Park Chanyeol's eyes
2 tahun lalu aku pernah merasakan kehilangan yang teramat besar dalam hidupku. Aku kehilangan sosok motivator, role model, dan juga supporter terbesar dalam perjalanan karirku. Dia adalah kakekku, ia memilih untuk mengalah melawan penyakit yang sudah ia lawan selama kurang lebih 5 tahun. Seminggu sebelum kepergiannya, dengan tenaga terakhirnya ia menelfonku dan memintaku untuk selalu menjaga kesehatan serta terus berdedikasi pada pekerjaanku. Firasat buruk kala itu segera menyergapku. Segera setelah pulang dari penerbangan panjangku, ku pacu mobilku dengan kecepatan tinggi. Sekali takdir berkata tidak, maka selamanya akan tetap tidak. Saat aku tiba di rumah sakit aku sudah terlambat, kakekku dalam keadaan koma –mati atau terus hidup dalam penderitaan. Ada rasa menyesal memenuhi hatiku, penyesalan karena harus menyetujui penerbangan jarak jauh dikala keadaan kakekku sedang memburuk. Dan saat kepergiannya pun rasanya aku tak bisa menangis. Ku telan sendiri rasa sesal dan sedih itu, mencoba terlihat tegar agar aku bisa menguatkan keluargaku yang lain meski mereka tau bahwa aku adalah cucunya yang paling dekat denganya.
Hari-hari ku lanjutkan seperti biasa meski lubang besar menganga dalam hatiku. Kepergian kakek cukup mempengaruhi suasana hatiku selama lebih dari 3 bulan. Saat itu yang ku pikirkan adalah, apa sebegini merananya ditinggal oleh orang terdekat? Terlebih dengan orang yang memiliki ikatan darah langsung denganku. Sekarang disaat luka lama belum sepenuhnya sembuh, kini luka yang jauh lebih dalam dan pedih harus ku tanggung lagi.
Anak laki-lakiku, yang ku harapkan dapat memaafkanku dan mau memulai hidupnya berdampingan denganku memilih untuk pergi. Aku belum sempat melihatnya bisa berdiri, berjalan dan berlari kearahku, melihatnya memakan masakan Wendy yang pasti akan langsung jadi makanan favoritnya, dan bahkan belum pernah sekalipun ku dengar Dexter memanggilku 'Daddy'. Saat pertama kali melihat wajah Dexter yang hampir 70% sama denganku, disaat itu pula aku merasa Tuhan memberiku kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahan yang telah kuperbuat selama ini. Kepada Kapten Son dan terutama pada Wendy. Ternyata aku salah, Tuhan tak sudi memberiku kesempatan dan membiarkan rasa sakit dihatiku semakin dalam.
Pagi itu sekitar pukul 6 aku terbangun dengan posisi membungkuk seraya memegang tangan mungil Dexter. Segera hatiku menangkap firasat buruk ketika merasakan tangan Dexter yang lebih dingin dari biasanya. Aku panik, dan segera memanggil perawat yang berjaga 24 jam dibagian receptionist. Kath dan Andrew yang masih tertidur diatas sofa dikejutkan dengan kedatangan beberapa perawat serta dokter ke dalam kamar rawat Dexter. Aku dipaksa mundur oleh dokter, begitu pula Kath dan Andrew yang tak diizinkan mendekat. Saat itu pikiranku langsung kosong, hatiku terasa hampa sekali. Yang dapat ku ingat hanya dokter dan perawat sedang melakukan segala cara untuk membuat Dexter kembali. Setelah 15 menit berlalu, dokter memutuskan untuk membawa Dexter ke ruang PICU*.
3 jam berlalu, dan tepat pukul 9 lewat 15 menit aku diberi kabar oleh dokter bahwa Dexter memilih untuk pergi dibanding bertahan disini dengan orang-orang yang menyayanginya. Aku menangis, tentu aku menangis. Kath? Dia terlihat lebih histeris, dan Andrew mencoba menenangkan Kath yang hampir pingsan meski dari wajahnya ia terlihat sama terkejutnya. Setelah para dokter dan perawat keluar dari ruang PICU Dexter, aku diizinkan untuk melihat Dexter beberapa waktu setelah kepergiannya. Kenangan terakhirku adalah, melihat Dexter yang seperti sedang tertidur sangat nyenyak.
*
Esok sorenya, aku, Kath dan Andrew sepakat untuk melakukan pemakaman dan akan dilakukan di pemakaman keluarga Peterson. Pemakaman dihadiri oleh keluarga terdekat Kath, Andrew dan juga ayah serta ibuku yang masih menemaniku di New York. Malam harinya tepat pukul 22.30, Wendy datang ke hotelku. Aku sendiri tak mengharapkan kedatangan Wendy ke New York. Selain menghabiskan waktu, ia juga pasti merasa sangat lelah sehabis 14 jam penerbangan. Tapi lagi-lagi wanita yang selalu berhasil memukauku itu hanya balas tersenyum dengan mata sembab –sehabis menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Love you [COMPLETE]
RomanceAku tak mencintaimu, begitupun kau padaku. Namun akhirnya kenyataan menamparku, justru aku yang terlalu mencintaimu.