15 Maret 2005
Angkasa yang cemburu.Pernah tidak aku menceritakan tentang marahnya Angkasa dijurnal sebelumnya? Aku rasa pernah.. Tapi karena sebab yang lumrah dan tidak menjurus pada hal - hal yang berbau romantisme. Berbeda dengan hari ini, Angkasa marah karena cemburu, awalnya aku tidak mau berprasangka seperti itu tapi nyatanya dia memang mendeklarasikan rasa cemburunya secara terang - terangan.
Siang tadi, aku harus mengikuti beberapa penelitian dalam sidang terbuka untuk kasus pelecehan yang sedang dosenku tangani. Mau tidak mau aku harus hadir dalam persidangan guna memperhatikan jalannya kasus secara terperinci dan benar.
Aku dan beberapa temanku mengikuti sidang dengan seksama sehingga lupa dengan benda pipih beranamakan ponsel. Sidang berjalan sekitar lima sampai enam jam lamanya, karena saat aku keluar dari ruangan hari sudah mulai gelap.
"Balik bareng gue aja ya Dis? Mau?" Tama, salah satu temanku tersenyum sembari menawarkan tumpangan untukku.
"Enggak deh, gue mau nyari barang dulu.." sebenarnya itu hanya alasan. Karena entah kenapa aku enggan pulang dengan laki - laki selain Angkasa.
Tama sempat merengut karena tawarannya ditolak. Namun tak lama kemudian, Mister Petroff, dosen seniorku mengajak kami semua untuk makan bersama, mana mungkin aku tolak bukan?
"Kalian semua hebat. Saya bangga. Laporan kalian sebelumnya benar - benar memuaskan." Terangnya saat kami berlima (termasuk mister Pett) sudah duduk melingkar disebuah resto ternama di daerah Geger Kalong.
"Kita bisa begini juga berkat Mister. Hehehe.." Alin salah satu dari temanku yang bergabung menimpali dengan cengiran.
Yang lain hanya menimpali seadanya. Acara makan dadakan itu berlangsung sedikit lama karena kami sedikit berdiskusi dan mengambil ilmu sebanyak - banyaknya dari dosen yang cerdas dan memiliki segudang pengalaman ini.
Sampai sebuah notifikasi muncul di pop up ponselku.
Angkasa : Aku jemput ya. Share loc🌚
Sontak membuatku tersenyum secara spontan. Saat aku sadar buru - buru aku menahan senyumanku karena akan terlihat konyol jika ada yang memerhatikan.
Tentu saja aku mengirimkan lokasi restonya pada Angkasa. Tanpa sadar Tama tengah memandangku dengan tatapan... entahlah susah sekali diartikan.
Aku mencoba mengabaikannya hingga acara selesai dan Angkasa memberitahu bahwa dia sudah menunggu diparkiran.
"Dis. Tunggu." Tama berlari kecil kearahku saat kami semua saling berpamitan lalu berpisah karena membawa kendaraan masing-masing.
"Kenapa?" Jawabku.
Ia tersenyum dengan sangat manis. "Pake nih. Udah mau malem. Nanti lo kedinginan." Lalu ia menyampirkan jaket denimnya disekitar bahuku.
Inginnya aku menolak, tapi melihat senyuman tulus yang tercetak dibibir Tama, aku urung melakukannya.
"Yaudah makasih ya. Besok gue balikin." Kataku.
Tama tersenyum, lalu mengangguk. "Mau dianter pulang?"
Aku refleks menggeleng. "Udah dijemput Angkasa."
"Ah.. lupa gue kalo Purnama punya Angkasa." Katanya dengan kekehan tapi aku bisa menangkap makna lain disana.
Aku tidak menanggapi lebih jauh, memberi isyarat untuk pamit lantas meninggalkan pelataran resto untuk menghampiri Angkasa yang katanya sudah sampai sejak beberapa menit yang lalu.
Aku tersenyum mendapati mobil hitamnya berada beberapa meter dari gerbang keluar.
Dia keluar dari dalam sana, dan menyapaku dengan senyuman yang masih semanis sejak pertama kami bertemu dulu. "Maaf ya Dis, gak aku jemput ke dalem, gak ada lahan untuk parkir, penuh banget."
Aku mengangguk mengerti, "Gak apa - apa. Dari dalem kesini gak jauh kok."
Angkasa mengusak rambutku pelan, tapi perlahan senyumnya hilang dan digantikan dengan kernyitan didahinya.
"Kamu pake jaket siapa?"
"Tama, dia pinjemin."
"Buka. Pake jaket aku aja." Dia membuka jaket yang melekat ditubuhnya dan aku bekedip beberapa kali. Aku menuruti keinginannya tentu. Karena aura menjadi sedikit dingin dan tidak nyaman.
"Ka, kamu marah?"
Dia menggelengkan kepalanya pelan. Tatapannya tetap fokus ke jalan. Aku bingung, tidak biasanya Angkasa dia seperti ini. Dia akam selalu bicara jika dalam perjalanan apalagi keadaan jalan yang macet.
"Kamu deket banget ya sama Tama?"
"Deket gimana? Ya gitu aja, aku kan sama dia sering dapet kelas bareng.."
Dia kembali bungkam. Tapi beberapa kali menghembuskan nafasnya.
"Angkasa.. are jelous?"
"Yes i am."
"Tapi untuk apa?"
"Aku cuma takut, kamu nemuin kenyamanan lain selain yang kamu dapet dari aku."
"Emang kapan aku bilang aku nyaman sama kamu?" Aku hampir tersedak menahan tawa karena melihat wajah Angkasa yang langsung pucat.
"Minggirin dulu mobilnya sebentar."
Dia tetap menjalankan mobilnya.
"Ka.. minggirin."
Kali ini dia mendengarkan. Dan dia menepi.
"Look at me, Angkasa."
Lalu dia menoleh. Aku bergeser dan posisiku kini menghadap Angkasa.
Lalu aku menariknya kedalam pelukkan. Angkasa sempat menegang namun akhirnya dia rileks dan melingkarkan lengannya disekitar tubuhku.
"Aku nyaman sama kamu. Selalu. Purnama selalu nyaman sama Angkasa, jadi jangan takut sama hal - hal yang bahkan gak pernah terlintas dipikiran aku."
"Dis, i love you so bad. I'm sorry because i'm being so childish."
Aku mengangguk, lalu untuk pertama kalinya aku memberanikan diri untu mengecup kening Angkasa dengan lembut.
