Epilog-1

140 8 0
                                    

1 tahun kemudian...



Malam itu benar-benar meriah. Acara pertunangan anak bungsu Xavier Evans—seorang pengusaha asal Perancis yang sudah menetap di Seoul selama 10 tahun—nampaknya akan digelar semalam suntuk. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam tapi tak ada satu pun dari tamu undangan yang menunjukkan tanda-tanda akan pulang.



Cowok-cowok di sana berpakaian necis; kemeja sutra dan sepatu mengilap. Begitu pun cewek-ceweknya, gaun sequin dan stiletto bertali. Semua orang terlihat mewah seakan-akan baru keluar dari etalase rumah mode di fifth avenue. Mereka menggoyangkan badannya mengikuti irama musik di halaman belakang rumah tuan Evans yang luas. Mengangkat tinggi gelas wine mereka dan bersulang dengan penuh gaya.



Jaehyun berbaur dengan para kalangan borjuis itu sambil menyesap sampanye. Tak ada satu pun dari mereka yang nampak curiga bahwa Jaehyun adalah penyusup. Penampilannya amat meyakinkan; dia memakai kemeja satin emas berlengan panjang, rambut tersisir rapi ke belakang, ditambah lagi wajahnya yang benar-benar rupawan. Teman-teman mempelai wanita akan mengira Jaehyun adalah teman dari mempelai pria, dan teman-teman mempelai pria akan mengira dia adalah teman mempelai wanita.



Tepat setelah sampanye-nya habis, walkie talkie seukuran anggur yang ia sisipkan di balik kerah kemejanya berbunyi.



"Kami sudah hampir selesai. Rich Boy, aku butuh kau untuk awasi jalan keluarnya."

"Dari mana kau akan keluar?" balas Jaehyun sembari menarik diri dari kerumunan. Ia berjalan mengitari kolam renang, mencari tempat yang lebih sepi sebelum mendongak mengawasi salah satu jendela.



"Jendela ruang brankas," kata Doyoung. "Aman?"

"Tidak. Ada beberapa orang yang sedang ngobrol di bawah. Lewat tangga jauh lebih aman. Kau bisa keluar lewat jendela ruang tamu dan langsung ke mobil."



"Oke."



Jaehyun menukar gelasnya yang kosong dengan gelas yang baru dari pelayan yang lewat, lalu menyesapnya sembari kembali mengawasi jendela tempat rekan-rekannya sedang beraksi.



Doyoung dan Yuta bekerja dalam diam. Doyoung berdiri di ambang pintu sementara Yuta memasukkan bergepok-gepok uang dan perhiasan dari brankas ke dalam tas miliknya. Sesering apa pun ia melakukan ini, ia tetap saja merasa bersalah. Perutnya bergejolak tak nyaman dan keringat dingin mengalir di punggungnya.



"Sudah?"

"Sudah."

"Rich Boy bilang jendela itu tak aman," Doyoung mengedikan kepalanya ke jendela di seberang Yuta, "kita bisa ke lantai satu lewat tangga dan keluar dari jendela ruang tamu."



"Kita cuma berdua di sini. Bisakah kita panggil dia Jaehyun saja?"

"Tidak, anak setan," kata Doyoung. "Kita pakai nama samaran saat sedang beraksi."

"Dan bisa kau jelaskan sekali lagi kenapa nama samaranku anak setan?" kata Yuta sementara ia mengayun tasnya ke bahu dan berdiri.



Doyoung bertolak pinggang. "Dengar," tuntutnya, dan tiba-tiba saja suara alarm yang nyaring terdengar di seluruh penjuru rumah.



"Sial," umpat Doyoung. Keduanya refleks berlari. Yuta tipis di belakang Doyoung. Selagi berlari, Doyoung menarik headset-nya dan bicara pada Mark yang menunggu di mobil. "Heh, marmut, apa yang terjadi? Matikan alarmnya."



"Sedang kulakukan," kata Mark.

"Cepat, berengsek."

"Diamlah! Aku butuh konsentrasi."

Vampire BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang