Febuari 2006
Angkasa dan dramanya.
Sesuai rencana yang sudah aku, bunda, kak Arin dan Alhena buat hari ini adalah hari eksekusi untuk kejutan ulang tahun Angkasanya kami. Dia bahkan sepertinya lupa bahwa hari ini adalah hari kelahirannya karena mendapatkan perlakuan menyebalkan dari para perempuan kesayangannya.
"Hallo bunda?" Aku menelpon bunda, memastikan Angkasa sudah sampai dirumah sepulang dari rumah sakit.
"Iya Dis, bunda sudah dirumah nih. Nunggu Alhena pulang kayaknya Angkasa tidur dikamar. Dari setengah jam yang lalu gak keluar-keluar dia."
"Yaudah bagus kalau gitu bun. Aku barusan chat Angka, bilang kalau hari ini aku mau balik ke Jakarta."
Bunda tertawa disebrang sana. "Dia makin bete, soalnya Arin juga bilang dia lagi ngurus pemotretan di Lembang gak bisa pulang cepat. Ya sisanya tinggal bunda doang, Alhena kan masih disekolah."
"Kasian Angkasa, Gladis gak tega sebenernya bunda. Tapi gak apalah nanti juga Angkasa seneng."
Sepertinya bunda mengangguk diujung telpon. Ia tertawa lagi sejenak seolah mengerjai Angkasa adalah hal yang paling mengasyikan untuk Bunda. Lalu kami memutuskan panggilan, bunda mau mulai menyiapkan makanan sedangkan aku masih sibuk menyusun hadiah yang akan aku berikan untuk Angkasa.
Aku membuat sebuah sweater rajut berwarna nude yang sudah aku bayangkan akan sangat pas digunakan oleh Angkasa, sweater ini aku buat sudah sejak sebulan yang lalu karena membuat sesuatu yang spesial membutuhkan waktu yang tidak sebentar tentu saja.
Selain itu aku membuat beberapa cupcakes, lalu ada roti kacang kesukaan Angkasa dan tentu saja tart untuk dia yang berulang tahun hari ini.
Sebenarnya aku diajak oleh teman komunitas dan fakultas Angkasa juga beberapa teman nongkrongnya untuk membuat perayaan diluar rumah, tapi mereka mengerti setelah aku menjelaskan bahwa bunda dan saudara-saudara perempuan Angkasa sudah menyiapkan acara kecil-kecilan dirumah.
Esoknya, barulah teman-teman yang lain akan bunda undang untuk merayakan ulang tahun Angkasa sekaligus syukuran untuk kesembuhan putra semata wayangnya.
Setelah semua yang dirasa perlu sudah selesai, aku mengemas barang dan bersiap untuk pergi, hari mulai petang dan ponselku terus saja berdering menampilkan nama yang sama sejak pagi tadi, tentu saja Angkasa Narundana yang tertera disana.
Kami sengaja membuat kejutan didetik-detik sebelum ulang tahun Angkasa berakhir, dari yang aku lihat disnapgram pria itu, ia mendapat beberapa kejutan kecil dari teman kampusnya. Rupanya dia sempat pergi ke kampus. Padahal tidak ada kelas.
Mungkin dia menemui temannya atau ada janji dengan dosen.
Aku berangkat pukul lima sore. Pergi ke kantor Kak Arin terlebih dahulu. Sejak Angkasa membersamai hari-hariku jarang sekali aku pergi kesuatu tempat tanpa dia, pengecualian saat pria itu sakit beberapa bulan yang lalu karena akupun lebih sering menghabiskan waktu dirumah sakit.
"Dis aduh sorry lama ya nunggu kakak?" Kak Arin masuk kedalam mobil dan menyimpan barang-barangnya di jok belakang, yang memang sudah dipenuhi oleh barang bawaan yang aku bawa dari apartement.
Aku menggeleng, sembari melajukan mobil. "Aku baru sampe lima menit yang lalu kak. Santai aja.. Bunda bilang Angkasa udah pulang dan langsung masuk ke kamar. Cuma nyapa bunda dan mukanya bete banget."
Sama seperti bunda, Kak Arin tertawa renyah sekali saat mendengar Angkasa yang dibuat kesal.
"Oh ya? Terus terus, dia sekarang nelponin kamu gak?"
Aku mengangguk. Bahkan saat ini pria itu juga tengah menelponnya. "Aku angkat sih tadi waktu diapart. Bilangnya aku udah sampe Jakarta dan dia ngomel panjang lebar, aku tutup."
"Wah.. tega banget saudara Gladis sama adik kesayanganku." Dia kembali tertawa bahkan kali ini lebih heboh.
Perjalanan kami memakan waktu dua jam karena macetnya Bandung disore hari.
Sampai dirumah hari sudah gelap tapi ternyata dekorasi sudah siap dan selesai, ketika aku bertanya siapa yang menyiapkan ini bunda bilang Alhena dan temannya yang melakukan.
"Nah bentar lagi bunda suruh Angaksa turun ya." Kata kak Arin. Aku dan Alhena tersenyum antusias saat mematikan lampu.
Sekeliling kami gelap. Tapi ada beberapa pendar cahaya yang keluar dari sudut ruangan. Mungkin lilin yang sengaja bunda pasang untuk menambah hiasan.
Aku sibuk di counter dapur untuk menyalakan lilin dan berbalik saat mendengar langkah kaki yang turun dari tangga. Alhena cekikikan dan kami yakin itu Angkasa.
Tentu saja aku berjalan untuk menghampirinya.
Tapi bukan aku yang mengejutkan Angkasa. Aku yang malah terkejut setengah mati sampai-sampai kakiku rasanya tidak sanggup menopang berat tubuh sehingga harus berpegangan pada ujung meja.
Angkasa, disana berdiri dengan senyumannya yang super manis.
"Waktu di Bali aku lamar kamu tanpa ada mami, papi dan kakak kamu. Tapi hari ini aku akan ngajak kamu untuk ngabisin sisa hidup kamu sama aku dihadapan perempuan yang udah melahirkan kamu dan melahirkan aku juga. Bunda. Mami.
Purnama Arumia Gladis Cantika, Will you marry me?"