# 10 ~ Tomorrow

449 83 2
                                    

Park Chanyeol's Eyes~

Aku membuka mataku setelah berpura-pura tidur selama lebih dari 1 jam. Kupaksakan tubuhku untuk bangun dari tempat tidur milik Wendy dan bersiap pergi dari sini. Sepertinya ia lebih memilih untuk tidur diluar dibanding menemaniku disini. Gadis itu pasti masih terkejut melihatku berani membentaknya seperti tadi. Sebenarnya aku tidak bermaksud untuk membentaknya seperti itu, hanya saja emosiku mengambil alih begitu saja. Salah satu kelemahanku adalah menjaga emosiku tetap stabil ketika sedang dalam keadaan tertekan seperti ini. Aku menyesal sudah membentak Wendy, sungguh aku tidak bermaksud melakukan itu. Entah setelah ini dia akan tetap baik padaku atau justru menjauhiku.

Ku ambil termometer yang ada dimeja samping tempat tidur Wendy dan memeriksa suhu tubuhku sendiri. Angka 37,9oC tertera di layar termometer, ternyata tubuhku masih demam setinggi itu. Termometer itu kemudian ku letakan kembali ke tempat asalnya dan ku raih jas hitamku yang tersampir diatas kursi, lalu mengangkat koperku dengan susah payah karena kondisi badanku yang masih lemah. Ketika aku melewati ruang kerja Wendy, aku melihat gadis itu tidur tertelungkup diatas meja dengan laptop masih menyala. Segera ku letakan koperku dan mengambil selimut dikamar. Ku langkahkan hati-hati saat memasuki ruang kerja Wendy lalu menyampirkan selimut tersebut dipundaknya. Tanpa perintah, tanganku tiba-tiba saja meraih lembut puncak kepala Wendy dan mengelusnya dengan lembut. Ketika aku sadar dengan apa yang kulakukan, aku segera menarik tanganku menjauh dari Wendy. Bisa saja aku membangunkannya jika aku mengelus kepala gadis itu meski aku ingin sekali melakukannya lebih lama. Maka ku putuskan untuk pergi dari apartemen Wendy secepat yang aku bisa.

Sepanjang perjalanan aku memaksa mataku untuk tetap fokus pada jalanan dan mencengkram erat setir mobilku. Sial! Sepertinya obat penurun panas yang diberikan Wendy memberi efek mengantuk. Sesekali aku memijat pangkal hidungku agar rasa mengantuk itu hilang. Tepat pukul 3 lewat 40 menit akhirnya aku tiba di bandara. Ku hiraukan tubuhku yang terasa sakit dari ujung kaki hingga ujung kepala. Aku lebih memilih untuk membersihkan tubuhku di kamar mandi khusus staff yang ada di bandara.

Ku lepas kemeja putih yang belum ku ganti sejak kemarin. Lalu aku berjalan ke arah cermin besar yang memenuhi hampir separuh sisi dinding. Ku rentangkan tanganku diatas wastafel dan menatap pantulan wajahku di cermin tersebut. Wajah pucat dengan garis hitam disekitar bawah mata terpantul di cermin. Astaga, mengapa aku semengerikan ini?

Jujur saja, sepanjang hidupku aku tidak pernah merasa sekacau ini. Selama 30 tahun aku hidup, aku selalu bisa memenuhi keinginanku. Mulai dari selalu masuk sekolah favorit, mendapat nilai sempurna di mata pelajaran matematika dan bahasa inggris, hingga memenuhi keinginan kakek ku yang ingin salah satu anak atau cucunya menjadi pilot, -dimana- cita-citanya dulu adalah menjadi pilot. Sayangnya kakek ku justru harus mengubur mimpinya sendiri karena biaya sekolah pilot yang tidak sanggup ia bayar. Singkat cerita kakekku menjadi seorang dokter spesialis bedah melalui beasiswa yang didapatnya. Lalu lahir ayah dan kedua adik kembarnya. Kakek selalu bercerita bahwa dahulu ia sangat mengharapkan ayahku untuk menjadi seorang pilot karena cita-cita masa kecilnya itu. Tapi ternyata ayahku lebih memilih berkarir menjadi seorang Bankir sedang kedua adiknya menjadi Insinyur dan Profesor di sebuah Universitas luar negeri. Saat aku lahir, kakek mulai menaruh harapan besar padaku agar bisa mewujudkan cita-citanya itu yang tak bisa diwujudkan oleh satupun anaknya. Dan ya, akhirnya aku berhasil memenuhi keinginannya ini. Kakek bahkan sangat bersyukur saat kukatakan bahwa aku sangat mencintai pekerjaanku ini. Tentu saja, karena ini adalah cita-citanya yang tak terwujud dan ini merupakan pekerjaan yang memang menjadi impianku sejak kecil karena ia selalu menanamkan keinginannya itu padaku. Meski kakek tak bisa menjadi pilot, berkat berbagai bisnis yang dijalankannya ia mampu menjadi pemilik saham terbesar di maskapai penerbanganku saat ini. Itulah sebabnya aku bisa bilang bahwa karirku di Korea lebih lancar dibanding saat masih bergabung dengan American Airlines. So far, aku sangat menikmati dan mencintai pekerjaanku selama ini, terlebih semenjak bergabung dengan South Korean Airlines.

I Don't Love you [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang