk terbang. Aku yakin ayah sudah melakukan yang terbaik, sehingga ia dan co pilot memutuskan untuk melakukan pendaratan darurat diatas lautan. Hantaman yang terjadi akibat pendaratan darurat itu cukup kencang, namun saat itu saksi bilang ayahku masih bertahan dan terlihat baik-baik saja. Ia bahkan sempat membantu kru pesawat untuk membuka pintu darurat dan mengarahkan penumpang yang sudah memakai pelampung untuk keluar dari badan pesawat sebelum tenggelam. Sialnya ada seorang penumpang wanita yang tampak panik sehingga ia tak sempat mengambil pelampungnya dan dia tidak bisa berenang. Ayahku tanpa ragu menjadi orang pertama yang melepas pelampungnya, dan memasangkan pelampungnya pada penumpang tersebut. Jujur saja aku benci saat harus mendengarkan penjelasan saksi yang menjadi orang terakhir yang melihat ayah dalam keadaan hidup, aku membencinya karena hal itu membuatku seolah-olah berada disana menyaksikan ayahku berjuang untuk kehidupannya meski ia tak bisa mengelak takdirnya. Seorang saksi lain mengatakan ia melihat jasad ayahku mengambang diatas lautan, tangannya masih berpegang kokoh pada sayap besi pesawat yang sudah hampir tenggelam. Namun ayah diam tak bergeming, matanya tertutup dan wajahnya membiru. 3 jam setelahnya sebuah kapal nelayan yang tak sengaja melintas melihat ratusan orang mengapung di lautan langsung membantu korban selamat sambil menghubungi kapal nelayan terdekat untuk turut membantu korban yang jumlahnya ratusan itu. Sayangnya, dari ratusan orang yang selamat ayahku justru menjadi satu dari sepuluh orang yang tak dapat menyelamatkan nyawanya. Ayahku pulang, tapi bukan ke rumahku. Dia pulang dan tak akan kembali. Ibu sangat terpukul, ia jatuh pingsan saat bertemu dengan ayah dalam keadaan tak bernyawa. Donghae oppa sekuat tenaga menahan tangisnya meski akhirnya ia gagal, ia menangis dalam diam sembari menatap wajah tampan ayah. Aku disampingnya, memeluk Donghae oppa sangat kencang mencoba menahan tangis yang sudah meledak-ledak sejak satu jam ketika mendengar pesawat yang dibawa ayah hilang dari radar. Saat itu yang kupikirkan adalah, tak adalagi ayah yang selalu menggoda ibu untuk memberikanku adik bayi lagi, meski dia sendiri tau itu sangat tidak mungkin mengingat ibuku yang tak muda lagi. Mereka kelewat romantis, dan hal itu yang membuat hubunganku dengan ayah tak kalah manis. Rasanya aku ingin ayah tetap ada disampingku dimana ayah selalu mengusap lembut kepalaku tiap kali aku mengeluh dengan segala hal, dan dia dengan suara hangatnya selalu mengatakan bahwa aku selamanya akan menjadi gadis manis kesayangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Love you [COMPLETE]
RomanceAku tak mencintaimu, begitupun kau padaku. Namun akhirnya kenyataan menamparku, justru aku yang terlalu mencintaimu.